Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.468)

Selendang merah sang Nenek (T.468)

Bab 25 – Jakarta, Aku Datang!

Suara roda koper yang digeret di lantai terminal stasiun mengiringi langkah Zahira dan rombongannya pagi itu. Hari yang dinanti akhirnya tiba hari di mana Zahira dan beberapa perwakilan dari Sanggar Anak Langit bertolak ke Jakarta untuk menghadiri Forum Budaya Anak Nasional. Bukan hanya membawa pakaian dan perlengkapan, mereka membawa harapan, cerita, dan semangat sebuah desa kecil yang telah menginspirasi banyak orang.

Anak-anak yang ikut, semuanya mengenakan seragam batik khas sanggar, dengan motif biji kopi dan bunga kopi simbol keuletan dan kesucian niat. Zahira menggandeng tangan Nisa dan Rafi, dua murid yang sangat aktif menari dan kini menjadi perwakilan generasi muda sanggar. Mereka tampak bersemangat meski sedikit gugup.

"Bu Zahira," ujar Rafi,

"kira-kira nanti bisa ketemu artis nggak di Jakarta?"

Zahira tertawa kecil.

“Bisa jadi. Tapi ingat ya, kalian adalah bintang juga. Kalian datang ke sana bukan hanya menonton, tapi menampilkan. Siap?”

"Siap, Bu!" jawab keduanya serempak.

Sesampainya di Jakarta, udara panas dan bising kota langsung menyapa. Gedung-gedung tinggi menjulang dan deretan kendaraan yang tak henti-hentinya melintas membuat anak-anak tak henti melirik ke segala arah.

“Jakarta besar sekali, ya,” gumam Nisa pelan.

Mereka tiba di hotel tempat semua peserta forum menginap. Setelah registrasi dan beristirahat sejenak, mereka langsung menuju aula tempat pembukaan forum akan dilaksanakan esok hari. Panitia menyambut hangat, bahkan memberikan pujian khusus untuk kostum dan semangat anak-anak dari desa Zahira.

Malam itu, Zahira duduk sendiri di balkon kamarnya. Di tangannya, ia memegang selendang merah milik nenek Fransiska. Ia menatap langit ibu kota yang penuh cahaya. Dalam batinnya, Zahira berbisik,

"Nek, aku di sini. Semua yang kau ajarkan akan kutularkan, semua cintamu pada budaya akan kutanamkan."

Keesokan harinya, aula utama dipenuhi oleh ratusan peserta dari seluruh penjuru Nusantara guru, seniman, anak-anak, dan tokoh budaya. Di panggung besar, tertera tema acara: "Budaya sebagai Nafas Pendidikan Anak Indonesia."

Zahira mendapat giliran tampil sebagai pembicara di sesi utama. Ia berdiri di podium, menatap seisi ruangan. Hatinya berdebar, tapi ketika ia menggenggam ujung selendang di tangannya, ia merasa kekuatan nenek Fransiska menyertainya.

Dengan suara lembut namun tegas, ia mulai berbicara:

“Saya datang dari sebuah desa kecil, tempat selendang nenek Fransiska saya mengajari kami tentang rasa, gerak, dan makna. Sanggar yang kami bangun bukan sekadar tempat menari, tapi tempat anak-anak belajar menghargai identitasnya...”

Zahira kemudian menceritakan perjalanan panjang mereka, bagaimana sanggar berawal dari tikar dan halaman rumah, hingga kini mampu membina puluhan anak, membuat pertunjukan keliling, dan menyemai semangat cinta budaya sejak dini.

Penonton terharu. Beberapa panitia bahkan mengusap mata mereka yang berkaca-kaca. Setelah sesi selesai, banyak peserta dari berbagai daerah datang menghampiri Zahira. Mereka ingin belajar, berkolaborasi, dan bahkan mengundangnya untuk berbagi cerita ke daerah mereka masing-masing.

Sore itu, giliran anak-anak tampil di panggung budaya. Dengan kostum sederhana namun penuh warna, Nisa dan Rafi menari tarian kreasi yang terinspirasi dari gerakan nenek Fransiska Zahira dengan selendang merah yang terus berkibar di tangan mereka.

Tepuk tangan riuh menggema di seluruh aula. Beberapa juri dan tokoh budaya maju memberikan pujian langsung.

“Anak-anakmu luar biasa,” kata salah satu direktur seni dari kementerian. “Mereka menari dengan hati, bukan sekadar gerak.”

Zahira hanya tersenyum haru. Di tengah hingar bingar Jakarta, ia merasa kehadiran sang nenek Fransiska begitu nyata. Ia tahu, selendang merah itu bukan hanya warisan kain, melainkan warisan jiwa yang kini telah berpindah ke tangan anak-anak generasi baru.

Malam itu, mereka merayakan keberhasilan kecil ini dengan makan bersama dan tertawa lepas di ruang makan hotel. “Jakarta memang hebat,” kata Rafi, “tapi kampung kita tetap yang paling hangat.”

Zahira mengangguk. “Dan kita akan pulang membawa lebih banyak semangat.”

=================================================================

Garahan, 04 Juni 2025 / Rabu Pahing, 07 Dzulhijjah 1446 H, 21.42 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap...

04 Jun
Balas

Sakalangkong cak

05 Jun



search

New Post