Agak sepenggalah matahari beranjak, aku seduh kopi hitam pakai air panas, betul-betul air panas karena direbus diatas kompor (aku kurang suka kopi dengan seduhan air dari dispenser, kurang nendang). Kopi hitam produk lokal Sumatra Utara,tepatnya dari daerah dingin Sidikalang,yang terkenal sebagai penghasil kopi terbaik di Sumut. Sengaja aku minta tolong kepada alumni Smansakusel yang sekarang menetap disana untuk kirimkan kopi tersebut, karena diLabura bahkan di Pematang Siantar tidak tersedia.

Kalau sesuatu itu sangat berarti buat kita, pastilah sangat berhati hati untuk memperlakukannya, memakainya, mengonsumsinya, atau apalah kata kerja yang paling tepat,terserah saja. Terinspirasi dari salah satu cerbung di Komunitas Bisa Menulis (KMB) yang sekarang sudah menghilang, kuaduk kopi 7 kali ke kanan, selanjutnya 5 kali ke kiri,begitu resep kopi nikmat ala KBM. Seteguk dua teguk ludes separuh isi gelas, karena pak suami memakai meja tempat si kopi tadi untuk up date laporan Masjid, maka ku geser gelas kopi ke atas meja makan, taraaaa....ternyata di cangkir bertangkai masih ada sisa kopi seduhan tadi,(aku seduh kopi di wadah yang tahan panas). Sembari hati kecilku agak tertanya-tanya,kok warna kopinya agak bening ya? tapi ah, lanjut tuang juga ke gelas, dan kembali penuh si gelas kopi.

Deadline buku tunggal hanya beberapa hari lagi, siang ini inshaaLlah harus tuntas,karena 3 hari badmood efek dari sakit gigi (bukan curhat ya). Kuteguklah si kopi,..hmmm rada-rada beda, curiga jadinya,jangan2 salah seorang putriku menyiram air bekas ke dalam cangkir bertangkai. Dan ternyata,lambungku menolak,tumpah ruahlah si kopi daur ulang dikamar mandi,sensor di lidah masih kuat,tidak bisa dibohongi. Akhirnya,kembali kuseduh kopi gelas kedua siang ini,aku tidak ingin kehilangan mood hari ini,bye-bye kopi daur ulang. Inilah akibat dari terlalu sayang kepada sesuatu,terlalu hemat konsumsi kopi Sidikalang,akhirnya kena senggolah kopi daur ulang.