Aan Frimadona Roza

Aan Frimadona Roza, dilahirkan di Waykanan pada tanggal 22 Februari 1982, Anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Zainal Arifin Almarhum dan Ibu Roh...

Selengkapnya
Navigasi Web
Rindu yang Kemarau
Pernah menjabat tangan WS Rendra, itu sesuatu banget, semoga berkah dan dilapangkan almarhum Sastrawan Sakti Indonesian

Rindu yang Kemarau

Luka di Kampung Kopi

Secangkir kopi yang kupesan di kedai kopi menemani jelang senja ini.

"Kopi yang kerap ku seduh sekali-kali melukai mu", kata mu suatu ketika.

Entahlah, tapi rasa pahitnya adalah luka menyesap tingalkan rindu.

Kini pahit kopi itu menjadi candu dan ia melekat pekat. Tak pelak untuk melupa.

Sebab setiap mencerap pahit kopi, rindu begitu kuat menghidupkannya.

"Biar kunikmati saja", gumanku.

mengenang mu memaksa pahit di rasa.

Sebab secangkir kopi, rindu,aku dan kamu adalah kita yang terlarut dalam sebentuk bahagia.

*Kampung Kopi Ringgisjaya, Lampung Barat.

Kemarau di Kampung

Sepanjang jalan belukar mati ditutupi debu Petani hanya berisik dengan kata-kata Tapi sebenarnya bisu Sebab sunyi adalah kering;

kemarau melanda kampung.

Kampung dingin menyusup tulang belulang Beda saat dingin penghujan Hijau tanaman tetumbuh sedap memandang sampai kata-kata ramai menanti panen tiba.

Pernah suatu ketika kami bernyanyi Memetik hasil panen lalu kepasar menukarnya dengan kue cenil dan es cincau tentu yang kami rasakan bahagia Walau hanya sepekan sekali kalangan di Kampung kami tiba.

Kali ini kampung dilanda kemarau batu-batu mengambang di sungai Airnya hilang tanahnya beretak Burung-burung tak mericau dipepohonan Mungkin sibuk menerka-nerka dimana tempat yang basah Pergi dan tak kembali lagi.

Saban senja orang-orang berjalan gontai menapaki anak bukit. Keringat masam peluh mengalir mencari mata air berharap-harap membasuh wajah lalu mengadah kedua tangan berdoa musim berganti.

Upacara dipanjatkan khusyuk biar tak kurang air tak kurang matahari. Bermimpi semua bergembira dan berlari-larian, menari-nari basah kuyup diguyur penghujan.

Tapi entah kapan.

Setelah Upacara Hari Guru

Di Way Kawat setumpukan anggur api aku lebur.

Lalu nanti saat kilau mu menjadi api aku ruang yang cahya ketika bederang atas pilihanmu.

Sebagai penutup kami rayakan bersama orang-orang yang terkasihi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wih,diksinya bagua banget...mendeskripsikan betapa kopi jadi pilihan...sayangnya saya dak bisa seperti itu..saya sakit lambung ...enak menyeruput puisinya saja..selamat berkarya

31 Jan
Balas

Terimakasih bu,salam silaturahmi

31 Jan
Balas



search

New Post