Kompetisi vs Kolaborasi
Setiap orangtua bangga jika anaknya menjadi juara. Kalau ada perlombaan pasti anaknya ingin jadi juara. Saat anaknya juara, wah, bahagia luar biasa.
Mereka menganggap bahwa piala-pialanya, kejuaraan-kejuaraannya adalah modalitas untuk meraih sukses di masa depannya. Bisa jadi, tapi tidak selalu. Karena banyak para ilmuwan yang menghasilkan karya mendunia tidak pernah berkompetisi tapi malah membuat seribu kegagalan sebelumnya.
Lalu, bagaimana kita seharusnya sebagai orangtua, karena bukankah berlomba-lomba dalam kebaikan itu baik. Baik, selama tidak mengganggu psikologis anak.
Pada usia remaja dan anak-anak yang lebih dibutuhkan adalah belajar berkolaborasi. Dalam berkolaborasi anak belajar berempati, belajar memperbaiki diri, belajar menjadi super tim dan tentunya belajar membuat karya nyata.
Contoh sekarang dalam pembelajara dari rumah, seorang guru sebaiknya tidak memberi tugas yang dinilai berdasarkan kecepatan menyelesaikannya.. misalnya kirimkan video yang paling cepat nilainya paling bagus.
Tapi berikanlah tugas yang disana anak belajar berkolaborasi. Misalnya buatlah hasil karya dari benda yang ada di rumah. Maka anak mencoba dan mencoba kembali apapun yan menjadi idenya. Gagal mencoba lagi hingga ia menghasilkan sebuah karya. Dalam proses percobaan tentunya anak akan meminta izin orangtuanya memakai bahan ini dan itu, dia juga akan berkomunikasi dengan orangtuanya atay bahkan dengan seisi rumahnya. Dia dan orangtua belajar berkolaborasi.. kalau orangtuanya tidak bisa menjadi teman saat itu juga tidak baik dalam proses perkembangannya.
Gambaran kolaborasi dalam belajar juga sering kita temukan anak yang diberikan tugas kelompok. Dalam proses menyelesaikan tugas tentunya anal akan belajar banyak hal untuk menyesuaikan diri, berempati, memecahkan masalah bersama, kekompakan, bertanggung jawab dan percaya diri.
Nah.. David Jhonshon seorang profesor psikolog pernah meneliti bahwa anak-anak yang belajar di lingkungan yang kolaboratif mengalami peningkatan yang pesat dalam proses belajar dibandingkan di lingkungan yang kompetitif.
Apalagi kalau orangtua sudah membanding-bandingkan adik dan kakak, ini contoh lingkungan kompetitif yang membuat anak akan merasa rendah diri dan akhirnya tidak mau melakukan percobaan apapun.
Yuk, kita ciptakan suasana kolaboratif, agar saling menguatkan, saling memotivasi dan belajar berempati
Tantangan gurusiana hari ke-3
Nia Ramdaniati
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar