Dwi Istanto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Nilai Itu Penting, Tapi Kenapa Kita Terlalu Takut Nilai Jelek?

Nilai Itu Penting, Tapi Kenapa Kita Terlalu Takut Nilai Jelek?

Nilai Itu Penting, Tapi Kenapa Kita Terlalu Takut Nilai Jelek?

Di suatu pagi ulangan, seorang murid duduk gelisah. Tangannya dingin, matanya tak fokus. Ketika lembar soal dibagikan, bukannya mulai membaca, ia malah menunduk, berdoa panjang—bukan agar paham, tapi agar nilainya tidak jelek. Dalam kelas lain, seorang siswa yang dapat nilai rendah menyobek kertas jawabannya diam-diam dan membuangnya di belakang sekolah. Ada juga yang lebih ekstrem: pura-pura sakit setiap kali ada ulangan.

Fenomena ini bukan kasus terpisah. Ia jamak. Diam-diam, nilai akademik telah menjelma menjadi sumber kecemasan kolektif dalam sistem pendidikan kita. Semua orang terobsesi dengan angka, tapi sedikit yang bertanya: apa sebenarnya yang sedang kita kejar?

Nilai akademik memang penting. Ia bisa memberi umpan balik, menjadi alat ukur, bahkan tiket menuju jenjang berikutnya. Tapi ketika nilai menjadi pusat semesta pendidikan, ada banyak hal yang dikorbankan.

Anak-anak belajar bukan karena ingin tahu, tapi agar tak mendapat angka merah. Sekolah bukan lagi tempat menemukan potensi, tapi tempat menghindari kegagalan angka. Bahkan dalam obrolan orang tua di grup WhatsApp, yang paling sering dibicarakan adalah nilai—bukan sikap, bukan semangat, bukan proses belajar.

Obsesi ini melahirkan budaya takut. Takut dapat nilai jelek. Takut dimarahi. Takut malu. Lalu ketakutan ini membentuk strategi bertahan: mencontek, minta bocoran, pura-pura paham, atau hanya menghafal tanpa mengerti.

Dalam dunia psikologi pendidikan, Carol Dweck pernah menyatakan lewat teori Growth Mindset-nya bahwa persepsi terhadap kegagalan menentukan arah belajar seseorang. Anak yang percaya bahwa kecerdasan bisa berkembang (bukan bawaan tetap), cenderung berani salah dan tidak takut nilai jelek—karena mereka memaknai proses, bukan hasil. Tapi sistem kita justru menanamkan mindset sebaliknya: bahwa nilai rendah adalah tanda tak mampu.

Vygotsky dengan Zone of Proximal Development-nya juga menekankan bahwa anak paling berkembang ketika berada dalam situasi yang menantang—kadang gagal—tetapi tetap merasa aman secara psikologis. Ironisnya, kita justru menciptakan sistem yang memberi tantangan, tapi minim rasa aman.

Dari perspektif Islam, Ibnu Khaldun mengkritik keras pendidikan yang menekankan hafalan dan hukuman atas kesalahan. Ia menekankan pentingnya pendekatan bertahap, pemahaman makna, dan tadarruj (progres bertingkat dalam pembelajaran). Dalam Muqaddimah, ia menyebut bahwa tekanan berlebih justru merusak jiwa belajar anak.

Begitu pula Imam Al-Ghazali, yang membedakan antara ilmu yang ditanamkan karena cinta dan ilmu yang ditanamkan karena takut. Yang pertama membekas. Yang kedua cepat hilang dan menyisakan luka.

Di balik angka tinggi, ada banyak anak yang kehilangan rasa ingin tahu. Di balik rapor yang bagus, ada banyak anak yang menyembunyikan kegelisahan. Sering kali, anak-anak tidak tahu apa yang sedang mereka pelajari—mereka hanya tahu bahwa mereka harus mendapat nilai bagus.

Ini mirip lomba lari yang tak jelas arah. Mereka berlari kencang, tapi tak tahu kenapa. Dan setiap kali tersandung, mereka dihukum, bukan ditolong.

Padahal, dunia nyata tak menilai kita dengan angka. Dunia nyata menghargai ketekunan, kejujuran, kolaborasi, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Semua itu tak bisa diwakili oleh satu angka di atas kertas.

Kita tak sedang mengajak untuk menghapus nilai. Tapi kita perlu mereposisinya. Nilai adalah alat, bukan tujuan. Ia bisa membantu guru dan murid memahami di mana posisi mereka, tapi tidak boleh menentukan harga diri mereka.

Sekolah dan guru perlu membangun ruang yang aman untuk gagal. Ulangan tak harus mengerikan. Remedial bukan hukuman, tapi kesempatan. Anak yang belum bisa, bukan berarti bodoh—mungkin hanya belum sampai waktunya.

Kita perlu menghargai anak yang bertanya, meski jawabannya salah. Kita perlu mengapresiasi anak yang berani mencoba, meski hasilnya kurang. Karena di situlah pendidikan hidup.

Nilai akademik itu penting, tapi ketika ia berubah menjadi ketakutan, maka kita kehilangan makna belajar yang sejati.

Kita perlu lebih jujur: mungkin sebagian besar dari kita juga pernah menangis karena angka. Mungkin pernah merasa gagal karena rapor. Tapi apakah itu benar-benar menggambarkan siapa kita sekarang?

Pendidikan bukan soal siapa yang dapat nilai tertinggi, tapi siapa yang tetap tumbuh meski berkali-kali jatuh.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post