KORPRI, KUCING DAN AROMA PESING YANG MENGGETARKAN JIWA
Korpri, Kucing, dan Aroma Pesing yang Menggetarkan Jiwa
Oleh Syahbati
Pagi tadi, aku bangun dengan semangat 1 Juni. Upacara Hari Lahir Pancasila, gitu loh. ASN harus tampil paling rapi, paling pancasilais, dan tentunya paling Korpri.
Aku udah siap mental. Jam setengah enam aku nyetrika baju Korpri yang baru banget kering dari jemuran. Masih anget! Wangi matahari terbit! Masya Allah, hidup ini indah. Aku semprot dikit pewangi, eh, ternyata habis. Nggak apa-apa, pikirku. Masih ada pewangi satunya, di pojok meja setrika.
Aku jalan sebentar ke sana...
Dan… CRETTTTTTT!!!
Suara yang menghantui sepanjang sejarah rumah tangga: suara kucing pipis.
Mataku langsung melotot.
Dan benar saja. Di atas tumpukan baju yang sudah disetrika dengan penuh cinta dan dedikasi... kucing anakku berdiri santai, memandangi karyanya. Ia bahkan mengeong pelan. Seolah bilang, "Selesai, Bu. Silakan dicek hasilnya."
Aku beku.
Bau pesing itu menyeruak, mengangkasa, menyelimuti ruangan dan hidupku. Rasanya kayak dilempar langsung ke nyala api level 3, ruangan ini mendidih dengan aroma amonia.
Aku ingin menjerit.
Tapi suaraku tercekat.
Ingin marah.
Tapi yang dimarahin kucing.
Ingin banting setrika.
Tapi nanti tambah kerja.
Ingin ngomel.
Tapi percuma, yang ada sakit hati.
Ingin nangis.
Dan... akhirnya itu yang kulakukan.
Aku duduk lemas di lantai, memandangi baju Korpri yang sekarang lebih mirip karpet kandang kucing. Air mataku jatuh, entah karena kesedihan, kemarahan, atau cuma karena aku merasa ini sangat sinetron.
Waktu tinggal sedikit.
Dengan pasrah aku buka lemari. Nemu seragam biasa yang udah agak lusuh, tapi kering dan yang penting bebas pesing. Aku pakai tanpa perasaan. Tanpa tanya. Tanpa nyawa.
Anakku ngajak nganter pakai motor, aku geleng.
Aku pesan Grab.
Keluar rumah dengan wajah sendu campur jengkel campur aroma pewangi yang gagal menyelamatkan hari.
Sampai sekolah, semua teman-temanku berbaris rapi dalam warna biru Korpri. Aku sendiri berdiri di ujung. Beda sendiri.
Gak ada lagi yang bisa direkayasa.
Aku cuma berdoa dalam hati:
"Ya Allah, semoga kepala sekolah dan seluruh peserta upacara matanya minus ketika melihatku. Biar gak sadar aku beda sendiri."
Dan ya, hari ini aku belajar satu hal,
Kadang, bukan perjuangan yang mengalahkan kita. Tapi kucing. Dan pipisnya.
Malaka 3, Senin 6 Dzulhijjah 1447 H, 2 Juni 2025
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kayak pengalaman pribadi ya Bu