Adigang, Adigung, Adiguna (T.494)
Bab 22: Pipit Mendekati Hewan-Hewan Lain
Fajar menyingsing perlahan di Hutan Damai. Kabut masih menggantung rendah, namun suara burung mulai kembali terdengar di sela-sela keheningan. Burung Pipit kecil membuka matanya dari dahan tinggi Pohon Rapat. Ia menggeliat pelan, lalu mengepakkan sayapnya.
Hari ini, ia akan menyebarkan semangat lebih jauh lagi. Pipit tahu, masih banyak hewan di sudut-sudut hutan yang belum tersentuh kabar tentang bahaya dan rencana penyelamatan.
Pipit terbang ke arah barat, menyusuri lembah yang dingin dan gelap. Di sana, tersembunyi gua besar tempat tinggal kelelawar-kelelawar malam. Mereka jarang muncul di siang hari dan tidak pernah datang ke rapat hutan.

Pipit hinggap di bebatuan di depan gua.“Halo teman-teman,” sapa Pipit ramah.
Salah satu kelelawar mengintip dari celah atas, matanya menyipit.“Apa urusanmu ke sini, Pipit kecil?”
“Aku ingin mengajak kalian bergabung. Hutan kita dalam bahaya. Kami butuh semua bantuan.”
Kelelawar lain tertawa.
“Kami hanya aktif malam. Apa gunanya kami di siang hari?”
Pipit tak gentar.
“Justru karena kalian aktif malam, kalian bisa mengamati gerakan manusia saat kami tidur. Kita bisa saling melengkapi.”
Para kelelawar mulai memperhatikan. Tak ada yang pernah meminta bantuan mereka sebelumnya.
Akhirnya, kepala kelelawar berkata,
“Kami akan ikut. Tapi jangan harap kami berkicau sepertimu!”
Pipit tertawa kecil.
“Asal kalian bisa menyampaikan pesan lewat bayangan, itu sudah cukup.”
Dari gua kelelawar, Pipit melanjutkan ke bagian paling bawah hutan, mendekati rawa tempat tinggal buaya dan bangau rawa. Di sana, sunyi dan menyeramkan. Tak banyak yang berani datang ke situ.
Pipit mengatur nafasnya. Ia tahu, buaya bukan makhluk yang mudah diajak bicara.
“Aku tahu kalian jarang bergaul,” ucap Pipit saat bertemu dengan Buaya Tua di pinggir air.
“Kami tak punya urusan dengan urusan daratan,” gumam Buaya.
“Tapi rawa ini juga akan kering jika sungai dibendung oleh proyek manusia,” jawab Pipit cepat.
Bangau yang sedari tadi diam, menyahut,
“Kalau begitu, kita tak punya pilihan.”
Buaya menatap Pipit lama. Lalu dengan anggukan lambat, ia berkata,“Baiklah. Kami akan jaga jalur air dari sisi selatan. Tapi jangan ganggu saat kami tidur.”
Pipit mengangguk.
“Janji.”
Burung Pipit terus terbang. Ia ke pegunungan, menyapa musang dan rusa gunung, lalu ke padang terbuka menemui kerbau liar dan serigala.
Semua hewan, dari yang paling kecil hingga yang paling kuat, mulai mengerti:Bukan soal siapa yang paling hebat. Tapi siapa yang bersedia melangkah bersama.
Pipit mencatat semua posisi, potensi, dan janji bantuan mereka. Ia menyusun peta kecil di benaknya.
Saat matahari mulai tenggelam, Pipit kembali ke Pohon Rapat. Ketiga raja Kijang, Gajah, dan Ular sudah duduk di bawah.
“Laporanmu?” tanya Raja Gajah.
Pipit tersenyum.
“Semua hewan sudah bersiap. Dari langit hingga rawa, dari gua ke gunung. Kita mungkin berbeda bentuk, tapi sekarang kita satu suara.”
Raja Ular mengangguk pelan.“Luar biasa… seekor Pipit bisa membuat seluruh hutan percaya.”
Raja Kijang menambahkan,
“Dan kini, kita tak sendiri lagi.”
Pipit menatap malam yang mulai gelap, lalu berkata lirih:
“Ini belum akhir. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, hutan kita bersatu.”
================================================================
Garahan, 02 Juli 2025 / Rabu Kliwon, 06 Muharram 1447 H, 08.48 WIB

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar