SYUKUR ITU SEDERHANA (18)
Suatu sore, untuk membunuh rasa jenuh saya, saya memutuskan untuk menyambangi kedai kecil milik teman saya. Tidak jauh dari rumah. Hanya jalan kaki sedikit.
Di kedai tersebut, selain si pemilik kedai yang menjaga, ada salah seorang teman yang rumahnya pun tidak jauh dari lokasi kedai. Baik namanya. Sedikit berbasa basi, bertanya tentang hidangan yang dijajakan si pemilik kedai, saya pun memesan segelas kopi hitam dan dua porsi kentang goreng untuk dimakan bertiga.
Teman saya bertanya, "bang ada lowongan kerja lagi gak bang? kalo ada, gue mau dong kaya si momon kemaren".
Ya, belum lama ini memang ada teman satu sekolah sewaktu SMP menawarkan pekerjaan sebagai kurir kerudung dan baju muslimah, dengan upah jasa Rp.50.000 untuk satu hari dengan jam kerja mulai jam 11 sampai jam 7 malam, dengan tugas mengantar yang tidak terlalu jauh. Jika melihat besaran upah, maka saya menawarkan kepada rekan yang sekiranya tidak melihat uang sebagai patokan dan memang butuh pengalaman kerja. Akhirnya salah seorang yang yang tadi disebutkan bernama Momon tertarik dan mengisi lowongnya pekerjaan tersebut. Mencari kesibukan selepas lulus alasannya.
Balik lagi fokus pada pertanyaan tentang lamaran kerja. Saya sedikit merasa aneh betapa Baim adalah seorang yang selama ini terkenal sering pindah-pindah tempat kerja dengan upah tentu jauh lebih besar dari Rp.50.000 sehari.
"Lo bener Im mao jadi kurir? Gajinya cuma gocap lho", tanya saya pada Baim.
"Gapapa bang, lagi butuh banget kerjaan di kondisi kaya gini, daripada di rumah gak menghasilkan", jawab dia sambil ikut menyesap kopi hitam saya yang baru disajikan.
Akhirnya saya berinisiatif menghubungi teman sekolah saya sewaktu SMP lagi. Sayangnya sudah tersedia lagi lowongan sebagai kurir, karena memang hanya 1 orang yang dibutuhkan untuk mengisi lowongan tersebut.
Dengan berat hati, saya menjelaskan kondisinya bahwa belum tersedia lowongan lagi untuk saat ini.
Hati kecil saya berbicara. Saya merasa perlu membantu mencarikan pekerjaan. Saya berselancar di dunia maya, whatsapp grup rekan sejawat, bahkan pekerjaan sementara sebagai volunteer pun belum tersedia.
Mungkin sore ini belum rezekinya, pikir saya.
Berdasarkan kisah teman saya yang kesulitan mencari kerja tersebut, sebetulnya ada sebuah tamparan untuk saya pribadi. Betapa saya di tengah kondisi seperti saat ini masih memiliki pekerjaan untuk hidup. Bahkan, sudah 3 bulan saya bekerja dari rumah namun tetap menerima upah penuh dari tempat sekolah saya mengajar.
Namun makin kesini, jujur etos kerja saya terkikis. Betapa saya seringkali mengeluhkan pekerjaan yang memang menjadi kewajiban saya. Betapa saya seringkali terganggung dengan kebisingan di grup whatsapp yang notabene membahas pekerjaan. Betapa saya seringkali menunggu-nunggu kewajiban sekolah di akhir bulan, tapi justru saya seringkali menunda-nunda kewajiban saya kepada peserta didik, kepada masyarakat.
Sore ini saya kembali belajar bersyukur.
Bentuk sederhana rasa syukur yang bisa saya lakukan adalah bekerja semaksimal mungkin. Karena di luar sana, untuk mencari pekerjaan dengan upah Rp.50.000 saja, sulitnya luar biasa.
Bogor, 2 Juni 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar