Yunik Ekowati

Namanya adalah Yunik Ekowati lahir 10 juni dia adalah si sulung dari empat bersaudara perempuan semua. Bapaknya seorang pensiunan dinas pariwisata Sragen, yang ...

Selengkapnya
Navigasi Web
SI AMIN YANG HILANG

SI AMIN YANG HILANG

SI AMIN YANG HILANG

Oleh : Yunik Ekowati, S.Pd

Di sebuah sekolah swasta Semarang bagian pinggiran tepatnya daerah sentra durian, ku mulai mengawali hari-hari berdiri didepan kelas dan bercengkerama, sharing, bertukar pikiran dan menyampaikan ilmu yang saya dapat saat di bangku kuliah dengan anak-anak yang sangat polos dan penuh semangat dalam mengikuti pelajaran. Suka duka pasti ada, semua adalah bumbu-bumbu dan warna-warni dalam sebuah perjuangan bagi ku.

Di kelas VII A ruangan paling ujung salah satu lorong bangunan sekolah, berlantai ubin using beberapa mengelupas karena termakan waktu, duduk di bangku deretan nomer tiga dari belakang adalah tempat duduk si Amin kala itu. Sering dia tidak masuk sekolah, mulai dari alas an sakit sampai membantu ayahnya ke sawah. Sosoknya yang periang dan senang bergaul dengan teman-temannya menjadikan si Amin banyak penggemar. Nilai dalam pelajarannya rata-rata, tetapi cukup untuk standart baik. Kadang terlihat penampilannya sedikit kumal, kadang ku Tanya “Amin…kenapa bajunya kotor dan tidak disetrika?” di jawabnya…”iya bu…karena saya di rumah tidak punya ganti baju, hanya satu stel yang saya pakai ini…”. Sontak rasa haru dalam hati menyeruak tak bisa terbendung, “ya Tuhan….sedemikian parahkah anak ini… untuk berganti baju sekolah saja susah”.

Saat penerimaan raport akhir semester, semua wali murid di undang untuk datang ke sekolah mengambil hasil nilai akhir semester putra-putrinya dalam belajar. Seperti biasa sebagai wali kelas saya menyampaikan beberapa pengumuman yang di sampaikan oleh bapak kepala sekolah kepada para wali murid. Sampailah pada pembagian raport yang terakhir, ada satu bukuraport yang belum terambil yaitu atas nama Aminudin. Seluruh ruangan sudah kosong, dan kutunggu beberapa menit sudah tidak ada lagi yang hadir di runag kelas tersebut, aku bergegas keluar kelas sambil ku bawa buku raport yang belum terambil.

Ketika kaki ku melangkah menuju pintu luar kelas, kulihat seorang anak duduk di luar kelas sambil menghampiri ku, “…bu…maaf… bapak saya tidak bisa datang ke sekolah mengambil raport, karena sedang bekerja di sawah bolehkan saya melihat nilai saya bu? Suara itu berasala dari Amin. “Amin…apakah tidak ada saudara mu yang lain untuk datang ke sekolah? Ini kan nilai akhir yang harus diketahui oleh orang tua, biar tahu perkembangan anaknya di sekolah. Rupanya si Amin menunduk dan berusaha menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa mengambil raport.

Sejak saat itu niat ku untuk mengetahui lebih lanjut keberadaan si Amin lebih kuat lagi, kebetulan sebagai wali kelas harus mengetahui banyak tentang anak perwalian ku. Di sudut gang kecil dekat jalan menuju daerah pembuangan sampah kota Semarang, ku parkir sepeda motor di depan rumah sangat sederhana berdinding tembok batu-bata mringis belum dilepo, lantainya masih tanah dan ada dua kursi kayu yang cukup tua berada di ruang depan. Rumahnya paling ujung jalan kampung selebar kira-kira dua meteran.

Ku ketuk pintu dan bertemulah seorang ibu setengah tua dan aku mulai pembicaraan dengan menanyakan, apakah ini benar rumah Amin bu? Si ibu menjawab “… inggih bu leres niki daleme Amin, wonten menopo inggih bu madosi Amin? Niki larene nembe teng sabin kalih bapake, mboten mlebet sekolah bu, sabendinten sak wangsule sekolah piyambake mbantu teng sabin bu…” tanpa ku Tanya panjang lebar rupanya ibu itu mengetahui maksud kedatangan ku menacari si Amin. Mendengar penjelasan ibu ini untuk kesekian kalinya hati ku terhenyak tak habis pikir, anak sekecil ini usia baru 12 tahun harus membatu orang tua sedemikian hingga dan sekolahnya harus terbengkelai karenanya. Setelah saya tanya lebih banyak ternyata Amin adalah anak pungut dari keluarga yang sederhana cenderung kurang mampu ini. Kebetulan orang tua angkatnya juga sangat kurang dalam segi ekonomi.

Tak ingin berlama-lama setelah ku kira cukup mendapat keterangan tentang si Amin, langsung aku pamit mohon diri dan berpesan untuk besuk si Amin agar tetap berangkat lagi kesekolah dengan alas an apapun. Dengan semangat ku stater motor menyusuri jalan kampong yang kebetulan agak licin karena habis hujan. Sepanjang perjalanan pikiran ku tertuju pada si Amin, dengan alasan apapun anak ini harus tetap sekolah, aku harus bisa meyakinkan anak ini.

Ku pacu motor semakin cepat menuju toko perlengkapan sekolah, yang ada dalam benak ku adalah aku harus beli perlengkapan sekolah untuk si Amin besuk pagi. Pagi hari itu aku berangkat ke sekolah dan melangkah di kelas VII A dengan bersemangat, kebetulan jam pertama adalah seni budaya di kelas tersebut dan berharap bisa bertemu dengan si Amin. Seperti biasa anak-anak sebelum pelajaran membaca Asmul Husna terlebih dahulu, pembelajaran berlangsung seperti biasa dan materi untuk anak-anak ku sampaikan. Tak lupa di tengah-tengah pembelajaran ku sapa Amin dengan bahasa ku, “hai Amin…bagaimana kabarnya,beberapa hari kamu tidak berangkat sekolah ke mana ya..?”. Dengan sedikit malu-malu si Amin mengatakan “saya ke sawah membantu bapak menanam padi”. Ya sudah sekarang yang penting kamu bisa kembali lagi belajar sekolah, besuk kalau ingin membantu orang tua, jangan melupakan sekolah ya Min…? Kata ku seraya menutup pembelajaran.

Setelah selesai pembelajaran, ku panggil si Amin ke depan kelas dan tak lupa nasehat-nasehat untuk tetap beragkat ke sekolah belajar terus meraih mimpi. “Amin…ini ada buku dan beberapa alat tulis untuk membantu kamu dalam belajar, silahkan dipakai, semoga kamu lebih bersemangat lagi untuk sekolah ya nak…”. Amin sambil menunduk dan berkata “ tidak usah bu.. ini malah merepotkan ibu saja…”. “Tidak Amin, terimalah semoga ini bisa bermanfaat dan kamu kelak bisa meraih apa yang kamu cita-citakan, itu harapan ibu”. Dengan malu-malu diterimanya bungkusan yang ada di dalam plastic hitam.

Sesampainya di ruang guru, pikiran ku menerawang jauh, ku sandarkan punggung ku di kursi dan pandangan menengadah ke atap langit-langit, tak terasa nafas panjang ku hembuskan. Seandainya kondisi ku memungkinkan untuk bisa membiaya sekolah dan mendapingi si Amin sampai sukses….? Ya Tuhan ijinkanlah aku untuk sedikit meringankan beban anak-anak seperti Amin…tak terasa merembeslah cairan bening dari sudut mata ku.

Hari berganti hari, bulan dan tahun berikutnya si Amin sudah duduk di kelas VIII, di kelas berikutnya sudah tidak perwalian dengan saya. Menjelang beberapa bulan ada laporan si Amin mulai tidak berangkat ke sekolah lagi, merasa saya dulu pernah menjadi wali kelasnya. Saya memberi informasi kondisi keluarga si anak tersebut kepada wali kelas yang sekarang dan guru BK, dengan beberapa argument yang dulu pernah saya sampaikan. Tapi entah bagaimana ceritanya menjelang kenaikan kelas si Amin sudah tidak sekolah lagi, ya Tuhan…mendengar berita ini saya merasa sedih dan berdosa sekali mengapa semangat belajar yang sudah kembali harus pupus lagi…apa lagi penyebabnya, dan sudah sebegitu parahkah sehingga anak tersebut tidak bisa di pertahankan untuk tetap sekolah, setidaknya lulus dari bangku SMP.

Sejuta pertanyaan dan penyesalan terus menggelayuti perasaan saya sebagai guru yang mengetahui betul kondisi keluarga si Amin. Dengan mata berkaca-kaca saya hanya bisa berdo’a, semoga kelak kamu menjadi orang sukses Amin, Karen aku tahu dari pancaran mata mu kamu adalah anak yang baik….maafkan ibu yang tidak bisa berbuat lebih. Sampai saat ini aku merasa ada sesuatu yang hilang mengenang mu Amin, sejak tahun 2005 hingga sekarang 2018. Tiga belas tahun berlalu semoga do’a ku kau menjadi pribadi yang tangguh dan lebih baik lagi dalam menyongsong masa depan mu.

Naluri ku tiba-tiba muncul ingin melakukan sesuatu, ketika melihat, mendengar dan berhadapan dengan kondisi yang mirip seperti Amin. Tidak bisa dielakkan dan dipungkiri, setiap anak mempunyai karakter, latar belakang dan sikap watak yang berbeda. Yang kesemua itu sering mengetuk hati ku untuk segera berpaling menatap lama-lama. Berharap menjadi bagian yang bisa sedikit berguna untuk mereka. Hanya do’a dan sedikit upaya untuk sekedar bisa membantu, itu saja yang bisa ku lakukan.

Menolong bukan karena iba, bukan karena berharap imbal balik, bukan karena supaya mendapat pujian atau berharap lebih. Kadang orang yang di tolongpun merasa berpeluang mendapat kepercayaan dan tak jarang malah berusaha meminta lebih, ketika hasrat sudah ingin menolong…..tanpa harus di minta atau melihat sikap orang tersebut tidak tahu berterimakasih. Itu bukan masalah utama

Yang penting kawajiban sebagai manusia yang mempunyai naluri manusia dan memanusiakan manusia serta lebih percaya pada Tuhan yang Maha Kuasa. Yang di tolong mau bersikap lebih baik ya…alkhamdulilah….malah bertambah semakin memanfaatkan si penolong, juga silahkan….itu hak mereka. Kewajiban yang utama saling menolong sesame ketika mampu dan hasrat ingin berbagi ketika dibutuhkan serta berharap ridho Illahi. Itu saja sudah membuat bahagia di hati, serasa hidup lebih berarti untuk sesama. Salam manis bagi yang tersenyum…..salam sayang bagi yang mengenang. Percayalah Tuhan tidak pernah tidur.

Jatisari, 9 Januari 2018

00.00-02.30 Wib

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Murid yang selalu terkenang ya Bu. Mudah-mudahan anak-anak negeri ini punya kesempatan dan hak yang sama untuk bersekolah dengan layak :D

10 Feb
Balas



search

New Post