Rindu yang Tak Bisa Kubawa pulang
Desiran angin malam kembali mengusik kulitku, dinginnya seakan menembus hingga ke sumsum rindu yang tak lagi mampu kuhangatkan. Aku berdiri di ambang jendela, mematung dalam bayang-bayang masa lalu yang kini membeku, tak mampu kuhangatkan meski dengan segenap ingatan.
Mataku menatap satu gambar yang selalu kusimpan di sisi ranjang—foto dirinya saat tersenyum padaku, senyum yang kini menjadi diam yang abadi, seolah hanya hidup dalam bingkai, bukan lagi dalam hidupku.
Di sudut malam yang sunyi, kusandarkan bahuku pada angin. Ia setia mendengarkan, meski tak pernah menjawab rinduku. Ia tak membalas perih yang kupeluk setiap malam, tak menghapus luka yang kubiarkan menganga demi kebahagiaannya. Dia, lelaki yang dulu kupanggil "suami", kini larut dalam kehidupan yang aku ciptakan untuknya—kehidupan yang membuatnya lupa daratan... lupa aku.
Aku masih ingat hari itu, ketika aku duduk diam di barisan belakang, menyaksikannya mengucap ijab qabul. Bibirnya fasih, tapi jiwanya gemetar. Ia menatapku setelah itu—tatapan kosong, penuh luka. Dan aku, yang duduk dengan air mata mengalir di pipi, menunduk menyembunyikan luka yang aku sendiri ciptakan.
Ia tak ingin pernikahan itu. Tapi aku memaksanya. Bukan karena aku tak mencintainya, justru karena cinta itu begitu besar hingga aku rela melepaskannya. Rahimku telah memutuskan garis takdir kami—kosong, hampa, tak bisa memberi ia warisan hidup. Maka, dengan hati remuk, kupilihkan seorang wanita untuk menjadi jalan hidupnya, menjadi ibu dari anak-anaknya, menjadi... penggantiku.
Bulan pertama dan kedua, ia masih tenggelam dalam kesunyian. Sesekali ia menemuiku, masih dengan tatapan yang dulu. Tapi waktu, seperti yang sering terjadi, adalah pisau tajam yang perlahan-lahan memisahkan kami.
Bulan keenam, ia mulai tersenyum. Ada rona di wajahnya yang tak pernah kulihat sebelumnya—bahagia yang tulus. Aku tahu, benih itu mulai tumbuh dalam rahim wanita yang kini mendampinginya. Dan aku... diam-diam menunduk, mencoba ikut bahagia.
Bulan kedelapan, ia mulai merasa risih. Pertanyaanku dianggap mengganggu. Aku tak ingin mencampuri, hanya ingin tahu kabarnya—dan bayinya. Tapi ternyata, kehadiranku menjadi beban. Hingga suatu malam, sebuah pesan singkat masuk:
"Jangan hubungi aku lagi."
Sejak itu, aku benar-benar sendiri. Tak ada yang menanyakan keadaanku, tak ada yang mengingat hari ulang tahunku, tak ada lagi tempat berbagi tawa atau tangis. Hanya angin malam dan kenangan yang setia menemani.
Kadang, aku masih bermimpi tentangnya—duduk bersamaku, bercerita tentang masa depan yang tak pernah terjadi. Tapi saat pagi datang, aku terbangun dan menyadari bahwa rindu ini tak pernah benar-benar pulang. Ia hanya datang, menetap, dan membuat rumah di hatiku yang hampa.
Jika cinta adalah tentang melepaskan, maka aku telah mencintainya dengan sempurna. Tapi jika cinta juga butuh dikenang, maka aku hanya ingin dikenang, walau dalam diam.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku menyandarkan punggung pada kursi tua, menatap langit yang sama dengan langit yang menaunginya. Mungkin, di suatu tempat, ia sedang tertawa bahagia bersama keluarga kecilnya. Dan aku di sini, tetap diam, tetap setia... pada rindu yang tak bisa kubawa pulang.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sedih bacanya Pak.
Terima kasih, Sehat selalu Uci.