Menjemput Senja
Parman adalah seorang laki-laki desa yang sudah beristri, lagi beranak. Tinggal bersama ibunya, bukanlah beban baginya. Meski, kadang kedua kakak perempuannyanya selalu mendesak Parman adalah yang berkewajiban merawat ibunya itu. Parman menerima itu, begitu pula istrinya. Setiap hari Parman beserta istrinya itu bergantian merawat sang Ibu. Setiap pagi sebelum Parman membelai sawah dengan cangkul ia harus memandikan dan menyuapi ibunya. Lalu ia bisa berganti pakaian dinas dan memanasi kendaraan pribadinya untuk pergi ke kantor dan sekolah anaknya. Dengan bangga ia mengayuh sepeda butut yang tersisa dari bekas-bekas barang yang telah ia gadaikan untuk menutupi hutang. Parman selalu menyembunyikan wajah lelah dan kesedihanya itu dibalik senyum dan pembawaanya yang tenang. Terik matahari dan cepatnya hujan jatuh ke bumi bukan halangan lagi untuk Parman, membagi energinya dengan sawah tuan tanah yang memberi upah kepadanya.
Suatu hari Pak Sarikem lintah darat Desa itu datang bersama dua anak buahnya. Ia menagih hutang sepeninggalan ayahnya. Yang hutang kesana kemari, menjual beberapa sawah miliknya demi anak laki-laki kebanggannya itu menjadi seorang Abdi Negara yang gagah berseragam Tentara. Namun obesesi Bapaknya itu kandas setelah ujian terakhir di Kota yang mengabarkan bahwa anaknya itu tidak masuk kualifikasi sebagai calon abdi negara, bapaknya terkejut dan tak sadarkan diri dan meninggal.
“Hei Parman juragan Tanah!”
“Sudi kiranya kau membayar hutang bapakmu yang telah ditingkap bumi dan dijaga mlaikat itu. Aku rasa seorang juragan tanah mampu membeyar hutang yang tidak seberapa besar itu sekarang”
“Pak Ari berilah saya waktu sebulan lagi untuk melunasi hutang tersebut”
“Waktu? Kau sudah bilang kemarin hari waktu. Waktu. Waktu. Kau kira waktu juga tidak punya harga”
“Jika kau ingin hutang mu lunas. Aku akan menawarkan pilihan yang menguntungkan kita berdua Parman”
“Apa itu Pak Ari?”
“Biarkan istrimu ikut denganku. Dan kau bisa segera melunasi hutang-hutangmu”
“Biadab dengan ucapanmu kau kambing idiot. Kau tawarkan emas satu gunung pun aku tidak sudi menyerahkan istriku kepada laki-laki penjual wanita”
Dengan sigap kedua anak buah Sarikem menarik Parman ynag telah mencekik Sarikem dan mengeroyok Parman hingga babak belur. Istrinya yang sedari bersembunyi dibalik kamar itu, mmeberanikan diri menemui Sarikem. Istri Parman yang tidak tahu latarbelakang Sarikem itu pun mengiyakan penawaran. Parman berusaha bagkit dan ingin memberitahu kepada istrinya bahwa Sarikem bukan hanya lintah darat tetapi juga penjual wanita. Parman berteriak. Tapi kaki anak buah Sarikem menindih kepala dan badannya yang lemas itu.
Pagi di rumah Parman tinnggalah kosong melompong. Suara burung dan ayam alas milik tetangga sebelah saling padu menyemarakkan pagi. Membuat Parman terbangun dari kesakitannya. Parman tetkejut mengapa ia berada di atas tilam. Sementara kemarin ia sedang berargumen bersama Sarikem dan beradu kuat dengan anak buahnya. Parman hendak ingin berlari ke luar untuk melihat istrinya. Tapi kaki, tangan dan seluruh tubuhnya tersepuh lebam biru, dan ngilu. Parman beranjak dari kamar tidurnya . Dengan cepat ia berusaha menahan. Parman ingin segera bergegas ke luar. Suara nyaring terdengar masih misteri bagi telinganya itu. Parman terkejut ada tangan dan tubuh kecil yang memluknya dari belakang, dan ternyata itu anaknya yang masih berusia 3 tahun. Parman langsung menggendonya. Parman kembali berjalan. Suara-suaraan semakin jelas. Surat yasin dan ayatnya mengisi ruangan rumahnya. Mata Parman kini terbelalak melihat seorang yang terbaring dibalik kain batik bertudung putih kafan di tengah rumahnya. Parman mempercepat langkahnya dan coba membuka kain tudung putih tersebut. Parman hanya bisa menaggung tenangnya yang semakin lemah lemas. Ibunya satu-sayu oran tua yang masih sanggup ia beri makan hingga suapi meninggal dunia. Tepat diaat istrinya juga meningggalkannya. Tangis Parman pecah. Parman dan anaknya mengiring jenazah ibunya ke pemakaman. Suara adzan yang sendu terasa dalam lapang kuburan. Penghormatan terakhir Parman dan tanda bakti kepada Ibunya.
Parman yang menggila dengan rasa keslahannya semakin menjadi. Sudah hampir tiga hari Parman tidak makan. Namun Parman tetapa menggarap sawah. Dari pagi hingga petang hari. Orang-orang pun kebingungan dan berbelas kasihan dengannya. Wajahnya yang kusam. Keringatnya yang masam. Dan tenaganya yang semkain usang luruh pada warna jingga. ia memandang jauh dan dalam diantara warna cantik itu. Parman sellau membayangkan kalau saja ia keterima sebagai tentara, mungkin Parman tidak pernah kehilangan Bapak Ibunya. Hidupnya tak perlu keras. tinggal berseragam dan berangkat ke ka kantor. Ia membayangkan kisahnya yang sedih dan penuh kenangan tersebut. Berselang beberapa saat Parman teringat pada anaknya yang ia titipkan kepada tetangganya. Ia bergegas mebereskan cangkul dan segera pulang ke rumah. Senyum kecil menghias pada rona wajah sang anak. Parman pun membalas senyum itu sederhana.
“Nak, maaf kan bapak mu ini tidak bisa menjadi Bapak yang baik bagimu dan keluarga” Parman menahan uaraian air mata.
“Nak Parman, sudahlah jangan bersedih.” Ucap Bu Misni
“Iya Parman. Kasihan anak mu dan orang tua yang telah di alam sana” Ucap Pak Misni
“Nggeh, Pak Bu. Matursuwun sampun ngeramut yoga kulo lan migatosaken kulo”
“Wes to le ojo isin-isin jaluk tulung. Lha wong Bapak Ibu iki gak duwe anak. Opo meneh putu.” Pak Misni
“Iyo Le, kowe kuwi wes tak anggap anak ku kandung. Saiki opo-opo omongo bapak ambi Ibu mu iki.” Bu Misni
Langit jingga yang megah dan indah perlahan telah berubah menjadi malam yang hitam. Parman berpikir keras untuk mencari cara menemukan istrinya dengan segala cara. Tapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Parman membukakan pintu. Ternyata ada sepasang seorang laki-laki dan perempuan di depan matanya. Mata Parman menerawang ke si wanita. dan ternyata itu istri Parman.
“Lisss” Panggil Parman
“Benar itu kamu liss?”
“Iya Mas iki aku Lilis.” Jawab Lilis Istri Parman.
“Sopo iki Lis?”
“Iki.....” Lilis kebingungan
“Perkenalkan aku Heri bojone Lilis seng saiki”
“Bajingan” pukul Parman pada laki-laki itu.
Lilis melerai kedua laki-laki yang sedang baku hantam tersebut.
“Mas iki bojoku” Jawab lIlis Dingin
“ Lis, sampean biyen seh tak tresnani, mlaku bareng nek kemlaratan iki, ngincik nek paugeran suci. Kok iso-isone wak mu dadi nyawiji marang liyan”
“Aku iki kurang opo lis?. Opo aku kurang sugih? Apo aku iki kurang gagah?”
“Mas wes mas”
“Sopo mas seh ra kepingin, minggat songko kemlaratan iki. Kabeh wong kepingin urip mulyo kejogo. Sandang pangan cukup ora kekurangan.”
“Ora enek seh keno di wisi saiki”
“Lek pancen kui seh dadi kaepamu saiki. Jupuken klambimu lan barang-barang seh mmabu awakmu ini ngadoh songko kene” Ucap Parman
Lilis segra masuk dan mengemasi barang-barangnya. Sementara sumai barunya menunggu di teras rumah.
“Ibuk”
“Rani? Ya Allah. Kamu sudah besar nak?” Lilis menggendong Rani anakanya
Parman merebut Rani dari gendongan Lilis.
“Ojo nganti aku kelangan kesabaranku Lis. Minggato seh adoh”.
Malam itu tanpa ada kejelasan yang jelas untuk semua pihak. Hampir setiap hari Parman terlihat kehilangan setengah hati dan nadinya tepat yang mengalir darahnya. Parman hanya bisa menjemput senja yang cantik. Bukan kisah hidupnya yang pelik. Namun Parman segera mengambil keputusan untuk menceraikan istrinya itu secara sah menurt agama dan negara,
Sudah hampir satu Tahun Parmab hidup sebagai Duda anak satu. Hidupnya kini lumayan tercukupi karena bantuan Pak Misni dan Bu Misni. Kini dari modal yang diberikan Pak Misni dan Bu Misni Parman Telah menjadi juragan ikan gurameh dan jenis-jenis ikan-ikanan air tawar. Bahkan sekarang Parman mmepunyai sebelas sawah. Parman juga terkenal sebagai seorang yang terkenal dermawan di desa. Bahkan beritanya tersebar luas ke tetangga desa. Namun masih ada kekosongan yang berda di sudut terdalam hatinya. Serta untuk melengkapi separuh dari imannya,
Setelah genap 4 Tahun usia Rani anak Parman. Di acara sedekah dengan fakir miskin. Pak Misni dan Bu Misni mengenalkan Parman kepada gadis bernama Sari. Perilakunya manis. Wajanya sejuk. Dan berlatarbelakang pendidikan agamis. Tak berselang lama dengan restu anak dan Pak Misni serta Bu Misni Parman melamar Sari dan melangsungkan pernikahan. Parman sudah tak lagi menjadi orang kere. Hidup Parman tinggal duduk dan membaca koran di pagi hari. Tapi itu bukan kebiasaan Parman. Ia kerap mencangkul sawahnya meski sudah punya buruh pekerja. Setiap kali Lilis menjenguk Rani. Ia bahkan tak pernah ingin maksud hatinya memarkan kehidupannya yang semakin mulia. Malah Parman dan istrinya, Sari, membantu keluarga Lilis mantan istrinya. Kedua kelurga tersebut berhubungan baik. meski banyak potongan kisah dan keangan yang saling menepel pada satu sama lain. Namun Tuhan telah memberikan jalan terindah bagi masing-masing. Tamat.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerpen yg menarik, salam literasi