Yusna Amita

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Rindu Hangatnya Kebersamaan

Anak adalah anugerah terindah yang dititpkan Allah kepada orang tua. Alangkah bahagianya orang tua yang diberi kepercayaan menerima amanat itu. Namun, harus disadari bahwa Amanat itu nantinya harus dipertanggungjawabkan kembali.

Alhamdulillah aku termasuk orang tua yang diberi amanat oleh Allah. Aku dititpi tiga orang anak yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Awalnya sempat kecewa, tapi bersyukur cepat timbul kesadaran bahwa masih banyak orang tua yang tidak diberi keturunan.

Ada rasa syukur yang patut kuucapkan kepada sang pencipta. Betapa tidak. Walau anakku ketiganya laki-laki, tapi alhamdulillah mereka anak-anak yang saleh. Aku yakin ini imbas dari apa yang kulakukan kepada mereka. Tapi bukan berarti aku tidak pernah punya masalah dengan mereka. Kesabaran menghadapi anak laki-laki itu adalah satu kata kunci kesuksesan yang kurasakan.

Memasuki bulan suci Ramadhan membuka kembali ingatanku bagaimana aku mendidik mereka untuk mampu menjalankan ibadah puasa. Berdasarkan pengalamanku sebagain seorang guru, anak putra banyak yang puasanya bolong-bolong. Bahkan kadang di rumah mengaku puasa, padahal di jalan sudah jajan bersama teman-temannya.

Aku merasa khawatir melihat kondisi seperti itu. oleh karena itu, sejak kecil anak laki-lakiku kulatih berpuasa agak sedikit keras. Kadang sedih memang, tapi aku tak ingin mereka seperti kebanyakan anak laki-laki yang kulihat.

Ketiga anakku kulatih berpuasa sejak mereka usia lima tahun. Hari pertama kulatih mereka setengah hari. Hari kedua sampai ashar tapi sambil kurayu supaya bisa sampai magrib. Berbicara dengan perasaan pasti aku tidak tega apalagi tubuh anak-anakku kurus dan ngacir. Akan tetapi, rasa khawatir mereka akan menjadi pemuda islam yang lemah telah mengalahkan rasa takutku.

Aku punya pengalaman yang sempat membuat aku takut kehilangan anakku yang pertama di saat menjalankan ibadah puasa. Hari pertama anakku belajar puasa,kulatih dia sampai ashar. Awalnya sempat dia protes dan menangis karena rasa haus dan lapar, tapi alhamdulillah anakku mengalah setelah kubujuk dengan cara kugendong, kunina bobokan dan kuberi tahu waktu tinggal sebentar lagi. Hari pertama sukses. Tapi aku sempat kesal dengan anakku karena dia buka hanya dengan seteguk air. Aku sempat marah hingga kulihat anakku ketakutan.

Hari kedua kurencanakan anakku harus puasa sampai magrib. Aku sadar, aku terlalu egois. Tapi bayangan tentang anak laki-laki di sekolahku dan pengalaman sepanjang jalan pulang menuju rumah, sikap tidak bertanggung jawab anak laki-laki membuat aku harus tega. Aku sayang anakku, tapi aku lebih takut kalau mereka gagal menjadi anak yang saleh.

Menjelang Ashar anakku tertidur di lantai. Awalnya aku senang melihat anakku tertidur karena itu artinya dia akan lupa dengan rasa haus dan lapar. Itu artinya rencanaku supaya dia mau buka sampai Magrib akan sukses. Tapi aku mulai curiga manakala kupegang badannya, anakku tidak bergerak. Aku mulai cemas. Tubuhnya kulihat begitu lemah, tak ada tenaga. Kuciumi pipinya agar dia bangun. Namun, tubuh lemah itu terkulai tak berdaya. Kubisikkan kata-kata sayang di telingany. Kuharap anakku bangun. Aku sudah menyiapkan secangkir air. Aku tidak ingin kehilangan anakku. Aku pasti akan menyesali diri jika sampai terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan kepada anakku.

Keluargaku mulai memarahiku. Aku terima marah mereka. Aku siap mendengar caci maki mereka. Aku tak akan menyanggah sedikit pun ucapan mereka karena aku sadar aku salah. Tiba-tiba saja kulihat anakku mulai membuka matanya. Aku gembira. Matanya menatap tepat ke mataku. Aku merasa bersalah.

Namun, aku sedikit kaget manakala dari mulutnya yang mungil keluar kata-kat a, Umi magribnya sebentar lagi ya?”

Kupeluk anakku.

“Kamu haus, Nak?” tanyaku penuh penyesalan.

“Tidak Umi, Aku mau puasa sampai magrib seperti Umi dan Abi,” lanjutnya.

“Magribnya masih lama. Ayo kamu minum saja biar segar,” kataku terus membujuknya.

“Tidak, Umi. Aku kuat kok,” katanya sambil tersenyum.

Berulang kubujuk tetap saja anakku tidak ingin membatalkan puasanya. Kukatakan bahwa aku tidak akan marah karena dia memang masih kecil, jadi belum ada kewajiban untuk berpuasa hingga Magrib. Kembali anakku menggelengkan kepalanya. Kupeluk dia erat-erat. Anakku membalas pelukkanku dan mencium pipiku. Hari itu anakku kuat berpuasa sampai magrib. Begitu hari-hari selanjutnya hingga sebulan penuh. Aku bersyukur anakku berpuasa atas kesadarnnya sendiri dan aku tidak pernah mau memaksakan karena aku tidak ingin dia sakit dan aku tidak ingin kehilangan anakku.

Alhamdulillah anakku yang pertama menginspirasi adik-adiknya dan juga keponakannya. Di lingkungan keluargaku anak-anak sudah terbiasa puasa sampai Magrib walau sejak kecil.

Kini anakku yang besar sudah bekerja. Momen puasa sering membuat aku bersedih karena sudah tahun kelima aku harus kehilangan kebersamaan dengan anak pertamaku. Empat tahun berada di Surabaya meneyelesaikan kuliahnya di ITS jurusan arsitektur dan sudah setahun kos di Bandung untuk bekerja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post