Kurikulum dan Politik Mengapa Pendidikan Butuh Konsistensi, Bukan Gonta-ganti!
Beredarnya draf kurikulum baru di Indonesia kembali memunculkan perdebatan di ruang publik. Bukan semata soal isi atau arah kebijakan pendidikan, tetapi juga soal pola lama yang kembali terulang: setiap pergantian menteri, kurikulum pun ikut berganti. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kurikulum di negeri ini lebih dikendalikan oleh dinamika politik daripada oleh kebutuhan nyata di lapangan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam hal perubahan kurikulum. Dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, KBK, KTSP, hingga K13, lalu disusul dengan Kurikulum Merdeka yang masih terus dalam tahap implementasi. Masyarakat—khususnya guru dan peserta didik—sering kali menjadi “korban” dari kebijakan yang belum sempat matang tapi sudah keburu diganti.
Masalahnya bukan pada perubahan kurikulum itu sendiri, tetapi pada motif dan konsistensinya. Idealnya, perubahan kurikulum dilakukan berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh, kebutuhan jangka panjang bangsa, serta perubahan global yang relevan. Namun sayangnya, publik sering mencurigai bahwa perubahan kurikulum hanyalah bagian dari "jejak politik" seorang menteri: meninggalkan warisan kebijakan untuk menandai kepemimpinannya.
Jika hal ini benar, maka pendidikan sedang menjadi arena ego sektoral, bukan lagi lahan suci untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal, pendidikan membutuhkan stabilitas, perencanaan jangka panjang, dan proses yang berkesinambungan. Guru perlu waktu untuk memahami, menyesuaikan, dan menguasai kurikulum. Peserta didik pun butuh konsistensi agar mereka tumbuh dalam sistem yang mendukung perkembangan karakter dan kompetensinya secara utuh.
Oleh karena itu, perlu ada mekanisme yang melindungi dunia pendidikan dari kepentingan politik jangka pendek. Kurikulum harus menjadi hasil konsensus nasional yang kuat dan dijaga keberlanjutannya oleh lembaga independen, bukan hanya oleh individu pemangku jabatan. Pendidikan bukan ruang eksperimental menteri, tapi masa depan bangsa.
Dengan draf kurikulum baru yang kembali beredar, semestinya kita bertanya: apakah ini buah dari refleksi akademik dan kebutuhan bangsa, atau sekadar bayang-bayang dari siklus politik lima tahunan?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar