TUHAN, RASIONALITAS DAN SAINS MODERN
“Tuhan”, kata antelope, “adalah pelari, gesit dan merdeka,
yang suka melompat dan berpacu dengan angin.”
“Ia adalah pohon besar,’’ gumam pohon dedalu,
“bagian dunia yang senantiasa tumbuh dan selalu memberi…”
“Ia adalah pemburu handal,” aum singa.
“Tuhan itu lembut,” kicau burung robin.
“Ia sangat perkasa,” geram beruang.
(Douglas Wood)
Sebuah Pertanyaan Subversif: “Mengapa…?”
Pada bagian pengantar buku Spiritual Capital karya sepasang suami istri, Danah Zohar dan Ian Marshall, sang istri (Danah Zohar) memaparkan sebuah kisah yang sangat menggetarkan:
“Ketika anak saya berusia lima tahun, suatu malam ia bertanya kepada saya, ‘Mengapa aku harus hidup?’ Saya perlu waktu beberapa minggu untuk menjawabnya dan pada akhirnya saya mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjalani hidupnya untuk mewariskan sebuah dunia yang lebih baik dibandingkan dengan yang pernah ia temui. Itu sebuah pemikiran yang berat bagi seorang bocah berusia lima tahun. Namun pada saat ia mencapai usia akhir belasan tahun, pertanyaan yang sama muncul lagi, kali ini dalam konteks mempertimbangkan apakah ia akan masuk universitas, apa yang akan ia pelajari, dan karier apa yang hendak ia ambil. Saya dapati diri saya memberinya jawaban yang kurang lebih sama, bahwa apapun jalan yang ia pilih, ia harus hidup untuk memberi arti. Sebagaimana biasa terjadi di antara orangtua dan anaknya, saya merasa bahwa nasihat saya kepada anak saya itu membuat saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri: apakah saya sudah memanfaatkan hidup saya sendiri sebaik mungkin?”
Saya yakin kisah di atas dapat mewakili sebagian besar orang tua, yang terkadang merasa ‘tidak berdaya’ jika putra-putri mereka mengajukan pertanyaan yang diawali dengan kata “mengapa…?”, yang rangkaian jawabannya seringkali berbalik menghantam diri kita sendiri, laksana sebilah boomerang yang dilemparkan tetapi tidak mengenai sasarannya dengan tepat.
Seperti halnya Danah Zohar, saya sebagai orang tua kerap kali jengkel jika anak-anak saya bertanya terus-menerus dengan kata “mengapa…?” Mengapa aku tidak boleh keluar untuk bermain? Karena akan hujan. Mengapa akan hujan? Karena langit mendung dan banyak petir. Mengapa ada awan dan petir menggelegar? Karena ada penguapan air dan lompatan energi listrik. Mengapa ada....? Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan subversive dan memburu seperti itu biasanya berakhir dengan jawaban: “Karena Tuhan menginginkannya demikian, dan itulah realitanya!” yang tanpa dasar. Pertanyaan-pertanyaan masa kecil itu seringkali dicekoki oleh jawaban orang tua yang merasa bosan dan tak berdaya ketimbang ketajaman argumentasi yang filosofis, bahwa sangat mungkin penjelasan tentang sebuah fakta atau keadaan itu sendiri menuntut sebuah penjelasan, dan bahwa rangkaian ini mungkin akan berlanjut tanpa batas. Dapatkah rangkaian penjelasan itu betul-betul berhenti di suatu tempat, bersama Tuhan - boleh jadi- atau bersama semacam hukum alam tertinggi dari realita?
Dalam salah satu episode film science fiction Star Trek, awak USS Enterprise diutus untuk mencegat suatu benda asing yang melaju pesat menuju bumi dari luar angkasa. Dikisahkan, entitas tersebut menyatakan dirinya sebagai VGER, dan mengumumkan tujuannya: menemukan penciptanya di planet ketiga pada sistem tata surya kita. Akhirnya terungkap bahwa VGER merupakan pesawat antariksa Voyager 6 yang telah lama menghilang, semenjak lepas landas dari bumi tiga abad yang lalu dengan tujuan menjelajahi alam semesta. Meski telah mengumpulkan banyak pengetahuan ilmiah dari penjelajahan tersebut, kenyataannya sistem komputer VGER tetap belum puas, dan wahana antariksa itu kini merasa perlu mencari penciptanya. Tak disangka VGER harus kecewa ketika mengetahui “Tuhan” penciptanya adalah manusia, suatu organisma yang terdiri atas unsur karbon belaka. Tentu saja, yang telah ditemukan VGER hanyalah pencipta langsungnya. Pastilah manusia juga ada penciptanya.
Selama ribuan tahun, kita juga telah mencari-cari sosok ilahi melalui berbagai pengalaman emosional dan perilaku keimanan yang menjadi ciri berbagai mitologi dan praktik agama tradisional. Baru dua abad terakhir ini saja kita mulai menggunakan pendekatan ilmiah alternatif dalam pencarian asal-usul hayati dan alam semesta kita. Ibarat bangsa Vulcan dalam film tersebut, yang logika nir-emosinya begitu berbeda dengan gejolak semangat banyak penganut agama dan para teolog, para ilmuwan bekerja berdasarkan kaidah bahwa penjelasan fenomena alam semestinya diperoleh berdasarkan pengamatan empiris dan hipotesis yang terlepas dari kehendak emosi, kesan subjektif atau pribadi, serta dogma yang tidak dapat difalsifikasi. Sains dan keimanan buta sungguh bertolak belakang. Meskipun begitu, seperti tokoh Spock dalam film Star Tek - yang berayahkan Vulcan dan beribukan manusia - para ilmuwan dan filsuf menyadari bahwa dalam praktiknya mustahil memisahkan pemikiran dan temuan mereka dengan konteks sosial, atau dengan pengalaman emosional keagamaan.
Sebagai seorang yang sedang mencoba untuk mengoptimalkan kemampuan rasio, pada mulanya saya cenderung meyakini kemampuan sains - sebagai produk rasio - untuk memberi jawaban-jawaban mendebarkan semacam itu atas pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hakikat realitas kosmik, dibandingkan pada teks suci keagamaan yang cenderung dogmatis dan alergi terhadap kritik. Kekuatan sains untuk menjelaskan berbagai fenomena begitu mempesona, sehingga dengan segenap sumber-sumber empiris yang tersedia dan metodologi yang terus-menerus diperbarui, maka sebagian rahasia alam semesta dapat dibentangkan. Namun pertanyaan “mengapa, mengapa, mengapa…?” yang mencekam itu datang lagi. Apakah yang melandasi skema penjelasan yang maha indah ini? Apakah yang menegakan semua ini? Adakah level tertinggi, dan jika memang demikian adanya, dari mana hal itu muncul? Dapatkah kita dipuaskan dengan penjelasan “begitulah adanya?” Dari rangkaian pertanyaan tersebut, pada akhirnya kita akan memasuki ranah metafisik yang gelap gulita yang disebut dengan “Tuhan”, yang memiliki spektrum makna yang sangat luas.
Berdasarkan kajian Karen Armstrong, gagasan manusia tentang Tuhan memiliki jejak sejarah yang panjang, karena gagasan itu selalu memiliki arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya pada berbagai periode waktu. Konsepsi tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada suatu generasi, bisa saja tidak memiliki arti lagi bagi generasi selanjutnya. Bahkan pemahaman para teolog tentang Tuhan walaupun pada periode yang sama, mungkin sangat berbeda dengan pemahaman para filsuf atau ilmuwan. Sehingga, tidak ada satu gagasan pun yang tidak berubah dalam kandungan kata Tuhan. Kata ini mencakup keseluruhan rentang makna, di mana sebagian di antaranya ada yang bertentangan atau bahkan saling meniadakan. Jika gagasan Tuhan tidak memiliki keluwesan seperti ini, niscaya ia tidak akan mampu bertahan untuk menjadi salah satu gagasan besar umat manusia, karena ketika sebuah konsepsi tentang Tuhan tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru.
Namun, seorang fundamentalis akan membatah hal ini, karena fundamentalisme adalah anti-historis; mereka meyakini bahwa Ibrahim, Musa dan nabi-nabi sesudahnya, semua mengalami Tuhan dengan cara yang persis sama seperti pengalaman orang-orang pada masa kini. Padahal jika kita menelusuri ketiga agama besar Ibrahimik (Yahudi, Kristen dan Islam), menjadi jelaslah bahwa tidak ada pandangan yang objektif tentang Tuhan. Setiap generasi akan menciptakan pemahaman tentang Tuhan yang sesuai untuk mereka. Hal yang sama terjadi juga pada ateisme. Pernyataan: “saya tidak percaya kepada Tuhan”, mengandung makna yang secara detil berbeda pada setiap periode sajarah. Orang-orang yang diberi julukan “ateis” selalu menolak konsepsi tertentu tentang Ilah. Apakah Tuhan yang ditolak oleh para penganut ateis pada masa sekarang adalah Tuhannya para patriark, Tuhan para nabi, Tuhan para filsuf, Tuhan kaum sufi atau Tuhan kaum deis abad ke-18? Dengan demikian, ateisme sering kali merupakan suatu periode transisi, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim, yang juga pernah disebut “eteis” oleh kaum pagan pada masanya, karena telah mengembangkan gagasan revolusioner tentang keilahian dan transendensi. Apakah ateisme modern juga merupakan penolakan serupa terhadap konsepsi “Tuhan” yang tidak lagi memadai bagi persoalan-persoalan pada zaman kita?
Menggiring Nalar ke Wilayah Perbatasan
Dalam analisa astronomi modern, suatu saat - mungkin sekitar 14,5 milyar tahun yang lalu - peristiwa yang sangat menakjubkan terjadi: kelahiran alam semesta.
Alam semesta diawali dengan Big Bang: sebuah Dentuman Besar di ruang angkasa yang dari situlah alam semesta berawal. Ketika kita memandangi langit di malam hari, apa yang kita lihat adalah kepingan-kepingan yang dihasilkan dari sebuah kejadian yang luar biasa. Bintang-bintang yang tidak terhitung jumlahnya, planet-planet dan galaksi-galaksi adalah lapisan isi langit tersebut. Sebuah bentuk penciptaan yang luar biasa.
Kita tahu bahwa Big Bang telah terjadi. Tetapi mengapa hal itu terjadi? Atau, mengapa sesuatu itu harus ada ketimbang tidak ada? Salah satu jawaban yang paling terkenal seputar asal-usul alam semeta ini adalah bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan. Jawaban itulah yang akan kita verifikasi di hadapan mahkamah nalar kita.
Jika Tuhanlah yang menciptakan alam semesta, maka seperti apakah Ia? Menurut umat Yahudi, Kristen, dan Muslim, Tuhan setidaknya memiliki tiga sifat. Yang pertama, Tuhan maha kuasa. Hal ini berarti bahwa Dia dapat melakukan apa saja. Tuhan dapat meratakan gunung-gunung, membelah lautan, menghidupkan orang mati dan dapat juga menghancurkan alam semesta dalam satu perintah, jika Ia menghendakinya. Yang kedua, Tuhan maha mengetahui. Artinya, tidak ada yang dapat disembunyikan di hadapan Tuhan, karena Dia mengetahui segala rahasia dan bahkan pikiran-pikiran kita. Kita tidak dapat menyembunyikan sesuatu terhadap Tuhan. Yang ketiga, Tuhan maha penyayang. Tuhan mencintai dan menyayangi kita layaknya kita ini adalah anak-Nya.
Tentu saja tidak semua penganut agama memiliki pandangan tentang Tuhan seperti itu. Agama Budha sama sekali tidak memiliki konsepsi tentang Tuhan. Selain itu, Hindu dan agama-agama Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan Romawi Kuno, memiliki banyak Tuhan. Bahkan para penganut Jainisme, yang ada di India, menolak Tuhan sebagai Sang Pencipta:
“Dari mana Tuhan itu sendiri berasal? Bagaimana Ia yang bukan zat, dapat menciptakan alam yang bersifat zat, dan mengapa Tuhan ingin melakukannya? Mengapa sosok yang sempurna itu menciptakan sesuatu yang tidak sempurna? Mengapa Pencipta membunuh atau menyebabkan kehancuran bagi ciptaannya?”
Tidak semua agama memandang bahwa hal-hal yang supranatural atau yang menguasai kita menyenangkan. Tuhan-tuhan orang Yunani Kuno, contohnya, tidak peduli dan terkadang sangat kejam terhadap mahluk hidup, yang berbeda sekali dengan pandangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam, jika Tuhan mereka memang ada, maka Dia pasti akan menyayangi mahluknya.
Sebagian orang percaya kepada Tuhan, yang bagi mereka kepercayaan kepada Tuhan adalah sebuah keimanan. Seringkali “mereka” menuntut “kita” untuk percaya. Tidak peduli apakah kepercayaan itu memiliki dasar atau tidak. Tetapi, sebagaimana para ilmuwan dan filsuf, kita akan menganalisa apakah mempercayai Tuhan itu masuk nalar atau tidak. Kita juga akan menganalisa apakah ada bukti yang kuat untuk menunjukan keberadaan-Nya atau tidak. Serta apakah ada argumen logis tentang keberadaan-Nya. Kita akan mengamati beberapa alasan yang kuat tentang keberadaan Tuhan. Selain itu, kita juga akan mengamati sebuah argumen terkenal yang tampaknya menunjukan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Dalam sebuah buku yang sangat menarik, The Outer Limit, Stephen Law memaparkan perdebatan antara dua anak muda yang sedang mencoba untuk memahami rahasia semesta raya ini:
Tom: Kamu tahu, semakin saya berpikir tentang hal itu, saya semakin yakin bahwa kejadian itu menunjukan pasti ada Tuhan.
Aisha: Apa yang membuat kamu begitu yakin?
Tom: Bagaimana kita menjelaskan semua kejadian ini? Dari mana datangnya semua ini?
Aisha: Dari mana datangnya?
Tom: Ya. Milyaran tahun yang lalu alam semesta ini bermula dengan suatu peristiwa Dentuman Besar.
Aisha: Saya tahu itu!
Tom: Sekarang saya ingin kamu menjelaskan mengapa Dentuman Besar terjadi? Mengapa alam semesta ini tiba-tiba saja muncul?
Aisha: Bukankah itu terjadi begitu saja?
Tom: Jangan terlalu picik. Sesuatu tidaklah terjadi begitu saja, bukan? Pasti selalu ada penyebabnya. Longsor, gempa bumi, jembatan ambruk, pasar bursa yang meleset, kita menganggap bahwa semua itu memiliki penyebab, meskipun kita tidak selalu tahu apa penyebabnya.
Kemudian Tom memberi contoh pada nyala sumbu petasan
Tom: Anggaplah ledakan itu terjadi saat ini. Tak seorang pun berpikir bahwa ledakan itu terjadi tanpa ada alasan tertentu, bukankah demikian? Adalah masuk akal menganggap bahwa ledakan itu memiliki penyebab. Meskipun kita tidak mengetahui penyebab itu. Betul?
Aisha: Ya. Memang masuk akal menganggap ada seseorang yang menyebabkan petasan itu meletus. Dengan menyalakan sumbunya: Saya membayangkan demikian.
Tom: Benar. Tapi jika anggapan bahwa letusan memiliki penyebab adalah suatu hal yang masuk akal, maka tentu masuk akal pula jika peristiwa Dentuman Besar itu memiliki penyebab, bukankah demikian?
Tuhan harus ada! Jika Dentuman Besar memiliki penyebab, maka Tuhan harus ada sebagai penyebabnya!
Aisha: Tuhan yang menyalakan sumbu?
Tom: Tepat sekali!
Aisha: Ada persoalan dengan argumen kamu, Tom. Kamu mengawali argumen dengan menganggap bahwa segala sesuatu pasti memiliki penyebab, betul?
Tom: Ya, betul!
Aisha: Jika segala sesuatu memiliki penyebab, itu berarti Tuhan juga memiliki penyebab, bukan begitu?
Tom: Saya kira demikian.
Aisha: Kalau begitu saya ingin mengetahui: jika segala sesuatu memiliki penyebab, maka apa yang menyebabkan atas keberadaan Tuhan?
Mendapatkan pertanyaan yang begitu tajam, Tom merenung sejenak, dan kemudian menjawab dengan penuh semangat:
Tom: Ah, saya tahu apa yang harus saya katakan! Tentu saja, segala sesuatu pasti memiliki penyebab kecuali Tuhan. Tuhan merupakan pengecualian pada aturan ini.
Aisha: Pengecualian?
Tom: Ya. Dia adalah satu-satunya yang tidak membutuhkan penyebab. Sebagaimana yang kamu ketahui, segala sesuatu membutuhkan penyebab, kecuali Tuhan. Itu berarti bahwa Tuhan harus ada sebagai penyebab keberadaan alam semesta. Akan tetapi, sekalipun Tuhan merupakan pengecualian dalam aturan bahwa segala sesuatu memiliki penyebab, kita kemudian tidak harus memperkenalkan penyebab bagi Tuhan.
Aisha: Suatu kemajuan. Namun saya khawatir argumen itu masih belum bisa diterapkan dan masih rapuh.
Tom: Mengapa?
Aisha: Karena jika kamu hendak memulai untuk membuat pengecualian-pengecualian pada aturan bahwa segala sesuatu memiliki penyebab, maka mengapa kita menjadikan Tuhan sebagai pengecualian? Mengapa tidak mengatakan bahwa alam semesta sebagai pengecualian?
Tom: Baiklah. Saya kira kamu boleh saja beranggapan seperti itu.
Aisha: Mengapa kita tidak perlu mengajukan Tuhan sebagai penyebab keberadaan alam semesta?
Tom: Saya kira tidak!
Aisha: Sebagaimana yang kamu ketahui, kamu tetap belum bisa memberikan kepada saya beberapa alasan agar saya bisa yakin bahwa Tuhan [yang personal] itu ada, sampai kamu mampu mendatangkan beberapa alasan mengapa saya seharusnya memikirkan bahwa Tuhanlah yang merupakan pengecualian pada aturan ini, bukan alam semesta.
Karena Tom membisu seribu bahasa, dengan penuh percaya diri Aisha melanjutkan:
Aisha: Kamu tahu bahwa dalam mitologi Hindu, Bumi diyakini terletak di atas punggung seekor kura-kura raksasa?
Tom: Mengapa mereka berkeyakinan seperti itu?
Aisha: Baiklah! Saya kira para penganut agama Hindu kuno ingin menjelaskan bagaimana segala sesuatu itu dikuasai. Segala sesuatu itu akan jatuh kecuali kalau ada sesuatu yang menyangganya. Apel, kursi, batu; semuanya akan jatuh jika tanpa sandaran. Tapi dari sini muncul pertanyaan: mengapa bumi tidak jatuh dengan sendirinya?
Aisha mengambil sebatang pinsil dan sehelai kertas, kemudian menggambar bumi dan gajah, serta memperlihatkannya kepada Tom.
Aisha: Ini penjelasannya: bumi disangga oleh seekor gajah besar.
Tom: Mengerikan sekali!
Aisha: Sekarang ada sesuatu yang tidak memuaskan dari penjelasan tentang gajah ini, bukan?
Tom: Yang kamu maksud bahwa ada pertanyaan berikutnya: lantas apa yang menyangga gajah itu?
Aisha: Tepat sekali! Tahukah kamu bagaimana mereka menjawab pertanyaan tersebut?
Tom: Tidak!
Aisha: Mereka berkeyakinan bahwa gajah itu disangga oleh seekor kura-kura besar.
Tom: Akan tetapi kemudian apa yang menyangga kura-kura itu?
Aisha: Pertanyaan yang bagus! Pada dasarnya orang-orang Hindu berhenti pada kura-kura itu. Tapi mengapa mereka berhenti sampai di situ? Padahal tentu saja kura-kura itu membutuhkan penyangga lainnya untuk menopangnya, dan binatang yang menyangga kura-kura pun membutuhkan binatang lain untuk menyangganya, dan begitulah seterusnya berlangsung tanpa henti.
Tom: Kemudian akan ada menara binatang tanpa ujung pangkal?
Aisha: Tepat sekali! Dan jika mereka berhenti pada salah satu binatang - pada kura-kura misalnya - dan berkata bahwa binatang ini tidak membutuhkan sesuatu untuk menyangganya, jika mereka mengatakan seperti itu, maka binatang inilah yang merupakan pengecualian pada aturan yang ada bahwa segala sesuatu membutuhkan penyangga. Kemudian mengapa kita tidak menjadikan bumi sebagai satu-satunya pengecualian pada aturan tersebut? Apa yang menjadi dasar kebenaran untuk memperkenalkan seluruh binatang itu?
Tom: Tidak banyak.
Aisha: Betul! Sebagaimana yang kamu ketahui, dengan memperkenalkan binatang-binatang raksasa itu, orang-orang Hindu Kuno tidak pernah memecahkan misteri tentang mengapa segala sesuatu tidak jatuh. Mereka hanya berhenti sampai di situ.
Tom: Betul sekali!
Aisha: Sekarang saya pikir tepat sekali penjelasanmu tentang mengapa sesuatu itu ada ketimbang tidak ada. Kamu menganggap bahwa Tuhan telah memecahkan misteri tersebut: bahwa Dialah pencipta segala sesuatu. Akan tetapi Tuhan tidak benar-benar memecahkannya. Seperti halnya teori kura-kura raksasa tersebut, kamu hanya mampu berhenti sampai di situ. Bukankah keberadaan Tuhan juga perlu dijelaskan?
Tom menjadi bingung, kemudian bertanya:
Tom: Kalau begitu, dari mana datangnya alam semesta ini, jika bukan dari Tuhan? Bagaimana kamu menjelaskan keberadaan-Nya?
Aisha: Terus terang, saya tidak bisa! Saya hanya dapat mengatakan bahwa kamu belum bisa memberikan kepada saya alasan singkat untuk membuktikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan.
Pada dasarnya, apa pun yang kamu nyatakan sebagai penjelasan tentang mengapa sesuatu ada ketimbang tidak ada - Tuhan atau pun sesuatu yang lain, pisang raksasa misalnya - hanya menjadi bagian dari ’sesuatu’ yang membutuhkan penjelasan.
Tom: Saya kira benar! Jadi misteri itu tak pernah terpecahkan?
Aisha: Tepat sekali! Sebagaimana yang kamu ketahui, saya mengakui bahwa ada misteri yang sangat dalam dan sangat besar seputar mengapa ada sesuatu itu ketimbang tidak ada. Saya belum melihat bagaimana penjelasan tentang keberadaan Tuhan dapat membantu memecahkan persoalan itu.
Perdebatan tersebut hanyalah merupakan salah satu problematika tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan menggunakan Argumen Kosmologis yang mengasumsikan bahwa Tuhan sebagai ”Penggerak yang Tidak Digerakan” atau ”Penggerak Utama”, yang tenyata memiliki kontrakdiksi atau ketidakkonsistenan dalam menerapkan aturan yang dirancangnya sendiri. Argumen Kosmologis ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani terkemuka, Aistoteles (384-322 SM), yang pada intinya mengatakan bahwa segala sesuatu pasti ada penyebabnya, yang jika ditelusuri terus menerus maka akan terdapat rangkaian sebab akibat yang tidak akan berakhir. Karena itu harus ada “Sebab Utama” yang tidak disebabkan lagi, sebagai pemutus mata rantai prinsip sebab akibat tersebut. Dan Tuhan harus dikecualikan dalam aturan main ini.
Justru di sinilah letak permasalahan utamanya. Mekanisme atau prosedur apa yang digunakan untuk menetapkan bahwa penyebab akhir itu adalah Tuhan? Mengapa bukan pada alam itu sendiri atau yang lainnya? Jika Tuhan selalu mendapat pengecualian, lalu apa yang tersisa dari Tuhan? Bukankah konsepsi tentang Tuhan diharapkan mampu memberikan penjelasan akhir atas realitas kosmik ini? Maka, berdasarkan argumentasi ini, kehadiran Tuhan pada akhirnya tidak mampu memberikan penjelasan apapun tentang relitas kosmik ini.
Pemikiran lebih radikal yang menggempur argumentasi keberadaan Tuhan dikemukakan oleh filsuf Inggris, Antony Flew dalam perumpamaannya yang sangat masyhur tentang ”tukang kebun yang tidak terlihat” (the invisible gardener), berikut ini:
Dua orang pria dalam rangka sebuah ekspedisi masuk ke tempat terbuka di tengah hutan rimba. Di padang rumput itu banyak bunga yang tertata dengan rapi. Pria yang satu mengatakan: ”Padang rumput ini pasti dipelihara oleh seorang tukang kebun!” Pria yang satunya lagi menyangkal. Untuk memastikan mana yang betul, mereka memasang kemah di tengah padang bunga itu dan mengamatinya siang dan malam. Tidak pernah mereka melihat tukang kebun pun di sana. Maka pria yang satu menjelaskan bahwa tukang kebun itu pasti tukang kebun yang tidak kelihatan. Untuk membuktikan hipotesis ini, mereka memasang pagar bermuatan listrik mengitari padang. Tetapi tidak pernah ada tanda-tanda orang memanjatinya. Pagar tidak bergetar dan tidak kedengaran teriakan orang tersengat listrik. Namun pria yang satu tetap bertahan pada keyakinannya. ”Kalau begitu”, katanya ”tukang kebun itu adalah tukang kebun yang tidak tertangkap dengan semua panca indera; tetapi tidak mungkin tidak ada tukang kebun!” Akhirnya pria yang satu lagi tinggal berteriak: ”Lalu apa perbedaan antara tukang kebun yang tidak dapat dilihat, didengar, diraba dan dirasa, dengan tukang kebun yang memang tidak ada?”
Tentu saja kisah tersebut hanyalah sebuah metafora yang menggambarkan bagaimana cara para teolog atau teistik untuk menghindar dari tuntutan pembuktian pernyataan-pernyataan mereka tentang keberadaan Tuhan. Begitu banyak ketidakadilan, kekejaman, penderitaan orang-orang yang tidak berdosa di dunia yang membingungkan ini. Kalau betul ada Tuhan yang maha baik dan maha kuasa, yang dapat mengubah keadaan dunia, tentu Ia tidak akan membiarkan manusia tidak bersalah menderita secara mengerikan. Padahal manusia biasa saja, andai kata tahu tentang semua fakta ini dan mampu menguranginya, dan sedikit saja memiliki rasa belaskasihan dan tekad akan keadilan, tentu akan langsung bertindak mengurangi penderitaan dan ketidakadilan itu. Maka mestinya, fakta bahwa di dunia ada begitu banyak kekejaman, ketidakadilan, dan penderitaan dapat memfalsifikasi pernyataan tentang keberadaan Tuhan.
Tetapi para teolog akan menjawab: keadilan Tuhan itu lain, belaskasihan Tuhan itu lain, dan manusia tidak akan mampu untuk melihatnya, dan seterusnya. Dengan cara pembelaan terhadap Tuhan seperti ini, maka menurut Flew, Tuhan ”mati dengan seribu penjelasan” (a death of a thousand qualifications). Sebagaimana seorang tukang kebun yang nyata, tetapi tidak kelihatan, tidak kedengaran, dan tidak teramati sedikitpun, akhirnya tidak dapat dibedakan dari tukang kebun yang tidak nyata. Apabila Tuhan adalah Sang “Pengada Mahatahu, Mahakuasa, Mahaadil, Mahabelaskasihan”, namun kekejaman, penderitan, dan ketidakadilan di dunia berlangsung terus, ia tidak bisa dibedakan dari Pengada yang tidak Mahatahu (Ia tidak tahu apa yang terjadi di bumi), atau tidak Mahakuasa (Ia tidak mampu mengubah situasi di bumi), atau kalau Ia memang tahu dan mampu bertindak, Ia tidak Mahaadil dan Mahabelaskasihan. Jadi Ia tidak dapat dibedakan lagi dari yang bukan Tuhan.
Pada tahun 1960-an, aliran “Tuhan telah mati” begitu merasuki Amerika Serikat, yang dikobarkan oleh pandangan bahwa Tuhan yang masih hidup tidak akan mengabaikan penderitaan manusia. Sebagian orang malah berpendapat bahwa Tuhan yang bermaksud baik sedang menghadapi lawan tangguh. Sebagaimana yang tertulis dalam coretan di kereta bawah tanah, “Tuhan itu hidup dan baik-baik saja, tetapi sedang mempertimbangkan proyek yang lebih gampang.”
Di antara para ilmuwan dan filsuf terkemuka, ada yang menganut paham ateis dan ada pula yang beragama. Semua itu membuktikan bahwa tidak ada pengetahuan, baik yang diperoleh pada hari ini maupun pada masa lalu, yang muncul untuk memisahkan mereka. Sikap yang paling bijaksana adalah toleransi dan keterbukaan pikiran, bukannya fanatisme, baik fanatisme teistik maupun fanatisme ateistik. Sikap yang paling rendah hati adalah kesadaran dan pengakuan bahwa tidak seorang pun mengetahui apakah “Tuhan” itu ada atau tidak ada. Tidak sedikit di antara para pemeluk agama dan penganut ateisme yang dengan jujur mengakui ketidaktahuan mereka yang sudah merupakan takdir manusia. Itu sebabnya metafisika begitu menarik dan seringkali menggairahkan. Andaikan kita tidak dapat menikmati metafisika, setidaknya kita harus menahan diri untuk tidak mengganggu minat dan kesenangan orang lain.
Sebagian penganut agama pasti merasa keberatan kalau mereka dianggap tidak mengetahui: Tuhan telah memberi mereka kebenaran sekali dan untuk selamanya. Wahyu saja sudah cukup, apa gunanya pembuktian dan argumentasi nalar bagi mereka? Bagi mereka sederhana saja: tekuni Kitab Suci, dihapal dalam ingatan dan menyampaikannya tanpa henti... Bagaimana mungkin kita merasa keberatan terhadap citra ini, kecuali jika dikatakan bahwa wahyu hanya sah bagi mereka yang mempercayainya? Itu sebabnya wahyu menjadi tidak bermanfaat, kecuali kita hanyut dalam lingkaran yang membingungkan untuk menemukan kepercayaan yang valid. Sesungguhnya, jenis wahyu yang mana yang mereka maksud? Injilkah, dengan atau tanpa Perjanjian Baru? Al-Qur’an? Kitab Veda? Avesta? Mengapa bukan ketahayulan Realian? Dan masih ada beberapa agama lain. Bagaimana caranya memutuskan akan mempercayai yang mana?
Sendi-sendi agama tersebut, meski berada di bawah naungan wahyu yang sama, telah terlibat dalam perseteruan selama berabad-abad. Gereja Katolik bertikai dengan Gereja Ortodok, kemudian dengan Cathars, lalu Protestan. Syiah konflik melawan Suni, dan sebagainya. Banyak orang tewas atas nama kitab suci yang sama! Begitu banyak pembunuhan atas nama Tuhan yang sama pula! Ini cukup memberikan bukti bahwa kita berada dalam kondisi tanpa pengetahuan. Sehingga Robert M. Pirsig dengan sinis mengemukakan: ”When one person suffers from a delusion, it is called insanity. When many people suffer from a delusion it is called Religion.”
Orang-orang tidak akan saling membunuh hanya untuk urusan matematika, fisika, geografi, atau untuk pengetahuan ilmiah lainnya, atau untuk suatu kondisi lainnya, meski kebenaran itu telah tegak dan mapan. Mereka sering saling membunuh hanya demi sesuatu yang tidak mereka ketahui atau sesuatu yang tidak mampu mereka buktikan. Oleh karenanya, berbagai perang atas nama agama merupakan fakta yang kuat untuk melawan semua bentuk dogmatisme agama. Perang-perang tersebut telah membuktikan bahwa dogma agama bukan saja sangat membahayakan karena seringkali membangkitkan rasa kebencian dan kekejaman, namun juga melemahkan dan tidak mampu menunjukan bukti yang memadai untuk memusnahkan agama lainnya. ”Bagi orang yang dicurigainya, taruhannya sangat tinggi, memanggang orang hidup-hidup atas nama agama,” demikian ungkapan getir Montaigne. Namun tak seorang pun mau membakar orang hidup-hidup demi suatu kebenaran yang bisa dibuktikan. Kengerian seperti itu muncul dari serangkaian fakta bahwa jika menyangkut masalah Tuhan, maka tak seorang pun memiliki pengetahuan yang sebenarnya. Karenanya, kita dihukum dengan perang atas nama agama ataupun mengedepankan toleransi, tergantung pada kita sendiri yang akan memutuskan, apakah fanatisme buta atau kejernihan berpikir yang dikedepankan.
Ini sama sekali tidak berarti bahwa kita tidak harus memiliki pendapat. Toleransi sama sekali tidak menyingkirkan refleksi atas realita. Ketidakpastian pun tidak menghilangkan pilihan. Justru sebaliknya, pilihan hanya dapat terjadi jika tidak ada kepastian. Filsafat berupaya merambah teritorial di luar yang mampu kita ketahui. Metafisika berarti berpikir sejauh mungkin. Di sinilah kita memasuki persoalan mengenai konsepsi tentang Tuhan, dan merambah segala kemungkinan bagi setiap kita untuk berupaya menjawabnyaialah pencipta segala sesuatu. Akan tetapi Tuh
Fakta bahwa pikiran hasil evolusi pada mahluk biologis seperti manusia mampu menciptakan citra Tuhan, tidak menjawab pertanyaan apakah keberadaan Tuhan itu realistis tak terbantahkan atau bukan. ”Tidak dapat dipahami apakah Tuhan seharusnya ada, dan juga tak dapat dipahami bahwa Tuhan seharusnya tidak ada,” ungkap Blaise Pascal pada tahun 1660. Pascal adalah seorang matematikawan dan filsuf yang paling terkenal dengan ’Taruhan Teistik’-nya. Pada suatu malam tanggal 23 November 1654, sang filsuf berusia 31 tahun yang dibesarkan dalam lingkungan Katolik Roma itu mengalami peristiwa religius mistik yang sangat mengubah kehidupannya dan mendorongnya untuk mencari dialektika antara nalar ilmiah dan suara hati nurani yang lebih memuaskan. Ia kemudian menyadari bahwa nalar semata tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan atas persoalan moralitas dan makna hakiki, melainkan mesti digabungkan dengan keyakinan deistik (keyakinan akan adanya Tuhan yang belum tentu bersifat campur tangan dalam dinamika realitas). Bagi orang-orang ateis dan agnotis, ia mengajukan argumen sebagai berikut:
”Jika Tuhan ternyata tidak ada, seseorang tidak akan dirugikan dengan meyakininya; namun jika Tuhan ada, keyakinan terhadap Tuhan akan membawa
manusia kepada kehidupan abadi. Jadi, orang harus memasang taruhan bahwa Tuhan itu ada!”
”Kita berada dalam pelayanan”, mengutip ungkapan Pascal sekali lagi. Persoalan mengenai Tuhan diberikan kepada kita oleh keterbatasan kita, ketakutan kita, sejarah kita, peradaban kita, kecerdasan kita, dan juga oleh ketidaktahuan kita.
Dalam pikiran manusia yang terbatas, kehidupan bisa tampak mempesona dan sukar dipahami, dan kelihatan diciptakan oleh kekuatan yang mahaunggul. Sebagian besar budaya manusia mengandalkan kepercayaan demi keteraturan dan kestabilan, kenyamanan dan harapan, pembenaran diri dan kekuatan, kegembiraan yang tidak diduga-duga, serta harapan akan keabadian yang gemilang. Tidak diragukan lagi bahwa pemberdayaan diri melalui teisme meningkatkan kesesuaian reproduktif rata-rata individu. Selain itu, kesamaan keyakinan dan ritual suci yang dijalani bersama merupakan kekuatan pemersatu yang ampuh dalam kelompok, yang mendorong kerja sama dan kesatuan tekad yang mendatangkan keberhasilan bagi sekelompok manusia atau masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, E.O. Wilson mengungkapkan pandangannya bahwa kecenderungan terhadap keyakinan religius merupakan kekuatan paling rumit dan ampuh dalam pikiran manusia, dan sangat mungkin merupakan bagian hakikat manusia yang tidak bisa dihilangkan.
Yang harus kita waspadai dan kita hindari adalah barbarianisme, baik yang tanpa agama seperti yang dengan gamblang dipertontonkan oleh Hitler dan Stalin, maupun yang fanatik, yang berupaya memaksakan keimanannya kepada orang lain melalui penggunaan kekerasan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum fundamentalis pada berbagai agama. Fundamentalisme dan terorisme adalah fenomena yang sangat mengerikan di abad ini. Mereka mengira bahwa dirinya para tentara malaikat yang menjalankan dan menjaga kemurnian wahyu, tetapi berperilaku seperti penjahat yang sangat kejam. Mereka adalah para tawanan dari keimanan mereka sendiri, budak Tuhan atau apa yang mereka sebut (walau tanpa pembuktian apa pun) sebagai Firman atau Hukum Tuhan. Spinoza menyimpulkan hal itu dengan mengatakan: ”Mereka berperang demi perbudakan mereka sendiri yang seolah-olah hal itu adalah kekuatan mereka.”
Bagi kalangan ateis maupun teis, semuanya memiliki tantangan besar bersama yaitu bagaimana agar nilai-nilai kemanusiaan kita tidak tercampakan oleh siapa pun, dan bagaimana agar kehidupan menjadi lebih baik bagi umat manusia penghuni planet bumi ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Albert Einstein dengan sangat bijak:
”Strange is our situation here on earth. Each of us comes for a short visit, not knowing why, yet sometimes seeming to divine a purpose. From the standpoint of daily life, however, there is one thing we do know: that man is here for the sake of other men - above all for those upon whose smile and well-being our own happiness depends.”
Menyatukan Nalar dan Hati dalam Kearifan
Dalam khasanah pemikiran Islam, ada sebuah kisah metaforik yang sangat menarik tentang permasalahan perbedaan pemahaman terhadap Tuhan, dari dua kelompok orang yang menggunakan perspektif yang berlainan.
Dikisahkan, sekelompok jamaah yang tengah mendalami tasawuf terlibat perdebatan dengan jamaah lainnya yang serius mengkaji filsafat dan sains. Mereka beradu argumentasi, siapakah diantara keduanya yang paling benar dalam memahami Tuhan. Para penganut tasawuf memandang kalangan filsuf adalah mereka yang hanya senang beradu argumentasi rasional tentang agama dan Tuhan, namun jiwanya kering. Mereka merasa pintar, tetapi justru tersesat karena kepintarannya. Tuhan berada di luar jangkauan nalar manusia, sehingga apapun yang dapat dijangkau oleh nalar tentang Tuhan hanyalah suatu perkiraan teoritis dan sebuah konseptualisasi. Oleh karena itu, menurut para penganut tasawuf, pemahaman dan pengenalan terhadap Tuhan seharusnya dengan perasaan dan mata hati, bukan dengan penalaran. Pada hakikatnya, para filsuf adalah orang-orang yang perlu dikasihani, karena mereka berputar-putar menghabiskan waktu untuk berdiskusi untuk menemukan Tuhan, padahal Tuhan itu dekat sekali, bahkan lebih dekat daripada urat nadi kita, asalkan kita mau mendekati-Nya dengan hati. Mengapa kita tidak mau memasuki wilayah hati yang merupakan jalan pintas untuk menemukan Tuhan yang memiliki singgasana dalam kalbu setiap orang yang beriman?
Merasa tersinggung karena dianggap tersesat langkah, maka para jamaah pendukung filsafat pun marah. Mereka mengganggap bahwa justru para penganut tasawuf yang salah dalam memililih jalan untuk memahami Tuhan. Anugerah Tuhan yang paling besar adalah akal pikiran, yang dengannya manusia diperintahkan membaca ayat-ayat kebesaran Tuhan, sehingga mengantarkan manusia untuk memperoleh keyakinan yang kuat tentang keberadaan-Nya. Untuk apa manusia dianugerahi akal pikiran dan indera kalau bukan untuk membaca ayat-ayat-Nya yang bertebaran di seantero jagat raya ini? Bahkan juga di dalam dirimu sendiri? Dalam pandangan para filsuf, mengenal Tuhan dengan rasa sebagaimana yang ditempuh kaum sufi lebih bersifat psikologis serta tidak mendatangkan jalan terang benderang menuju Tuhan. Ketika seseorang dihadapkan pada pada kitab suci, hal pertama yang harus dilakukannya adalah membaca, memikirkan, mendialogkan, dan menyimpulkannya, bukan sekedar merasakannya. Bukankah makna Al-Qur’an sendiri adalah himpunan ayat Tuhan untuk dibaca, dipahami, dan direnungkan maknanya?
Demikianlah, perdebatan antara kedua kelompok itu berakhir dengan pertengkaran, karena masing-masing pihak mengklaim dirinyalah yang paling benar dan paling dekat dengan Tuhan. Untuk mencari solusi agar tidak terjadi perpecahan di kalangan umat, kedua belah pihak sepakat untuk menghadirkan seorang guru dari kalangan sufi dan filsuf. Keduanya didaulat untuk melakukan debat terbuka, disaksikan oleh semua jamaah, agar umat bisa melihat sendiri, siapakah di antara keduanya yang benar dan menang dalam debat terbuka itu, dan kemudian akan dijadikan panutan atau imam.
Tiba hari yang ditentukan, maka masyarakat datang berbondong-bondong layaknya pendukung pertandingan sepak bola yang fanatik. Di sebuah lapangan terbuka sudah tersedia panggung dengan dua kursi, sebuah untuk sang guru sufi, satu lagi untuk sang guru filsafat. Tepat pada jam yang telah ditentukan, kedua guru itu naik ke panggung, berjabatan tangan dan memberi salam, selanjutnya beradu argumentasi.
Tidak sampai lima menit berdialog, kedua guru itu berdiri, dan menyatakan debat telah selesai. Para pengunjung penasaran, siapakah yang menang di antara kedua guru itu, dan meminta agar kesimpulan disampaikan secara terbuka sehingga umat tidak terpecah-belah, tidak lagi bertengkar karena akan mengganggu keyakinan dan ketentraman hidup beragama. Maka guru sufi berdiri dan berkata, “Ternyata apa yang dipikirkan oleh teman saya sang filsuf tentang Tuhan sama dengan apa yang saya rasakan sebagai penganut ajaran sufi.” Hanya kalimat itu yang terucap. Kemudian sang sufi itu duduk, gantian sang filsuf berdiri dan berkata, “Saya gembira bisa bertemu dengan teman saya sang sufi, dan ternyata apa yang ia rasakan dan ia cari tentang Tuhan adalah sama persis dengan yang saya pikirkan sebagai penganut filsafat. Kami berdua memiliki kesamaan tujuan, yaitu sama-sama ingin mendekati kebenaran namun dengan cara yang berbeda. Yang satu lebih menekankan akal, dan yang satu lagi lebih mengutamakan hati. Walaupun demikian, keduanya adalah anugerah dari Tuhan yang satu.”
Demikianlah, perdebatan pun usai, lalu keduanya berpelukan, diikuti oleh para pengunjung yang datang. Mereka yang memilih jalan tasawuf dan yang memilih jalan filsafat bisa saling memahami dan menerima perbedaan masing-masing, karena perbedaan tidak berarti harus bermusuhan. Perbedaan sebaiknya dilihat dari segi positifnya. Justru dengan adanya perbedaan cara pandang dan argumentasi, maka suatu kebenaran lalu teruji sehingga terjadi proses pelurusan dan penjernihan sebuah konsep seandainya di sana terjadi penyimpangan dan kepalsuan. Namun, pemahaman dan pengalaman tentang kebenaran tidak selalu monolitik dan finalistik bagi manusia. Terlebih lagi kebenaran tentang Tuhan dan sabda-sabda-Nya. Bukankah ilmu Tuhan meliputi segala-galanya, sedangkan ilmu manusia hanyalah sebagian kecil dari realitas ciptaan Tuhan?
Hal ini selaras dengan kisah tentang perdebatan antara antilop, pohon dedalu, singa, burung robin, dan beruang mengenai hakikat Tuhan, seperti yang saya kutip pada awal tulisan ini. Kisah selanjutnya:
…. [A]khirnya, muncul suatu permohonan. Tampaknya permohonan itu berasal dari kerikil dan bebatuan, dari gunung, samudera dan bintang-bintang:
“Hentikanlah…”
Kemudian suasana cukup lama menjadi hening dan mencekam…
Mereka terdiam, dan akhirnya bisa mendengar… dan melihat Tuhan di antara satu sama lain.. dalam keindahan seisi bumi.
(Douglas Wood)
Daftar Bacaan:
Armstrong, Karen. A History of God: The 400-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. Ballantine Books, New York, 1993.
Avise, John C. The Genetic Gods: Evolution and Belief in Human Affairs. Harvard University Press, 2001.
Comte-Sponvile, Andrē. Spiritualitas Tanpa Tuhan. Terjemahan Ully Tauhida. Pustaka Alvabet, 2007.
Davies, Paul. The Mind of God: The Scientific Basic for Rational World. Touchstone, New York, 1993.
Dawkins, Richard. The God Delusion. Black Swan, 2007.
Law, Stephen. The Outer Limits. Orion Children Books, 2003.
Magnis-Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Penerbit Kanisius, 2006.
Zohar, Danah & Ian Marshal. Spiritual Capital: Wealth We can Live by Using Our Rational, Emotional, and Spiritual Intelligence to Transform Ourselves and Corporate Culture. Blommsbury Publishing Plc. London, 2004.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar