IBU
IBU
Seharusnya, aku bangun lebih awal dibandingkan dengan penghuni rumah yang lain. Banyak yang harus aku siapkan sebelum suami dan anakku terjaga. Entah mengapa hari ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Mataku yang biasa dengan cepat terbangun, kali ini terasa begitu berat. Rasanya berat sekali untuk meninggalkan tempat tdur.
Kucoba untuk melawan rasa kantukku. Aku harus segera bangun. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 03.30 wib. Masih ada waktu untukku menghadap kepadaNya. Ini saat yang paling kutunggu-tunggu. Saat semua orang masih asik dengan mimpi-mimpinya, disaat orang masih berselimut dalam lelap, pada saat itulah waktu yang paling indah untuk berkomunikasi denganNya.
Kulihat suamiku juga masih lelap tidur, demikian juga dengan anak-anakku. Ingin rasanya aku membangunkannya. Namun begitu melihat begitu terlelapnya ia, kuurungkan niatku. Biarlah kali ini dia tetap tertidur. Akan ku bangunkan menjelang sholat subuh saja. Kasihan, aku tak tega. Dia saja baru sampai di rumah beberapa jam yang lalu. Pasti lelah sekali karena baru pulang dari luar kota.
Sejuknya air wudhu, membuat mataku terasa segar, rasa kantukkupun sirna. Udara subuh yang bersih terasa nyaman. Suasana sekeliling rumahku masih lengang, sepi dan senyap. Belum terdengar suara tetangga yang sudah terbangun. Keheningan ini mendatangkan kekhusukan dalam sholat dan doa malamku.
Serangkaian doa terucap dari bibirku. Andai saja Allah memberi waktu lebih lama lagi pada Ibuku, akan kuhabiskan waktuku untuk menemani dia. Andai saja Allah memberi waktu lebih lama lagi pada ibuku, ingin sekali aku membahagiakannya. Andai saja waktu bisa diputar kebelakang,…andai saja ibu masih ada, …
Kenangan tentang ibu, kembali hadir dalam ingatanku. Saat Ibu tinggal bersamaku. Sebelumnya dia tinggal di kota yang berbeda denganku. Karena kondisi kesehatannya sering terganggu, aku paksa ibu agar mau tinggal beramaku. Dengan berat hati ia menyetujui.
“Ibu hanya mau tiga hari saja di rumah Sari. Setelah itu antar lagi ibu pulang” katanya.
“Iya, tak apa-apa, kalau ibu sudah sembuh, ibu bisa pulang” kataku meyakinkan ibu. Yang penting dia mau ikut denganku. Urusan kapan mau pulang, bisa difikirkan nanti. Akhirnya aku berhasil membujuk ibu.
Sudah dua hari ibu tinggal bersamaku, setiap ada kesempatan ibu selalu bercerita banyak hal. Nafasnya terasa agak sesak, tapi ibu tetap bercerita. Dia tak perduli dengan keadaannya. Aku dengan setia mendengarkan setiap kalimat yang disampaikannya. Aku baru meninggalkannya apa bila dia sudah tertidur.
“Maafkan aku ibu, yang belum bisa membahagiakanmu” air mataku tak terasa mengalir membasahi pipiku.
“Maafkan aku ibu, yang belum bisa membuatmu bangga. Maafkan aku yang belum bisa berbakti kepadamu” berjuta penyesalan hadir di hatiku. Mengapa begitu cepat Allah memanggilnya. Belum puas rasanya hari-hari yang kami lalui bersama.
“Kami masih membutuhkannya, kami masih memerlukan kehadirannya. Kami masih membutuhkan doa-doanya. Begitu cepat Engkau memisahkan kami. Begitu cepat Engkau memanggilnya.” Wajahnya yang selalu teduh menghadirkan ketenangan. Belaiyan lembut tangannya kini tak lagi kurasakan.
Masih segar dalam ingatanku, saat menjelang kepergiannya. Aku hendak mempersiapkan keperluan sekolah anak-anakku, tiba-tiba kondisi kesehatan ibuku kembali terganggu. Sesak nafasnya kembali kambuh. Kelihatan nafasnya agak tersengal, agak berat. Aku benar-benar takut. Aku panik. Aku khawatir sekali.
Yang pertama kali ku ingat adalah menelpon kakak sulungku. Kami hanya berdua yang perempuan, selebihnya saudaraku semua lelaki. Aku benar-benar khawatir.
“Kak, cepat pulang, sesak nafas ibu kambuh lagi” suaraku terasa bergetar.
“Bawa dulu Ibu kedokter atau kerumah sakit” terdengar jawaban kakakku..
“Tadi malam sudah ke dokter Imam, tapi dokternya sedang keluar daerah” aku mencoba memberi penjelasan. Dokter Imam adalah dokter yang selalu merawat keluargaku. Setiap kali aku, suamiku atau anak-anakku sakit, dokter Imamlah yang di panggil.
“Cari dokter yang lain, kalau tidak, langsung bawa ibu kerumah sakit.” terdengar suara panik kakakku.
“Tapi Ibu tak mau di bawa kerumah sakit” kataku pula. Ibuku memang sangat sulit untuk dibawa kedokter, apa lagi kerumah sakit. Dia menganggap penyakitnya tidak serius. Sebentar juga sembuh, begitu katanya.
“Cepat ya kak, aku takut kenapa-napa dengan Ibu” tak lama suara telpon terputus. Kembali aku mencoba memberikan pertolongan pada ibuku. Perlahan dadanya ku urut lembut. apa yang bisa kulakukan agar sakit ibuku bisa berkurang.
Hari masih terlalu pagi, aku yakin belum ada dokter yang buka praktek sepagi itu. Udara pagi yang bertiup disela-sela jendela sedikit menghadirkan kesegaran. Perlahan sesak nafas ibuku agak mereda.
“Ibu minum teh hangat ya” kataku, saat kulihat ibuku sudah mulai tenang kembali. Ibuku tidak menyahut. Perlahan kulihat dia menganggukkan kepalanya. Perlahan, sedikit demi sedikit kusuapi ibuku dengan teh hangat. Hanya beberapa teguk saja, kemudian kepalanya menggeleng.
Aku masih tetap berada disampingnya. Ku lihat kearah jam dinding, sebentar lagi aku bisa memanggil dookter. Ku elus-elus tangan ibuku. Tangan yang dulu masih kuat, kini sudah terkulai tak berdaya. Tangan yang dulu selalu membelaiku, kini sudah tak sanggup berbuat apa-apa lagi.
Ibuku yang dulu begitu kuat, kini sedang terbaring tak berdaya karena sakit yang dideritanya. Tanganku tak henti-hentinya memijat-mijat lembut tangan dan kakinya.
“Sudah nak, tak usah, terasa agak sakit” kata ibuku. Padahal aku hanya melakukan pijatan halus, agar dia merasa lebih nyaman. Ku perbaiki posisi tidur nya, supaya lebih nyaman. Ku tutup tubuhnya dengan selimut, agar lebih hangat.
“Ya Allah berilah kesehatan dan keselamatan pada Ibuku. Wanita terhebat dalam hidupku. Beri dia usia yang panjang, agar aku dapat berbakti padanya.” Wajah teduh penuh cinta itu terlihat begitu tenang, begitu pasrah.. Kedua matanya ditutup rapat. Kulihat beberapa kali ibuku menghela nafas panjang, dua atau tiga kali, aku tak ingat. Kemudian terdiam, seakan tertidur. Tidur oulas sekali.
“Bu, Sari tinggal sebentar ya? Sari mau panggil dokter. Ibu istirahat saja” kataku. Setelah kucium keningnya, aku beranjak meninggalkan kamar ibuku. Sejenak ku pandangi ibuku, ibuku sudah terlelap. Aku bersiap untuk menjemput dokter.
Aku berhasil membawa dokter yang akan memeriksa keadaan ibuku. Kulihat salah satu kakakku sudah ada dirumah.
“Bagaiman keadaan Ibu Bang? Tanyaku pada kakakku. Terlihat dia asik ngobrol dengan seorang temannya. Kakakku sedang melanjutkan kuliahnya, setiap kali akan pergi atau pulang kuliah dia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk ibu kami.
“Tadi abang lihat ibu sedang tidur, jadi Abang tak mau membangunkannya” jawab kakakku. Kami sama–sama masuk ke dalam kamar ibu.
Sementara dokter mempersiapkan segala peralatannya, aku mencoba membangunkan ibuku. Terlihat ibu tidur lelap sekali. Posisinya tidak berubah sedikitpun sejak aku tinggalkan tadi. Sedikitpun tidak ada yang bergeser. Begitu nyenyaknya ibuku tidur, fikirku.
“Bu, bangun Bu” aku mencoba membangunkannya.
“Bu, bangun, dokternya sudah datang” kataku lagi. Tapi ibuku tidak bereaksi, dia tak bergerak. Aku mulai cemas, jangan-jangan ibuku pinsan. Kembali kucoba membangunkannya. Perlahan goyang-goyangkan tubuhnya, tetap tak bergerak. Ku periksa denyut nadi ditangannya. Tak kurasakan apa-apa. Kuletakkan jari telunjukku dihidungnya, juga tak terasa ada hembusan nafasnya. Terakhir kuletakkan telingaku diatas dadanya tetap sepi, tidak ada bunyi apa-apa.
“Dokter, cepat periksa Ibuku.” Aku berteriak cemas, kakiku terasa tidak berpijak di bumi lagi. Tubuhku gemetar, aku takut sekali. Jangan,…jangan.
“Yang sabar, Sari Ibu sudah tak ada” ucapan dokter itu membuat aku tak sadarkan diri. Selanjutnya aku tak tahu apa-apa lagi. Semua gelap.
Saat aku siuman, sudah banyak orang berada di rumahku. Suara tangisan terdengar dimana-mana. Ada suara orang membaca surat Yasin. Aku lihat ibu masih berada disebelahku. Ibu masih terlihat tidur lelap, nyenyak sekali.
Sejenak aku tertegun, kuingat-ingat kembali kejadian tadi. Ternyata ibu tidur tak pernah akan bangun lagi. Aku hanya bisa menangis disamping jasad ibuku. Yang terbaring di sebelahku, sudah pergi untuk selama-lamanya. Ibu sudah dipanggil yang maha kuasa.
Ternyata helaan nafas panjang ibuku, itulah nafas terakhirnya. Dia pergi didepanku, tapi aku tak menyadarinya. Tak pernah terfikir olehku bahwa dia akan meninggalkan kami secepat itu. Aku hanya berfikir dia tidur, dia istirahat. Ternyata dia menjemput tidur panjangnya.
“Beristirahatlah dengan tenang, disisiNya Ibu. Doa kami anak-anakmu akan selalu menyertaimu. Ya Allah, tempatkan Ibu kami di tempat yang terbaik, yang termulia di sisiMu. Masukkan ia di dalam syurgaMu. Aamiin.”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar