Adjar Dwija Tanaya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SUGIH TANPA BANDA

SUGIH TANPA BANDA

SUGIH TANPA BANDA

Banyak baliho kiat berbisnis yang mungkin pernah kita temui dari berbagai kesempatan. Mulai bentuk baliho mentereng dengan “diksi” yang elegan dan menggoda, atupun hanya kertas potokopian dengan lem kanji yang ditempel di halte maupun pos kampling menawarkan bahwa rumusan untuk menjadi kaya dari para pengisi acaranya, adalah yang terampuh. Dan memang ada beberapa yang telah berhasil mempraktikan apa yang telah di promosikan oleh baliho dan pamflet tadi. Tapi, rasio berhasil serta tidak, hasilnya banyak yang tidak berhasil, dan hanya sebatas mimpi seperti mimpi dari Hayati mampu menarik simpati Zainuddin untuk kedua kalinya.

Kata konselor jebolan kampus Lidah wetan, “visi" yang ditanamkan dalam alam bawah sadar memang memiliki pengaruh yang sangat kuatmenentukan keberhasilan”. Dan, dari sekian banyak buku yang saya baca, belakangan ini banyak sekali membahas “pikiran” bawah sadar. Ujungnya, teori teori yang mungkin sedikit mbulet dan cukup susah dinalar tentang alam bawah sadar menjadi laris manis tanjung kimpul dibahas dimana mana. Tentunya dengan harga yang setara dawet jabung 3 ember, dan masih medapatkan bonus kontroversi serta perdebatan yang tidak bisa diterima akal.

Tapi, dari semua itu, sebenarnya ada satu hal yang dimana menurut saya cukup menarik dan sangat perlu dicari titik dasarnya. Apakah benar menjadi kaya itu adalah tujuan? Lantas, kaya yang seperti apa? Sejauh mana keinginan kaya yang kita inginkan dari penerapan teori sukses alam bawah sadar? Dan yang paling penting adalah, setelah kaya, akan kita apakan harta kekayaan itu?

Saya sendiri memaknai keberhasilan ataupun kekayaan itu sebagai sebuah akibat. Saya masih ingat pepatah dari R. Sosrokartono, kakak dari RA Kartini, tentang kalimat sugih tanpa banda yang secara harfiah berarti kaya tanpa harta stau materi. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Hal itu yang saya pikirkirkan ketika membaca salah satu buku karya kakak RA Kartini, milik Kuli kapur lulusan kampus Lowokwaru. Sebab, bagi orang yang yang mungkin hidup secara pas pasan, kaya merupakan sebuah hal yang mutlak. Membeli apapun yang ada dipikiran, dan pastinya kebutuhan mendasar sebagai manusia terpenuhi. Maka, sudah lumrah sekali bilamana orang yang dilahirkan dilingkungan miskin, tujuan utamanya adalah ingin kaya.

Namun, bilamana tujuan dari keinginan si miskin telah terwujud, mungkin simiskin tadi pasti akan memahami konsep sugih tanpa banda, itupun bila dirinya sadar. Dibalik sebuah kesuksesan, limpahnya materi, kejayaan ditangan ternyata banyak yang menemukan arti kekayaan sesungguhnya yaitu ketika muncul keinginan untuk berbagi serta menguatkan untuk tumbuh maju bersama. Banyak orang yang “kaya”menemukan arti sugih tanpa banda dengan berbagi tadi.

Tak heran, ketika saya pernah membaca koran tentang kisah sang raja saham Warren Buffet yang pernah menyumbangkan hampir semua sahamnya untuk kegiatan amal, dan disini saya menjadi teringat, dimana konsep sugih tanpa banda menjadi sebuah “kekuatan”. Dalam konteks peristiwa tersebut, barang kali menjadikan Buffet menjadi seseorang yang benar benar kaya sesuhngguhnya. Ia menjadi “sugih tanpa banda” meskipun kenyataanya, dirinya masih benar benar kaya. Banda yang yang dimilikinya tidak didapat dengan mudah, tetapi penuh perjuangan mungkin bisa saja seperti akrobat, kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki. Maka, ketika dirinya menyumbangkan hampir seluruh saham yang dimilikinya, dirinya semakin berlebih kekayaanya.

Mungkin inilah konsep sugih tanpa banda yang mungkin mampu menginspirasi kita semua. Saat kelak doa doa kita di ijabah oleh Gusti Kang Akarya Jagad untuk menjadi orang yang kaya dalam arti sebenarnya, kita mampu memiliki sikap yang jauh dari ketamakan, jauh dari kesombongan serta kerakusan yang tak berujung. Menurut seorang filsuf warungan, bilamana seseorang menuruti sikapa negatif yang dimilikinya, sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi orang “kaya”. Ujungnya, perasaan bahagia, perasaan tanpa beban yang mungkin jauh lebih penting dari sekedar materi tidak dimiliki.

Kaya memang tidak dilarang dalam agama manapun. Punya harta yang melimpah juga dianjurkan. Namun, kekayaan baik berupa harta ataupun keilmuan semakin berarti bilamana mampu membuat orang lain seperti diri kita. Kaya hati, kaya rasa, kaya persaudaraan, kaya kebahagiaan menjadi tujuan bersama. Jadi, mari kita saling menguatkan, saling menopang dan membuang jauh rasa permusuhan, saat itulah muncul sugih tanpa banda yang sebenarnya.

Ajar Putra Dewantoro. (ngariters)

IGI Madiun, Jawa Timur

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju Tulisan yang keren. Penuh nasehat baik.

08 Oct
Balas



search

New Post