Pengabdian Tanpa Batas
Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Aku sudah memakai jaket dua lapis, kaus kaki dan sarung tangan yang tebal tapi hawa dingin saja masih saja terasa. Kurapatkan kedua telapak tangan dan menggosok-gosokkannya perlahan. Ini sudah malam keseratus aku berada di sini. Di sebuah pondok pesantren yang berada di bawah kaki gunung merapi. Lebih kurang tiga bulan sudah berlalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini tapi aku masih saja belum bisa beradaptasi dengan cuaca dingin ini. Bahkan bila malam tiba aku berusaha menghangatkan tubuh dengan secangkir teh hangat. Tetap saja aku masih kedinginan. Tapi sebenarnya kondisi ini jauh lebih baik. Saat pertama kali datang ke sini, aku tidak memakai jaket sama sekali. Sesekali aku bergidik saat angin sore mengelus tubuhku. Meskipun memakai pakaian lengan panjang dan jilbab dalam seperti akhwat, hawa dingin sore itu tak mau bersahabat denganku serangan-serangan dinginnya itu membuatku menggigil kedinginnan saat malam tiba. Aku masih ingat bagaimana seisi asrama sibuk mencari tambahan selimut dan beberapa kaus kaki untuk menghangatkn tubuhku. Pernah suatu hari saat ibuku berkunjung ke sini. Dia sempat menangis melihat kondisiku-anak sulung-yang menjadi kebanggaannya menggigil kedinginan.
" Sudahlah Nia, kamu berhenti sajalah mengajar di sini. Nanti kamu ikut tes CPNS, kan sbntar lagi akan ada penerimaan CPNS"
Aku tak bergeming. Aku menundukkan wajah sambil menghitung jemari kakiku yang masih berjumlah sepuluh.
"Apa, sih yang kau cari di sini. Lihat kondisimu, tubuhmu saja tak mampu menyesuaikan diri dengan situasi di sini. Tidur hanya beralaskan kasur busa tipis dengan selimut tipis pula, mama tak sampai hati melihatmu seperti ini. Lebih baik kamu di rumah , cari pekerjaan lain yang lebih layak. Mama yakin kamu pasti bisa mendapatkannya." Mama berusaha membujukku dengan penuh kelembutan. Aku berusaha mengangkat wajah dan memandang wajah mama. Mamaku masih cantik saat itu. Kebijaksanaan tergambar jelas di wajahnya. Mama tak pernah memaksakan kehendak kepadaku. Aku sangat mengenal mama. Namun, jika sudah marah, mamaku lebih garang dari singa. Menakutkan. Itulah mengapa aku tak pernah bisa menatap matanya saat berbicara. Bola matanya yang sebesar bola bekel itu kalau melotot pasti akan loncat keluar dan menghantam mukaku. Aku tak kuasa membayangkannya kalau itu sampai terjadi.
"Aku baik-baik saja kok ma. Aku menjawab pelan, tapi penuh keyakinan.
"Mama kan tau aku anak yang kuat. Aku pasti bisa melewati semua ini. " Aku berusaha meyakinkan mama.
Penolakanku kadang-kadang membuat mama geram. Aku selalu melontarkan berbagai alasan untuk menolak ajakan mama. Padahal hampir setip datang ke Pondok mama mendapatiku masih dalam kondisi yng sama.
"Berapa sih gajimu di sini? Biar mama yang bayar asal kamu ikut pulang bersama mama"
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan mama waktu itu. Mamaku jga g salah, orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Aku tau gajiku di sini tidak seberapa. Jika aku di rmah mama juga pasti bisa memberikan dua kali lipat gajiku untuk uang jajan. Semua keinginanku selalu dipenuhi mama. Waktu kuliah dlu, aku minta dibeliin motor mama tak berpikir panjang untuk membelikan. Kemudian, menjelang penyusunan skripsi aku minta dibelikan seperangkat komputer, mama juga mengabulkannnya padahal saat itu, teman" ku hanya satu dua yang memiliki itu. Kebahagiaan ku dan adik2ku adalah yang utama bagi kedua orang tuaku terutama mama. Seluruh isi dunia pun jika kuminta pasti akan diberikan mama padaku meskipun ia harus berhutang kesana-kemari untuk memenuhi keinginnku itu. Makanya sampai saat ini mama blum ikhlas melihat kondisiku di pesantren.
"Apa?? Jam segini kamu belum makan Nia?
Aku melirik jam tanganku. Pukul 20.30 WIB mama menelponku.
"ya belum lah ma, kan baru selsai sholat Isya di mesjid, habis ini baru Nia makan ke ruang makan."
"Nanti kamu sakit maag??"
"Insyaalah nia baik-baik aja kok ma. Aku kembali yakinkan mama.
Hampir setiap hari mama menelpon dan hampir setiap hari pula aku mengarang cerita yang menyenangkan agar mama percaya aku baik-baik saja.
Namun udara yang begitu dingin membuat ku tak bisa bicara banyak.
"Pokoknya mama gak mau tau, kalau kamu begini terus mama akan jemput kamu. Kamu harus pulang sama mama. Titik!!"
Mama membanting telponnya. Panggilan seketika terputus. Aku terdiam. Aku tak pernah mendengar mama semarah itu padaku itu. Aku berusaha tenang. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Calm down Nia. Mama hanya terbawa perasaan. Mama adalah bidadari yang digoda syetan durjana. Aku bicara sendiri untuk menenangkan diri. Sejak kejadian itu, mama sudah jarang meneleponku. Entah sudah bosan dengan tingkahku atau percaya kalau aku baik-baik saja. Sampai sekarang tak kutemukan jawabannya. Aku berusaha menghubungi mama. Telpon dariku tak pernah diangkat. Aku cemas. Pikiranku melayang membayangkan mama. Keluarga ku dikampung tak satupun menjawab telpon dariku. Ada apa ini??? Ribuan pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Kenapa semuanya tiba-tiba menghilang. Ingin rasanya ku terbang sekarang juga ke kampung menemui mama, menangis memohon maaf bersujud dikakinya. Kalau-kalau ada perkataan dan perbuatanku menghancurkan perasaannya hingga lumat tak bersisa. Jika mama memintaku untuk minum air cucian kakinya pun akan kulakukan asalkan mama tetap ada untukku. Tapi aku tak bisa. Aku punya tanggung jawab besar di sini. Aku harus menjaga dan mengayomi lima belas santri. Aku harus menjadi ibu mereka, ibu dari anak yang tak pernah aku lahirkan. Jika kutinggalkan mereka sekarang, apa yang akan terjadi nanti. Siapa yang bangunkan mereka sujud sahur dan sholat subuh. Siapa yang mengingatkan mereka tugas dan kewajibanya yang hrus mereka lakukan. Mereka masih anak-anak. Mereka masih butuh bimbingan. Pikiranku makin berkecamuk. Tapi bagaimana dengan mama???. Aku bisa gila kalau begini. Semakin aku emosional, hawa dingin semakin gencar menyerang tubuhku.
Perlahan ku lepaskan sarung tangan dan kaus kakiku. Aku berjalan ke belakang untuk mengambil air wudhu. Aku menggigil seketika tanganku menyentuh air. Bulu roma tanganku berdiri. Padahal masih Pukul setengah lima sore, tapi udara sudah begitu dingin. Aku kuatkan hati. Aku ingin menenangkan diri sejenak diatas sajadah. Fokus Nia....Fokus...Ingat Allah saja, Allah saja, hanya Allah yang mampu membolak-balikkan hati. Allah saja. Aku membatin berusaha memfokuskan hati dan jiwaku. Aku tenggelam. Terhanyut. Aku tafakur mengisi kekosongan jiwa. Cahaya kehangatan mulai mengisi relung jiwaku. Jiwa yang selama ini hampa. Jiwa yang selama ini tak pernah merasakan kedamaian. Rayuan duniawi yang begitu menggoda membuatku terhanyut dan melupakan yang Maha Agung pemilik seluruh alam semesta. Hanya di pondok ini aku bisa menemukan seberkas cahaya terang menerangi relung jiwaku yang gelap dan hampa. Aku sudah melanglang buana mereguk ribuan pengalaman. Memakan ribuan buku mencari kebenaran yang hakiki. Tapi tak kunjung aku dapatkan. Sampai saat aku menginjakkan kaki di pesantren ini. Di pondok ini aku merasakan kedamaian jiwa.
Lama aku tenggelam dalam sujud yang tak ingin kuakhiri. Tenggelam jauh ke dalam. Aku tak ingin kembali ke permukaan. Sampai tak kusadari sebuah sentuhan hangat dari jemari yang tak asing bagiku. Jemari yang selalu menyentuh penuh kehangatan kasih sayang yang tak pernah putus. Jemari itu menyentakkanku. Aku bangkit dari sujud, seketika air mataku tumpah tak terbndung. Aku berbalik dan memeluk tubuh mama. Hangat. Mama berbisik padaku dalam peluknya Met Milad Ya Sayang...mama tau kok, pengabdianmu ada sini pengabdian tanpa batas. Mama sayang Nia.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terima kasih pak, Semoga terwujud dalam kehidupan nyata. salam santun kembali pak
ibu yang sempurna bagi anak" nya salam santun bu