Gio menatap papan nama sekolah SMK swasta di hadapannya. Tidak megah, bahkan catnya mulai pudar. Hati kecilnya bertanya-tanya, mengapa ia memilih tempat ini? Teman-temannya sudah sibuk berseragam putih abu-abu di SMA favorit atau SMK negeri bergengsi. Nilai Gio sebenarnya cukup untuk diterima di mana saja. Ayahnya, seorang pejabat terpandang di kabupaten, awalnya kecewa. "Kenapa kamu tidak pilih sekolah yang lebih baik? Itu kan lebih sesuai dengan status kita," tegur ayahnya waktu itu. Namun Gio tetap teguh pada keputusannya.

Hari-hari di SMK swasta itu ternyata tidak mudah. Teman-temannya berasal dari latar belakang sederhana, dan beberapa bahkan memandang Gio dengan rasa curiga. Ia belajar banyak hal praktis seperti membetulkan mesin, sesuatu yang sama sekali baru baginya. Suatu hari, Gio mendengar keluhan seorang teman, Yanto, yang hampir putus sekolah karena biaya. Gio diam-diam membantu Yanto dengan uang sakunya sendiri. Ia merasa ada kebahagiaan tersendiri bisa berbagi, meski itu membuatnya harus mengurangi jajan. Seiring waktu, ia mulai dihormati oleh teman-temannya bukan karena siapa ayahnya, tetapi karena sikapnya.

Tahun berlalu, Gio lulus dengan predikat terbaik. Dalam pidato perpisahan, ia mengungkapkan alasannya memilih SMK swasta, "Saya ingin belajar tentang kehidupan nyata, tentang usaha dan kerja keras. Saya ingin menjadi pejabat yang tahu apa arti perjuangan." Ayahnya, yang duduk di barisan depan, tertegun. Ia baru menyadari bahwa anaknya tidak hanya pintar, tetapi juga bijaksana. Di tengah tepuk tangan meriah, Gio tersenyum. Ia tahu, pilihannya yang dianggap aneh itu telah membawa perubahan besar, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.