Perjodohan (Bagian 2)
Perjodohan (Bagian 2)
Tantangan Menulis Gurusiana: Menulis Itu Asyik # 22
Perjodohan
Terhitung sudah lima hari sejak pembicaaraan tersebut. Tidak ada yang berubah, lebih tepatnya belum ada yang berubah dari ibu. Memang aku belum menolak, lebih tepatnya belum meberikan keputusan. Ibu bilang akan menunggu jawabanku. Beliau memberikanku waktu berfikir selama seminggu. Seminggu??? Apa yang bisa difikirkan anak SMP terkait masalah seperti itu.
Kuingat kembali percakapan kami terakhir kemarin. “Kenapa harus Raya sih bu?”, masih kucoba untuk merayu ibu lagi. “Kan sudah ibu bilang, cuma Raya harapan ibu satu-satunya, gak mungkin kakak-kakakmu itu”, ulang ibu lagi. “Coba Raya pikirkan dulu ya,,, ibu kasih waktu satu minggu untuk memikirkannya”, jawab ibu. “Ibu hanya ingin, dengan menikahkan salah satu anak ibu dengan anaknya mendiang, berarti ibu masih bisa melihat perkembangan anak-anaknya dari dekat, ibu merasa bertanggungjawab Raya”, jawab ibu lagi. “Tapi gak harus perjodohan juga kan bu?”, balasku. “Menurut ibu, cuma itu cara satu-satunya Raya, lewat perjodohan ini, ibu merasa lebih berhak Raya”, jawab ibu kemudian. “Pikirkan saja dulu, seminggu dari sekarang, ibu tanya lagi sama kamu, mudah-mudahan kamu bisa memberikan jawaban yang bagus”, ujar ibu sambil berlalu.
Apa yang harus kujawab,,, aku bingung,,, apa yang harus aku bilang sama ibu. Entahlah,,, apa aku berani menolak keinginan ibu. Walaupun aku sering membantah ucapan ibu, namun yang aku bantah hanya permasalahan sederhana, seperti pake bedak sehabis mandi sore, aku paling males pake bedak, menurutku sehabis mandi kita udah bersih semua, bersiap untuk tidur malam nantinya, kalau pake bedak, berarti sudah ada campuran zat lain lagi pada wajah kita. Atau saat habis makan langsung disuruh cuci piring, sedangkan aku siap makan sering duduk-duduk dulu, setelah itu baru cuci piring. Hanya seperti itu bantahan yang kulakukan. Masih permasalahan biasa. Belum serumit ini.
Kuputuskan untuk keluar dari kamar. Kulangkahkan kaki menuruni tangga, saat akan memasuki ruang keluarga, kulihat ibu sedang membaca majalah kesayangannya disana. Agak heran karena biasanya ibu tidak ada waktu membaca majalah kalau bukan karena hari libur. Kulihat jarum jam yang bergerak, ternyata sudah pukul lima sore, wajarlah ibu sudah ada di rumah, sudah sore ternyata, aku saja yang lama turun ke bawah.
Tapi pandanganku berhenti, karena ibu bukannya sedang membaca, tapi lebih terlihat melamun. Majalah itu hanya sebagai panjangan ternyata. “Ibu mikirin apa?”, tanyaku pelan. Tak ada jawaban yang terdengar, bahkan ibu masih sibuk dengan pikirannya sendiri. “Bu,,,,,”, panggilku lagi sambil memegang tangannya. Terlihat ibu sedikit tersentak, apa tanyanya dengan gerakan mulut. “Ibu mikirin apa?”, kuulang lagi pertanyaan tadi. Kulihat ibu menarik nafas panjang, sangat berat, terlihat kalau ibu sedang memikirkan sesuatu masalah yang berat.
“Mikirin kamu Raya, mikirin perjodohan kamu dengan anaknya tante Yarni”, jawab ibu serak. Entah pikiranku saja, atau memang ibu sedang tidak enak badan. Kupandangi lagi wajah letih ibu, ternyata dia masih memikirkan perjodohan ini juga. “Apa yang ibu pikirkan tentang Raya?”, tanyaku lagi. “Apa yang kamu pikirkan tentang perjodohan ini?”, tanya ibu balik. Bukan menjawab apa yang aku tanyakan tapi ibu memberikanku pertanyaan balik.
Kutarik juga nafas panjang, sangat panjang malahan, untuk meredam emosiku. Jangan sampai kata-kata keramat yang muncul dalam obrolan kali ini yang bisa menyakitinya. Aku masih ingat kata guru agamaku di sekolah, bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
“Ibu mau tau apa yang Raya pikirkan? Banyak bu, banyak banget, walaupun Raya sudah kenal dengan bang Fajri dan bang Andra, tapi memikirkan perjodohan ini,,, terus menikah tanpa ada rasa, astaga bu,, Raya masih kecil,,, masih SMP bu? Bisa apa anak SMP mengurus rumah tangga. Sakit datang bulan aja, aku masih ngerepotin orang satu rumah bu,,,, apa yang ibu pikirkan tentang perjodohan ini?”, akhirnya keluar juga apa yang ada dalam pikiranku lima hari ini.
Kulihat ibu terdiam dengan apa yang aku ucapkan, aku tak tau apa yang dipikirkannya. Apakah dia menganggapku menolak, aku tak tau. Yang penting apa yang ada dalam pikiranku sudah terkeluarkan hari ini.
“Ibu tidak pernah memaksa Raya untuk langsung menikah, Raya boleh melanjutkan sekolah Raya sampai lulus kuliah, yang ibu inginkan, pada saat Raya siap nantinya, ibu mau Raya menikah dengan anaknya tante Yarni, ibu cuma mau Raya menyetujui perjodohan ini. Kalau Raya sudah setuju, nanti ibu yang akan menemui om Herman, untuk membicarakan kelanjutannya, kita tunggu dari keputusan dari keluarga om Herman ya”, ujar ibuku selembut mungkin sambil mengelus-elus rambutku dengan sayang.
Sudah pernah kubilang, kalau ibu tau titik sensitifku agar aku menurut ucapannya bukan? Mengelus rambut dan mengusap kepala, dua hal itu yang dilakukan ibu akan membuatku menurut dengan apa yang akan dia katakan. Hipnotis secara tidak langsung kalau kakakku memberi istilah. “Ibu anggap Raya sudah menyetujuinya ya,,,,”, ujar ibu lagi. Tuh kan,,, sudah kubilang kalau ibu pintar menghipnotis kami lewat gerakan cantiknya di kepalaku. “Besok ibu sama ayah ke rumah om Herman untuk membicarakan rencana ibu sama tante Yarni dulu”.
Kulihat sedikit senyum muncul dibalik wajah letihnya. “Rasa itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu kebersamaan kalian nantinya, yang penting Raya mau mencoba menimbulkan rasa itu ya sayang”, kata ibu lagi sambil terus mengelus rambutku.
Okelah, setidaknya ada senyum terlihat diwajahnya yang sudah mulai menua. Terlihat setitik kebahagiaan tersirat disana. Itu sudah membuatku sedikit bahagia. Akan kucoba saran bidadari tak bersayap ini, malaikat cantikku, penyemangat hidupku, ibukku tersayang. Apapun hasilnya nanti kedepannya, kita lihat nanti saja. Kita tunggu takdir tuhan untukku. Tuhan telah mempersiapkan ini semua. Mempersiapkan ini semua jauh sebelum-belumnya masa itu. Mempersiapkan takdirku saat roh ku ditiupkan pada perut ibu. Tinggal aku menjalaninya dengan ikhlas, seikhlas pengorbanan ibukku saat melahirkan dan membesarkan kami berempat.
Tamat bukan? .....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar