Sujud Terakhir
Oleh Fadlin Yunus
Lantunan azan Subuh itu mengalun lembut dari surau kecil di bawah lembah. Suaranya meliuk-liuk, menari di antara hembusan angin gunung yang menuruni lereng, lalu menyusup perlahan melalui celah-celah dinding kayu bilik mungilku. Aku mendengarnya dengan mata masih terpejam, tapi batinku telah terjaga. Seruan itu—panggilan dari langit—tak pernah gagal menyentuh sesuatu yang dalam di dalam diriku, sesuatu yang tak bisa dijelaskan kecuali dengan air mata.
Aku membuka mata. Cahaya lampu minyak yang redup masih menyala di sudut kamar. Bilik ini hanya dua kali tiga meter, tak lebih luas dari tempat tidur rumah orang kebanyakan. Tapi dari sinilah aku menanti surga. Dari sinilah aku memeluk takdir yang getir.
Tubuhku kecil, jauh lebih kecil dari anak seusia lima belas tahun. Aku tahu, penyakit ini telah merampas masa tumbuhku. Aku pernah bercermin, dan melihat wajah yang tak lagi segar, pipi yang mengempis, kulit yang menguning. Tapi aku tak lagi takut. Ketakutan telah digantikan oleh kerinduan—kerinduan akan pertemuan yang abadi.
Aku menarik selimut tipis dari tubuhku. Rasa dingin langsung menyerbu, merayap dari ujung kaki hingga punggung. Tapi itu bukan musuh bagiku. Musuhku yang sejati adalah selimut itu sendiri, yang setiap pagi selalu menggoda agar aku tetap terlelap dan melupakan panggilan Tuhan. Hari ini, aku kembali menang.
Dengan napas yang berat dan langkah yang goyah, aku meraih kendi tanah liat yang terletak di sudut ruangan. Airnya dingin seperti es, berasal dari mata air yang mengalir turun dari lereng gunung. Saat percikannya menyentuh kulitku, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum. Tapi aku tersenyum.
"Biarlah air dingin ini menyiksa tubuhku... daripada nanti aku dibakar oleh api yang membara di akhirat."
Aku tak tahu dari mana kata-kata itu datang. Mungkin dari Ustaz Abdullah yang sering berceramah di surau. Mungkin dari Ibu yang dulu selalu membangunkanku dengan kecupan dingin di dahi. Tapi kini, hanya suara azan yang menemaniku bangun.
Sajadah lusuh itu menunggu di sudut ruangan. Aku membentangkannya perlahan, hati-hati, seakan tak ingin melukai kenangan yang telah melekat padanya. Motif masjid di permukaannya telah pudar dimakan waktu, tapi bagiku, itu adalah pintu. Pintu menuju keheningan yang penuh makna.
Aku berdiri perlahan. Tubuhku tak lagi kuat, tapi aku masih bisa rukuk. Aku masih bisa sujud. Dan selama aku bisa, aku akan terus melakukannya. Lima waktu, seumur hidupku.
Kadang, aku merasa iri kepada mereka yang sehat, yang bisa berlari, tertawa, bermain sepak bola di lapangan belakang sekolah. Tapi rasa iri itu selalu kalah oleh rasa syukurku, karena sakit ini membuatku lebih dekat dengan-Nya. Lebih cepat dewasa, kata Ibu. Lebih cepat mengerti makna hidup, kata Ayah.
Ayah dan Ibu sudah lama pergi. Kecelakaan sepuluh tahun lalu merenggut mereka. Sejak itu, aku tinggal bersama paman di kaki gunung ini. Rumah kayu sederhana ini, walau tua dan sempit, telah menjadi tempatku tumbuh bersama doa.
Aku ingat ketika dokter menyampaikan vonisnya. “Sisa umur Hamzah tinggal enam bulan,” katanya dengan nada datar, seolah tak menyadari bahwa di depannya ada anak manusia yang masih ingin hidup. Tapi aku tak menangis. Hanya tersenyum. Hidup ini memang pinjaman. Aku hanya sedang bersiap mengembalikannya.
Pagi itu, dua bulan setelah vonis itu, aku merasa Subuh lebih tenang. Langit belum terang, tapi rasanya cahaya sudah masuk ke dalam dada. Tak ada rasa sakit pagi itu. Tak ada nyeri yang biasa menusuk saat aku rukuk atau sujud. Tubuhku terasa ringan, bahkan lebih ringan dari angin.
Usai salam, aku masih duduk di atas sajadah, memandangi langit-langit kamar yang mulai dipenuhi cahaya fajar. Aku ingin menutup mataku sebentar, hanya sebentar.
Dan di sanalah aku melihat Ibu. Ia tersenyum, memelukku. Di belakangnya, Ayah berdiri dengan tangan terbuka. Cahaya di belakang mereka begitu terang, begitu hangat, tak seperti dunia.
"Sudah waktunya pulang, Nak," bisik Ibu.
Aku menangis. Tapi entah mengapa, tak ada rasa sedih. Hanya kelegaan, seperti embun yang menguap dalam hangat mentari.
Beberapa hari kemudian, Paman menemukanku terbaring di atas sajadah, masih dalam posisi duduk. Wajahku damai, seperti sedang tertidur.
Dan aku memang sedang tertidur—untuk selamanya. Tapi aku bahagia. Aku pergi dalam sujud, dalam Subuh yang khusyuk, dalam cinta yang tak pernah mati.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
keren pak,...sehat dan sukses selalu