Pecel Pinggir Jalan dan Ibu Berjiwa Baja
Pecel Pinggir Jalan dan Ibu Berjiwa Baja
Oleh Syahbati
Suara alarm mengoyak hening fajar. Perlahan aku bangun, menyatukan serpihan nyawa yang belum sepenuhnya pulang. Mata setengah berat, tapi hati tergerak. Tahajud menanti. Aku menjemput-Nya dalam sunyi, sebelum dunia kembali bising. Witir menjadi penutup, lantas Subuh menjadi pembuka perjalanan.
Pagi itu, langit Surabaya tampak sabar. Kami keluar dari hotel, niatnya jalan dan jajan. Tak banyak harap, hanya rindu suasana berbeda dan mungkin... makanan yang membuat lidah bersenandung. Jalanan belum seramai Jakarta. Kami melangkah santai, menyusuri trotoar, menyeberangi jalan, dan mengamati kehidupan pagi kota.
Pasar kecil menyambut kami. Sayur-mayur segar, ikan-ikan mengkilap, dan suara ibu-ibu menawar harga. Tapi bukan itu yang kami cari. Di ujung jalan, sebuah kerumunan mencuri pandangan. Dua orang bapak menjual kue dan susu segar.
"Pak, ini halal?" tanyaku, setengah khawatir. Bukan karena ragu pada penjualnya, tapi trauma kuliner Bali yang penuh jebakan menu tak halal masih membekas.
"Alhamdulillah bu, di sini hampir semua makanan halal," jawabnya sambil tersenyum.
Kami membeli beberapa potong kue dan lanjut berjalan.
Tak lama, sebuah gerobak sederhana berdiri anggun di bawah pohon peneduh. Tulisan “Nasi Pecel” terpampang jujur. Kami mendekat, duduk di kursi plastik pinggir jalan. Sepiring nasi datang—dihiasi telur rebus, peyek renyah, sambal kacang yang menggoda, toge, tahu, dan sayur singkong. Sungguh kombinasi sederhana yang membangkitkan nafsu makan.
"Bismillahirrahmanirrahim." Suapan pertama seperti membuka pintu kenangan. Hangat. Pedas. Manis. Rasa-rasa yang tak hanya tinggal di lidah, tapi sampai ke hati.
Ibu penjual duduk tak jauh dari kami, menatap kami ramah.
"Sudah lama jualan, Bu?" tanyaku membuka obrolan.
"Baru dua tahun, Bu. Sejak Bapak meninggal," ucapnya tenang, sambil merapikan piring-piring di meja kecilnya.
Mataku menatapnya lekat. Usianya sekitar 70-an. Wajahnya keriput, tapi bersinar oleh keikhlasan. Tangannya cekatan, tubuhnya ringkih tapi kokoh.
"Anak-anak saya sudah pada sukses. Tapi saya nggak mau merepotkan. Biarlah, hidup begini aja. Rezeki Allah yang atur," lanjutnya.
Aku tercekat. Banyak orang seusianya menikmati masa pensiun dengan duduk santai atau jalan-jalan. Tapi ibu ini memilih bangun dini hari, berjuang demi harga diri dan kemandirian. Ia bukan hanya menjual nasi pecel, tapi juga menjual keteladanan.
Dalam hati aku bertanya—nanti, saat pensiun, apa yang akan kulakukan? Menjahit? Buka bimbel? Jualan seperti ibu ini? Atau terus membersamai ibu-ibu belajar mengaji seperti yang kulakukan sekarang?
"Aamiin ya Rabb," gumamku lirih. Semoga kelak aku tetap bermanfaat meski tak lagi aktif di sekolah.
"Bu, tolong dibungkus dua ya," kataku sambil tersenyum. Nasi pecel bukan sekadar sarapan, tapi oleh-oleh hikmah dari seorang wanita tangguh.
Kami berjalan kembali ke Griya Sofiani. Surabaya pagi ini tidak hanya menyuguhkan jajanan dan udara segar. Tapi juga pelajaran tentang keteguhan, kesyukuran, dan menjadi manusia yang tak pernah lelah berbagi manfaat, meski usia telah banyak memungut angka.
Hari ini, kami akan melanjutkan perjalanan ke Madura. Tapi pelajaran dari nasi pecel dan ibu penjual itu, akan tetap tinggal di hati.
Madura, Jawa Timur Rabu, 2 Juli 2025
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar