Yunita Kirnawati

Guru SMA Negeri 1 Tanjungpinang Kepulauan Riau...

Selengkapnya
Navigasi Web

Bolehkah Aku Cemburu? (Tagur-6)

"Aku ingin punya mama yang ngerti tentang anak muda, kayak mama kamu,"ujarmu sore itu.

"Memangnya mami kamu?" tanyaku penasaran.

Namun, kamu hanya terdiam sambil memandang jauh ke depan. Menerawang. Aku jadi serba salah.

Aku dan Viola sudah lama berteman. Dia adik kelasky. Kami selalu bercengkrama di sela-sela waktu luang. Terkadang kami dipertemukan dalam event lomba. Viola dan aku punya hobi yang sama dan kami bergabung dalam ekskul yang sama, English Club. Dia anak yang pintar. Sejauh ini kami tidak pernah membahas hal-hal pribadi hingga suatu saat muncul kalimat itu dari bibirnya.

Ketika itu aku, Viola, dan temanku, Andre mewakili kota lomba debat tingkat provinsi. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu mempererat tali pertemanan kami, chemistry istilah kerennya. Andre yang memiliki karakter penuh perhatian sempat membuat Viola salah tingkah.

Sore itu ketika sedang mempersiapkan diri, mamaku memanggil melalui video call.

"Adek, bantu mama dong. Ini tugas kuliah mama harus direvisi. Mama sedang ada rapat. Bisa, Dek?" tanya mamaku.

"Sebentar ya, Ma. Adek buka laptop dulu. Mama kirim ke wa aja filenya," jawabku.

Setelah itu aku larut dalam percakapan yang terkadang receh dengan mama. Kami tertawa kadang terbahak bersama. Tanpa kusadari Viola ternyata memperhatikan kami.

"Enak ya jadi kamu, punya mama kayak teman aja," ujarmu.

"Masak sih? Gak juga lho. Kadang mamaku suka ngomel juga," ujarku yang dibalas mama dengan protes dari ujung telpon.

Menyadari ada sesuatu yang tersirat dari kalimat-kalimat Viola, aku segera menutup laptop dan beranjak duduk di sebelahnya.

Viola anak yang ceria. Tak kuduga dia menyimpan kecemburuan melihat keakrabanku dengan mama. Dia cemburu melihatku berdiskusi tentang topik pendidikan dengan mama. Dia cemburu melihat mama selalu menjemputku di tempat perlombaan jika lomba diadakan di kota kami. Sementara dia selalu dijemput sopir keluarga.

Viola, kamu memandang semua hanya dari satu sisi. Andai kamu berada di posisiku, kamu pasti bersyukur terlahir dari keluarga yang semuanya selalu tersedia. Kamu pasti bersyukur tidak pernah pulang sekolah kehujanan. Kamu pasti bersyukur selalu makan enak.

Viola, jujur aku pernah bertanya dalam hati, bolehkah aku cemburu padamu? Namun, pikiran keliru itu segera kutepis. Aku bersyukur dalam keterbatasan ekonomi, orang tuaku selalu ada untukku kapan saja. Mereka selalu mendukungku dalam mengikuti lomba-lomba akademis. Bagi kedua orang tuaku pendidikan itu sangat penting. Tidak heran meski sudah diambang kepala lima, mama masih ingin menempuh pendidikan magister.

Viola, nanti akan kuceritakan bagaimana rasanya menjadi aku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yg menarik

06 Nov
Balas

Terima kasih, Bu.

06 Nov



search

New Post