ZULFIKAR

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

MALPRAKTIK PENDIDIKAN (Part 4)

Pengawas sekolah, the misunderstood profession

Oleh: Hamdani Manan

Setelah menjalankan tugas sebagai guru 32 tahun lebih, aku berniat hijrah ke profesi pengawas sekolah. Aku diijinkan mengikuti Diklat Fungsional Calon Pengawas Sekolah yang diadakan oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Alhamdulillah aku berhasil lulus dan mengantongi sebuah sertifikat. Sertifikat tersebut perlu sebagai salah satu syarat mutlak untuk ikut seleksi calon pengawas sekolah.

Dengan mengantongi sertifikat diklat fungsional pengawas, aku sudah punya argumen yang cukup kuat menolak desakan kepala sekolah yang sering menyuruhku untuk diusulkan menjadi kepala sekolah. Aku pernah dilaporkan/dihadapkan ke pengawas sekolah, bapak Drs. H. Fauzi Khadam, karena selalu menolak waktu diusulkan menjadi kepala sekolah. Dengan nada agak tinggi Bapak itu bertanya kenapa aku menolak menjadi calon kepala sekolah. Aku berdalih tidak mampu mengikutinya. Tapi Bapak itu tidak menerima dan menambahkan. “Coba dulu, kalu tak lulus baru nyatakan tidak bisa!”, nada suaranya semakin tinggi.

Setelah menghirup nafas, aku mencoba menjawabnya dengan gaya yang sedikit sombong. “Maaf pak. Saya bukan takut tidak lulus, Pak. Melihat teman-teman yang sudah lulus, rasanya saya juga bisa lulus, Pak. Tapi, kalau saya ikut dan sandainya lulus, bolehkah saya tidak jadi kepala sekolah?” Ekspressi wajah bapak itu berubah dan kemudian ia tersenyum, sambil berkata “Saudara ini aneh, dua orang wakil yang tidak lulus dulu itu malah meminta-minta agar diusulkan jadi kepala sekolah, kalau Saudara malah menolak”.

Interogasi berubah menjadi dialog tentang bagaimana kepemimpinan kepala sekolah di mata seorang guru yang menyebabkan ada guru yang takut mengemban tugas tersebut. Kerena di kantor kepala sekolah, aku merasa tidak bebas mengungkapkan alasan yang sesungguhnya, aku mecoba meringkasnya dengan kalimat, “Di mata saya, memimpin sekolah harus ada seninya, Pak. Sedangkan saya tidak seorang seniman, Pak”, “Jadi Saudara akan menjadi guru sampai pensiun?” tambah Bapak itu. Aku mencoba mengakhiri dialog itu dengan “Saya ingin menjadi Pengawas Sekolah seperti Bapak”.

Pengawas Sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan (Permendiknas No. 21/2010). Pada UU Guru diperjelas bahwa pengawas adalah guru yang diberi tugas kepengawasan pendidikan.

Profesi pengawas terkesan kurang diminati dan sering dipandang sebelah mata. Ada yang mempersepsikan pengawas adalah makhluk yang mencari-cari kesalahan (blaming) guru dan kepala sekolah tanpa memberikan solusi cerdas, tetapi memberi hukuman. Ada yang mengecap pengawas adalah jabatan buangan sebagai hukuman kegagalan memimpin sekolah. Ada pula anggapan bahwa pengawas adalah jabatan untuk memeperpanjang waktu untuk pensiun dari jabatan struktural. Tidak sedikit pula yang menilai bahwa pengawas sekolah tidak professional. Dan masih ada yang lain.

Sulit juga melakukan pembelaan atas penilaian miring ini, karena fakta itu ditemukan di lapangan, terutama sebelum tahun 2007. Kondisi objektif kepengawasan seperti itu bermula dari sistem rekruitmen yang kriterianya tidak jelas. Setiap orang bisa diangkat begitu saja menjadi pengawas sesuai dengan selera pengambil kebijakan tanpa mempertimbangkan kelayakannya. Jabatan pengawas sekolah dijadikan sebagai tempat pengamanan kepala sekolah yang bermasalah atau memperpanjang masa pensiun dari jabatan struktural, mungkin juga karena sudah lelah mengajar. Sedikit pengawas yang diangkat karena memang karena pilihannya sendiri dan melalui seleksi.

Sejak Maret 2007 sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Di dalam regulasi ini sudah diatur secara rinci kriteria seeseorang untuk bisa menduduki jabatan pengawas sekolah. Seorang calon pengawas sekolah harus, antara lain: (1) memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; (2) memiliki pendidikan minimum magister (S2) kependidikan dengan berbasis sarjana (S1) dalam rumpun mata pelajaran yang relevan pada perguruan tinggi terakreditasi, (3) memiliki sertifikat pendidik, (4) berusia setinggi-tingginya 50 tahun, dan (5) lulus seleksi pengawas satuan pendidikan. Masih ada persyaratan lainnya seperti pangkat/golongan dan lama mengajar atau menjadi kepala sekolah.

Apabila rekruitmen pengawas sekolah tidak mengikuti kriteria di atas, it goes without saying, akan lahirlah pengawas sekolah yang bercitra negatif; tidak kompeten, tidak berwibawa dan kurang berintegritas. Walaupun sudah ada aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan tentang kriteria pengangkatan seorang pengawas sekolah, namun belum semua pemerintah daerah mempedomaninya dalam praktik. Cukup banyak regulasi yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Nasional mandul sesampai di daerah, termasuk perihal rekruitmen pengawas sekolah. Hal ini biasanya karena berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.

Di antara pengalamanku di lapangan:

Aku diperintah oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Agam, Drs. Erwin Umar, M.Pd. untuk turun ke salah satu sekolah binaan SMA Negeri di kaki Gunung Merapi untuk mengklarifikasi pengaduan masyarakat. Pengaduan itu melalui surat kaleng yang ditujukan ke Bupati Agam. Dalam surat yang mengatasnamakan dari tokoh masyarakat itu, ada permintaan dan desakan agar Kepala Sekolah diberhentikan karena jarang datang ke sekolah. Sebelum pindah ke sekolah ini, di sekolah sebelumnya pernah ia kesandung beberapa masalah.

Selaku bawahan kepala dinas, titah itu aku kerjakan dengan baik. Untuk menguji kebenaran berita tersebut, aku mencoba mengumpulkan data untuk dijadikan informasi. Pengumpulan data dilakukan dengan ‘snowball technique’ plus. Aku menghubungi beberapa narasumber yang aku perkiraan tahu pasti tentang kehadiran/ketidakhadiran kepala sekolah tersebut. Kegiatan dimulai dengan mewawancarai Jaga Sekolah kemudian 3 orang guru dan 2 orang wakil kepala sekolah. Setelah mendapatkan beberapa data dari 2 guru Bimbingan Konseling, aku sempat mengajukan pertanyaan kepada sekelompok kecil siswa di parkiran dan terakhir sambil minum kopi di kantin depan gerbang masuk sekolah, pemilik kedai memberikan cukup banyak informasi yang bisa menguatkan data-data sebelumnya. Hasil wawancara ada yang dicatat langsung dan ada pula hanya dengan rekaman HP. Studi dokumen seperti daftar hadir sulit dipercaya karena pengsiannya tidak lengkap.

Setelah mempelajari data yang terkumpul dengan seksama, aku menulis laporan eksekutif. Dalam laporan ku tulis lengkap dengan siapa wawancara tersebut, pukul berapa, dimana dan apa yang disampaikan. Kemudian aku menuliskan kesimpulan bahwa benar apa yang diadukan dalam surat kaleng tersebut, kepala sekolah jarang datang ke sekolah. Ia hanya datang tidak terlambat pada hari Senin. Pada hari-hari lainnya umumnya terlambat, setelah istirahat pertama yang bersangkutan pun menghilang.

Walaupun kegiatanku bertujuan mengklarifikasi absensi, tetapi dalam wawancara dengan berbagai sumber terungkap juga fakta-fakta lain tentang disharmoni internal, pengelolaan keuangan, tanggung jawab mengajar dll. Sebuah laporan eksekutif harus disertai Saran. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang pengawas senior, ditulis saran seperti berikut: Disarankan kepada pengambil kebijakan untuk mengembalikan Kepala Sekolah tersebut menjadi guru.

Surprising. Apa yang terjadi? Waktu ada mutasi dan rotasi, justru Kepala Sekolah yang bermasalah tersebut dipromosikan menjadi Pengawas Sekolah. Orang yang bermasalah diangkat untuk menyelesaikan masalah. Tanpa seleksi atau tes kelayakan untuk menduduki jabatan pengawas sekolah. Ini satu contoh malpraktik, seperti juga pada profesi lain. Satu dosa biasa beranak dosa. Apabila satu pekerjaan sudah dumulai dengan suatu kesalahan, maka tunggulah akan lahir anak-anak kesalahan yang akan mengringinya.

Namanya malpraktik tentu tidak banyak, tetapi cukup untuk menurunkan citra pengawas di mata masyarakat. Pemulihan nama baik itu tidak gampang karena nilai negatif sudah keburu melekat pada memori masyarakat. Beruntunglah gharib/ghurabaa’.

Terlepas dari semua persepsi dan citra negatif, menjadi pengawas sekolah bagiku adalah pilihan. Bagiku profesi pengawas sekolah bukanlah pelarian atau buangan. Aku menikmati pekerjaan ini walaupun cukup challenging. Pengawas berperan sebagai quality control, quality assurance dan quality enhancement. Sangat banyak ‘ruang hampa’ dalam pelayanan pendidikan yang bisa diisi oleh pengawas sekolah sebagai pundi-pundi amal jariah.

Dalam ranah pengawasan manajerial, pengawas sekolah menjadi partner kepala sekolah dalam mengelola sekolah. Seorang kepala sekolah berperan sebagai leader dan manager. Porsi terbesar tugasnya adalah instructional leadership yang menuntut kompetensi manajemen dan leadership yang memadai. Sedangkan mereka diangkat dari guru yang latar belakang spesialisasinya bukan manajemen atau administrasi pendidian tetapi Bahasa Inggris, Sejarah, Matematika atau mata pelajaran lain. Tuntutan perubahan dalam pembangunan pendidikan menuntut ‘daya suai’ yang tinggi dari seorang leader. Hal ini sering menimbulkan kegamangan atau apatis. Pada ruang ini perlu kehadiran pengawas sebagai school improvement partner.

Dalam ranah pengawasan akademik, seorang pengawas sekolah diharuskan membina minimal 40 orang guru yang latar belakang jurusannya sama. Misalnya Pengawas yang latar belakang jurusannya Bahasa Inggris membina guru yang latar belakangnya juga bahasa Inggris. Guru-guru sudah mengajar sesuai dengan latar belakang jurusannya. Walaupun begitu, apakah modal kompetensi akademik dan profesional yang hangat waktu meninggalkan LPTK dulu masih selalu compatable dengan kekinian? Sementara kurikulum sering direvisi dan diubah. Perubahan pada kurikulum menutut guru juga berubah. Perlu ada kegiatan up-dating.

Berubah artinya mengapresiasi konsep baru setelah mengenalinya dengan baik. Desiminasi konsep perubahan kurikulum sering tidak tuntas dan merata. Kemungkinan ada distorsi sewaktu penyampaian oleh narasumber yang tidak capable. Akibatnya, hakikat dan roh perubahan kurikulum tersebut tidak sampai dengan utuh ke tangan guru yang diyakini sebagai aktor utama perubahan. Bagaimana guru bisa menerima kurikulum baru dengan ikhlash sedangkan mereka tidak well-informed tentang perubahan baru tersebut?

Berubah juga berarti menerapkan konsep dan kebiasaan baru atau meninggalkan kebiasaan lama. Aku ingat Mr. Oejoen Sanit mengatakan “It’s hard to drop the habits”. Di samping kognisi, juga perlu afeksi terhadap konsep perubahan. Perubahan kurikulum harus diiringi dengan perubahan mind set bahwa perubahan adalah hal yang natural sekali. Adegium dalam Ilmu Mantik mengatakan “Al-alam mutaghayyir, kullu mutahgayyir hadis”. ‘al-alam’ artinya ‘maa siwallah’ (apa saja selain Allah). Jadi yang tidak berubah hanya Allah.

Perubahan kurikulum adalah satu keniscayaan. Kemajuan dan tantangan menuntut kurikulum itu berubah. Banyak ahli mengeluarkan dalil perlunya perubahan antara lain Heraclitus yang menyatakan “Nothing is permanent but change”. Tetapi kenapa banyak guru alergi dengan perubahan kurikulum? Perubahan mengusik zona nyaman. Ia menuntut kesiapan seseorang untuk hijrah. Sebagai contoh, pembelajaran yang sudah terbiasa dengan pendekatan resitasi dan penugasan atau mengurut buku teks halaman demi halaman sampai habis jam pelajaran tidak mungkin dipertahankan lagi. Negara merasa perlu menciptakan anak bangsa yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, ulet, kerja sama, bertanggng jawab, jujur, terampil berkomunikasi dan kolaboratif dll. Untuk melahirkan generasi masa depan tersebut, upayanya harus dilakukan dari sekarang di dalam kelas dengan model pendekatan yang sesuai.

Seorang pakar Kurikulum Prof. Ansyar dari UNP pernah mengutip pendapat ahli (Tyler, ?) bahwa untuk memcetak model generasi mendatang, pesrsiapkanlah kurikulum, atau bentuk generasi mendatang bisa dilihat pada kurikulum pendidikan hari ini. Tuntutan perubahan masa depan yang tidak terbendung membawa konsekuensi logis kepada perlunya perubahan kurikulum pendidikan.

Nabi Muhammad saw ratusan tahun yang lalu pernah menyampaikan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibu Majah, “Allimuu aulaadakaum, fainnahum yaiisyuuna fii ghairii zamaanikum” (Didikah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada suatu zaman yang berbeda dengan zamannya). Dalam konsep pendidikan ala rasullullah, kurikulum pendidikan harus berdasarkan kebutuhan masa depan peseta didik. Nabi Muhammad saw pernah mengingatkan agar anak-anak diajar berenang, di samping mememanah dan menunggang kuda. Kompetensi memanah dan menunggang kuda adalah skill ‘kekinian’ pada waktu itu, sedangkan kompetensi berenang (asshshibaahah) adalah keterampilan masa depan (future need). Muhammad rasullullah saw hidup di padang pasir, tidak ada kolam renang dan laut di sana untuk berenang, tetapi sudah menganjurkan agar anak dibekali dengan keterampilan masa depan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post