MEMBAYAR NAFAS DENGAN NAFAS
“Ikan gurame kita banyak yang mati pak”, kalimat pertama di ujung pintu dapur terucap dari Bu Marni, istri Pak Masruri. Sambil meletakkan alat sadap karetnya komplit dengan caping dan alat makan bekas bekal makan siangnya hari itu. “Mungkin karena banjir semalam, ikan itu jadi stres. Aku sudah bersihkan dan ambil ikan – ikan yang mati barusan. Lumayan banyak. Minggu ini tidak bisa panen sepertinya, Bu.” Sahut Pak Masruri sembari merapikan jaring setelah dipakai mengambil ikan gurame di empang belakang rumahnya. Gurat sedih membias di wajah teduh istrinya. Ada rasa khawatir menggelayuti. Anaknya yang jumlahnya delapan orang sudah waktunya bayar SPP. Tapi tak kuasa kata – kata terucap. “ Semoga salak pondohnya buahnya melimpah. Bisa panen bulan ini. “ Sahut Pak Masuri memecah lamunan sang istri.
Istrinya tersenyum dan berlalu ke dalam rumah. Menemui si bungsu yang bersiap pergi mengaji. Mengaji di “pesantren mini” milik bapaknya. Pak Masruri selalu mengisi ujung ashar dengan mengajar mengaji anak – anak di kampungnya. Sebuah kampung yang sejuk di pegunungan, daerah Majenang masuk Kabupaten Cilacap. Disebut “pesantren mini” karena muridnya yang sangat banyak dari hampir satu kecamatan tetapi tempatnya yang mini atau sempit. Entah mengapa anak – anak itu lebih suka mengaji dengan Pak Masruri. Mungkin karena Pak Masruri sabar dan yang paling penting adalah gratis. Di pesantren mininya Pak Masruri mengajarkan ilmu tajwid dan tahsin. Tapi, adat orang jawa memang tidak bisa terhapus oleh waktu. Bahkan ada istilah “Wong Jowo dipangku mati.” Orang jawa kalau diberi kebaikan tidak bisa berkutik lagi. Kurang kebih begitu artinya. Para santri pesantren mini Pak Masruri sering membawa aneka hasil panen orangtuanya. Jika panen kedelai, ya bawa kedelai. Jika panen singkong ya bawanya singkong. Seperti pasar saja penampakan di pesantren mininya Pak Masruri itu setiap selesai mengaji.
“Pak, bapak kan sudah mengajar di madrasah ini lama, Pak. Apakah bapak tidak mau berubah pikiran?” Ucapak kepala Madrasah Ibtida’iyah tempat Pak Masruri mengajar di pagi hari. Mereka terlibat percakapan di ruang kepala sekolah yang awalnya akan membicarakan tambahan lokal bangunan untuk ruang kelas di madrasah. “ Apa selama ini Bapak tidak kerepotan jika hidup hanya mengandalkan panen gurame dan salak pondoh saja Pak? Biaya sekolah delapan orang anak Bapak bagaimana? Apakah mereka tidak ada yang pengen kuliah. Oh, iya Mas Bani kuliah di Jogja kan Pak?” Sambung kepala sekolah sambil mempersilakan Pak Masruri menikmati kopi buatan penjaga sekolah.
“Alhamdulillah Pak Haji. Saya dan keluarga saya tidak pernah kekurangan selama ini. Cukup saja rasanya. Kalau nuruti butuh, ga akan ada habisnya kebutuhan hidup ini Pak. Kalau nuruti pengen , sebelum nyawa lepas dari badan yang namanya pengen itu nambah terus, Pak.” Obrolan mereka berlangsung hingga bel pulang dibunyikan.
Madrasah tempat Pak Masruri mengajar sudah ganti kepala sekolah sebanyak 6 kali sejak mulai mengajar, 32 tahun yang lalu. Tapi pendirian Pak Masruri tidak goyah sejak kepala sekolah yang dulu menawarinya mengajar mengijinkannya yang hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat) ikut mendulang jariyah di madrasah ini. Selain lulusan SR, Pak Masruri juga alumni pondok pesantren di Kediri. Jadi ilmu nahwu, bahasa arab dan fikih sudah sangat mumpuni. Oleh sebab itulah Pak Masruri diminta mengajar di madarasah kala itu. Pendiriannya untuk tidak minta digaji oleh pihak madrasah tidak pernah goyah. Alasannya sangat sederhana. Saya tidak mau cari makan dari ilmu yang sedikit ini. Allah sudah karuniakan lebih dari cukup sumber pangan saya yang lain. Kebun salak pondoh yang tidak begitu luas dan sepetak kolam berisi ikan gurame cukup bagi keluarganya hidup dan biaya sekolah anak – anaknya.
Istri Pak Masruri adalah wanita yang sangat sederhana. Tidak pernah gengsi menjadi istri guru ngaji tanpa gaji. Hari – harinya disibukkan mengurus anak – anak dan suaminya, disambung dengan ikut menyadap karet milik juragan Joko, orang kaya di kampung itu. Suatu kali ia bertanya kepada suaminya. Pendirian yang aneh untuk ukuran manusia akhir zaman. Bekerja tapi tidak mau digaji. Jawaban Pak Masruri untuk pertama dan terakhir bagi istrinya, nafas dibayar dengan nafas. Apa masih kurang nikmat Alloh buat kita ? Tak perlu jauh – jauh bicara apa yang bisa kita makan, apa yang bisa kita beli. Begitu bangun, badan ini ringan dan sehat, bernafas dengan cukup itu sudah nikmat yang tidak akan mampu kita hitung. Lalu, apakah kita sudah merasa ibadah kita begitu baik, sehingga bisa dikatakan bekal untuk hari nanti? Jangan pernah anggapan itu masuk dalam pikiran kita,Bu. Nafasku yang ku hembus bersama sedikit ilmu yang ku punya ku ikhlaskan untuk membayar nikmat yang luar biasa itu.
Hingga suatu hari, kepala sekolah datang menemui Pak Masruri dengan sebuah amplop di dalamnya. Di rumahnya yang sederhana, kepala sekolah menyampaikan amplop kepada Pak Masruri dengan senyum penuh arti. “Yang satu ini, Anda tidak boleh menolaknya Pak. Ini amanat dan Bapak harus menunaikannya.” Amplop di simpan di atas meja di ruang tamu dengan kursi kayu jati yang sudah berumur.
Pak Masruri membuka amplop dengan hati – hati. Tak kuasa air mata mengalir membasahi lantai rumahnya mengiringi sujud syukurnya hingga tak mampu berkata. Istri Pak Masruri berusaha membangunkan suaminya. Mereka memandang isi amplop itu dengan tangan gemetar. “ Labaikallahuma labaik… Anda sudah dipanggil Pak , Bu. Datangilah panggilan itu. Tahun ini anda berdua akan menebus kerinduan ke Baitullah. Ini amanat dari seluruh orang tua siswa dan alumni serta masyarakat yang pernah menjadi murid Bapak. Tidak ada yang pantas dan senilai dengan apa yang Bapak sudah berikan untuk kami. Saya harap Bapak dan Ibu tidak menolaknya”.
Impian pasangan suami istri bersahaja ini terwujud. Satu – satunya keinginan mereka yang tak pernah terucap. Paket haji plus dari mereka yang merasa tidak mampu membalas ilmu dari Pak Masruri mewujudkan impiannya.
Pengabdian luar biasa Pak Masruri tak lekang oleh waktu. Gelar Haji sudah disandang tak menyurutkan pendiriannya terus mengabdi ke madrasah tanpa mau digaji. Sayangnya, kebiasaan merokok pak Masruri juga tegar tak pernah goyah. Hingga penyakit paru – paru yang terpilih menjadi sebab pahlawan tanpa tanda jasa ini kembali kepada Sang Khalik tak lama setelah pulang dari Baitullah.
“Telah kau berikan nafas untukku Ya Rabb ku. Tak mampu ku hitung dan kubayar dengan apapun yang kumiliki. Betapa miskinnya aku karena semua adalah milikMu. Ijinkan aku menyimpan sedikit nafasku, kutitipkan pada muridku. Untuk menutupi malu kala aku menghadapMu dengan kehinaanku. “
Selamat jalan Pak Masruri, untaian nafasmu yang kau titipkan senantiasa abadi di hati semua muridmu hingga nafas itu kembali bersaksi di hari dimana kau mencarinya. Menghias wajahmu dengan cahaya sehingga rasa malumu tertutupi olehnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar