Saya terkenang awal-awal memasuki dunia perkuliahan. Ketika itu selepas jam perkuliahan terakhir, kami masih saja memperbincangkan sebuah statement yang keluar dari seorang dosen. Kurang lebih beliau berkelakar begini, "untuk mas dan mbak disini yang niat masuk jurusan ini dengan tujuan menjadi kaya, saya sarankan untuk segera mengemas diri dan memilih keluar".

Saya juga ingat, sebuah prinsip hidup seorang kawan yang mengatakan bahwa "berani tidak populer itu baik, asal bermanfaat". 

Rasa-rasanya tidak ada dalam catatan yang menyatakan bahwa kuliah tujuannya untuk memperkaya diri. Termasuk dalam Tri Dharma perguruan tinggi yang inti pokoknya berisi tentang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat. Tidak ada bunyi memperkaya diri sendiri dalam tri dharma perguruan tinggi tersebut.

Rasa-rasanya hidup dengan idealisme tidak sesulit yang dibayangkan. Karena sehari-sehari kita dicekoki kemapanan fana ketika itu, tidak terpikir bagaimana mengisi perut dengan layak. 

Setelah hari-hari yang lalu, sebagian dari kita menghadapi kenyataan bahwa kita yang telah susah payah dikuliahkan, mungkin sudah waktunya membalas budi pada mereka yang berjasa mengkuliahkan. Satu persatu cerita bermunculan. Ada yang baru mengetahui bahwa dikuliahkan dengan biaya pinjaman sana-sini. Ada yang baru mengetahui kondisi lunglai dan sakit-sakitannya orang tua, setelah lama merantau. Lalu muncul fase kehidupan baru bernama jenjang pernikahan, yang juga cukup menguras kocek amat dalam. 

Lalu, dimana idealisme bermukim setelah realita bermunculan mencekik urat leher?