SEKOLAH AJANG MENGISI TOPLES
Kesadaran demi kesadaran yang akan dibangun oleh para pendidik di negeri ini mungkin terus bersemi. Hal ini mungkin berbanding lurus dengan keadaan dewasa ini yang memperlihatkan tontonan sekumpulan kaum penindas cenderung untuk mencoba dengan daya dan upaya mengubah segala sesuatu disekitarnya menjadi obyek kekuasaan mereka. Sekumpulan pengahamba prestice yang selalu lapar akan sanjungan. Bumi dan seisinya yang katanya menjadi sebuah sumber kekayaan yang termaktub dalam undang undang direduksi menjadi sebuah obyek yang berada di bawah kemauannya.
Dalam pola pikir sekolompok manusia manusia penindas dan pemerah mungkin puluhan semangat yang mereka milki untuk menuju puncak secara tak terbatas, kaum penindas menjadikan uang menjadi ukuran segalanya, dan laba serta kekayan adalah tujuan paling utama. Bagi kaum penindas, apa yang dianggap bermanfaat adalah memiliki lebih banyak selalu lebih banyak sekalipun dengan mengorbankan kaum tertindas yang semakin miskin dan tidak memiliki apa-apa lagi. Penindas dan tertindas ternyata juga masuk dalam lingkar pendidikan. Dalam pendidikan ini (sekolah) terdapat sebuah fenomena yang cukup unik fenomena ini disebut kepatuhan. Suatu analisis yang cermat tentang hubungan antara guru dengan murid pada semua tingkatan, baik dalam maupun luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar di dalamnya. Hubungan ini melibatkan seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup.
Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan bercerita ini, karena itu, adalah kemerduaan kata-kata, bukan kekuatan pengubahnya. “Empat kali dua sama dengan delapan, ibu kota Jawa Timur adalah Surabaya”. Murid-murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan tersebut tanpa memahami apa arti sesungguhnya dari empat kali dua, atau tanpa menyadari makna sesungguhnya dari kata “ibu kota” dalam ungkapan “ibu kota Jawa Timur adalah Surabaya”, yakni apa arti Surabaya bagi Jawa Timur dan apa arti Jawa Timur bagi Indonesia.
Pendidikan bercerita dengan guru sebagai pencerita mengarahkan murid murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, murid diubahnya menjadi “toples”, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh dia mengisi wadah -wadah itu, semakin baik pula seorang Guru. Semakin patuh wadah- wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid. Padahal dalam BNSP tujuan dari sekolah adalh pengembangan potensi bukan pemaksaan materi. Jikalau memangproses pembelajaran masih pada taraf behaviorisme maka tak ubahnya seperti ungkapan dari Paulo Freire, dalam konsep pendidikan gaya bank yang setipe dengan yang saya gambarkan seperti toples toples kosong yang terpaksa di isi sesuai pengisinya, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang di hibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepeda mereka yang di anggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya kepatuhan memandang manusia sebagai makhluk yang dapat di samakan dengan sebuah benda dan gampang di atur.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus di tiru dan harus di teladani dalam semua hal. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas yang memaksakan segalanya, menguasai semuanya meskiun gurunya tidak menguasai segalanya ilmu. Jika di antara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan akan segera di mulai dalam dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. Harusnya, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Anak bisa dengan enjoy sekolah dan mencari ilmu sesuai denganapa yang telah dikuatkan oleh bakatnya, tidak ada unsur paksaan di menguasai semuanya tetapi lebih kepada menguasai sesuai dengan potensi dan kepemilikan bakat dai dirinya sesuai amanat aturan.
#selamat datang Bapak Menteri Pendidikan dikampung halaman
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Tulisan yang bagus , jika pilhan kata-kata lebih sederhana dan renyah mungkin menjadi lebih bagus lagi...selamat Mhon maaf
siap..terima kasih