Ghania
Tantangan hari ke-19
#Tantangangurusiana30hari
Ghania (Bagian 1)
Desa ini, sebut saja desa Bunga Tanjung adalah desa kelahiran ayahku. Disinilah ayahku dibesarkan. Udaranya sangat sejuk karena hampir sekeliling rumah ini adalah pohonan. Yang membuat desa ini unik adalah warna airnya yang persis seperti teh, merah kecoklatan. Airnya seperti itu karena kata ayahku sebagian besar tanahnya ditutupi oleh akar merah. Desa ini tidaklah begitu ramai, tidak ada lampu jalan, rumahpun masih berjauhan satu dengan yang lainnya. Rumah panggung, biasa orang menyebutnya. Tampak sesekali desa Bunga Tanjung ini dikunjungi oleh para turis asing. Mereka ingin melihat bagaimana proses sagu hingga menjadi mie, kerupuk, lempeng, atau yang lainnya. Bunga Tanjung memang terkenal dengan Sagunya. Yang paling banyak diminati adalah mie sagu. Mie yang menjadi kegemaranku sejak aku tinggal disini bersama Mbah. Sebab itulah banyak yang penasaran dengan desa ini. Tapi tidak dengan ku.
Setelah tamat SMU ayahku memutuskan untuk merantau ke kota besar, Medan. Kota dimana ia mengadu nasib dan bertemu dengan ibuku. Disana lah hati mereka saling terpaut satu sama lain hingga disahkan dengan ikatan suci yaitu pernikahan. Setahun pernikahan mereka lahirlah buah hati tercinta yaitu aku, Ghania. Aku adalah anak yang paling beruntung saat itu. Sejak kelahiranku, usaha bakso ayahku semakin meluas, dan berhasil membuka cabang hingga 10 cabang. Ibuku adalah orang yang paling bahagia, bagaimana tidak, ibuku lah yang selalu menemani masa-masa sulit ayahku hingga dikejar-kejar para rentenir waktu itu. Semua itu berhasil mereka lewati dengan titian doa dan hati yang selalu tawakal.
Ibu sering bercerita denganku bagaimana kehidupan mereka. Saat-saat bahagia maupun bersedih. Meski usiaku masih 8 tahun, aku cukup mengerti apa yang disampaikan ibu. Yang terpenting kata ibu teruslah berdoa, jangan berputus asa dan yakin akan adanya perubahan meski kita tidak mengetahuinya entah sampai kapan. Alhamdulillah karena doa dan keyakinan, ibu dan ayah menjadi sukses sekarang dan akulah anak satu-satunya yang menikmati kesuksesan waktu itu.
Saat usiaku memasuki tahun ke sepuluh, semuanya berubah. Ibuku melahirkan adik perempuan yang sangat manis, namun saat itu pula Allah mengambil kembali haknya, menjemput ibuku dan kembali ke pangkuanNya. Aku bingung dengan semua keadaan waktu itu. Bahagia sekaligus bersedih. Berbeda dengan ayahku. Sejak kelahiran adik, ayahku berubah. Ia hanya memikirkan usahanya saja, bahkan hampir lupa dengan kami. Ia menyalahkan keadaan karena menurutnya adikku lah penyebab kematian ibu. Padahal kata ibu, ayahku itu ta'at beribadah.
Sekembalinya kami dari rumah sakit, aku dan adikku dirawat oleh bibi Sinah. Adik ayahku. Bibi sinah sudah 10 tahun menikah namun belum dikaruniai seorang anak. Sepeninggal ibu, bi Sinah dan om Ganda suaminya tinggal dengan kami. Mereka tidak perlu tinggal di kontrakan lagi. Om Ganda juga orang yang setia menemani jatuh bangunnya usaha ayahku. Ayahku memercayai mereka merawat kami. Bi Sinah memang bibi yang baik buat kami. Ia merawat kami seperti anak kandungnya sendiri, menyayangi dengan penuh kasih sayang. Aku bisa melihat semua itu dari raut wajahnya, belaian lembut tangannga bahkan ia sering tidur dengan kami.
Seiring berjalannya waktu, om Ganda uring-uringan dengan kami. Aku memahami sikapnya yang demikian itu. Mungkin karena seluruh perhatian bi Sinah terkuras untuk kami. Pernah suatu saat, aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka ketika hendak memanggil bi Sinah karena Andini rewel, barang kali dia haus atau pup.
Andini adalah nama yang diberikan bi Sinah untuk adik kecilku.
"Kelihatannya kau senang sekali ya Sinah tinggal disini bareng anak-anak itu, " ucap om Ganda.
"Tentulah aku senang bang. Abang kan tau udah 10 tahun kita menantikan suara tangis bayi namun tak kunjung datang. Mungkin inilah yang disebut takdir, aku menjadi ibu dari dua anak sekaligus, meskipun bukan dari rahim ku. Toh anak bang Amir kan anak ku juga karena dia abang kandungku. Bang Amir jugalah yang membantu perekonomian kita sekarang ini hingga kita bisa membangun rumah di kampung. Siapa tau kita nanti balik lagi tinggal di kampung. " jelas bi Sinah.
"Ya, aku faham kok. Tapi, sejak tinggal disini kau seakan lupa dengan diriku, kau asyik sendiri dengan mereka."
"Maafkan aku ya bang, aku akan membagi waktu nanti. Cobalah sesekali abang bermain dengan mereka, sekedar menggendong atau bercanda. Aku yakin penat abang seharian pasti hilang. Itung-itung sebagai latihan bang jika kita punya anak nanti."
"Ah....kenapa aku yang harus peduli. Bang Amir saja sama sekali tidak mau melihat mereka."
"Itu dia bang, aku juga heran kenapa sikap bang Amir seperti itu. Aku jadi kasihan dengan Ghania, padahal dulu ia selalu menyempatkan waktu untuk bermain bersamanya, aku sempat iri waktu itu."
"Coba kau bicarakan hal ini baik-baik dengan bang Amir, bagaimana pun mereka kan anak-anaknya, haus akan kasih sayang. Apalagi sejak kepergian Monita, ibunya. Masak iya, bang Amir tidak punya hati."
"Ya bang, nanti aku bicarakan."
Tangisan Andini semakin kencang, aku bermaksud mengetuk pintu kamar bi Sinah, sedari tadi aku berada disana. Namun tanganku ini rasanya enggan sekali karena kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tiba-tiba saja bi Sinah keluar dari kamar dan memergokiku.
"Ghania?" itu Andini kenapa? kamu kok malah bengong disini tidak memanggil bibi. Yok, kita lihat adikmu, barangkali dia haus." tanya bi Sina dengan wajah heran.
Aku tidak sempat menjawab pertanyaan bi Sinah. Kami pun bersama-sama menuju kamar. Ku perhatikan bagaimana bi Sinah mengganti popok dan menyiapkan susu untuk Andini, kelak aku harus bisa menggantikan bi Sinah nanti. Aku tidak mau om Ganda marah padaku.
[Hmmmmm....tenang Andini, tenang. Mbak sendiri yang akan merawat mu nanti percayalah mbak pasti bisa, kita tidak perlu merepotkan bi Sinah lagi].
"Ghania, ghania, ghania!" teriak suara bi Sinah memanggil membuyarkan lamunanku.
Aku langsung terhentak.
"Sedari tadi bibi panggil kamu malah diam aja, kenapa? bibi lihat kamu melamun. Ngelamunin apa seh? Bocah kok udah pandai melamun. Tidur sana, besok kan harus sekolah. Bibi gak mau sekolah mu terganggu, nanti gak juara." tegas bi Sinah.
"Ya bi." jawabku.
kulihat Andini tertidur pulas, aku pun juga harus tidur. Namun, sepintas bayangan ibu seolah berada disana, didekat tempat tidur Andini. Aku ngebayangin andai saja bi Sinah itu adalah ibu, pasti aku tidak sesedih ini. Aku belum siap kehilangan ibu. Aku juga belum siap dengan keadaan ini. Terasa berat semuanya. Kehidupan ku memaksa harus bersikap dan berpikir layaknya orang dewasa. Tapi aku tidak mau Andini juga merasakan hal yang sama, aku harus bisa menjadi ibu sekaligus ayah baginya. Kelak ia tidak akan kehilangan kasih sayang sepertiku.
Aku menyayangimu Andini, sangat...menyayangimu. Gumamku dalam hati dan air mata mengiringi. Aku merasakan kesedihan yang mendalam, tanpa ayah dan ibu. Tiba-tiba aku teringat perkataan ibu, jangan pernah berhenti untuk berdoa. Saat ini aku memang kehilangan ibu dan merasa kehilangan ayah, tapi aku masih punya Allah yang siap mendengarkan keluh kesahku.
Aku bersiap untuk melaksanakan sholat tahajjud, karena dengan sholat hati dan pikiranku pasti tenang. Bukankah kulihat ibu sering melakukannya dulu, dan untung saja aku sering bertanya untuk apa dan bagaimana melakukannya. Air wudu' pun membasahi wajahku, balutan mukena menutupi tubuhku dan aku siap memanjatkan doa, meminta kekuatan pada Allah swt, karena ku yakin Allah akan menyelesaikan semua ini. Mukena bermotif bunga yang tadinya lembab karena air wudu' kini menjadi basah karena isak tangisku. Ku panjatkan seluruh doa untuk keluargaku, dan juga diriku agar kuat menghadapi semua ini. Alhamdulillah, kini aku mulai tenang dan bersiap tidur.
Nang omah bae,Lalang Tanjung 28 April 2020
Tantangan hari ke-19
#Tantangangurusiana30hari
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar