Vonis Yang Melegenda
Mengawali tulisan ini, saya kutipkan sebuah kisah yang sangat inspiratif dari buku : “Mendidik Generasi Z dan A; Marwah Era Milineal Tuah Generasi Digital,” karya J. Sumardianta dan Wahyu Kris AW. Berikut kisahnya.
Di Ohio, Amerika Serikat pada tanggal 11 Februari 1847 , lahir seorang anak bernama Tommy. Kemampuan Tommy biasa-biasa saja. Seperti anak-anak lainnya, tidak memiliki kecerdasan khusus.
Tommy bahkan tidak mampu untuk mengikuti pendidikan yang diajarkan di sekolahnya. Dia selalu mendapatkan nilai buruk dan mengecewakan. Sekolah tempatnya belajar menganggapnya sangat bodoh. Para guru angkat tangan. Suatu hari, wali kelas memanggil Tommy. Guru ini menitipkan sepucuk surat untuk orang tuanya. Guru tersebut berpesan, “Jangan buka surat ini di perjalanan. Berikan kepada ibumu.”
Tommy kecil dengan gembira pulang. Ia memberikan surat itu pada ibunya. Sambil berurai air mata, ibu membacakan isi surat dengan suara lantang, “Putra anda sangat jenius. Sekolah ini terlalu kecil untuk menampungnya. Kami tidak memiliki guru yang cakap untuk mendidiknya. Anda harus mendidiknya sendiri.”
Ibu lalu memeluk Tommy sambil berujar, “Mulai saat ini, ibu yang akan mendidik kamu.” Tommy menjalani pendidikan di rumah. Ia sampai homeschooler, belajar dengan bebas dan leluasa tanpa harus memikirkan nilai-nilai pelajaran yang harus dicapai. Di rumah, Tommy memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa. Ia melahap buku-buku ilmiah orang dewasa.
Tommy pun melakukan berbagai eksperimen hebat. Tommy berhasil membedah hewan karena keinginantahunya yang besar terhadap binatang di sekitarnya. Usia 12 tahun, Tommy kecil sudah memiliki laboratorium kimia di ruang bawah tanah. Setahun kemudian ia berhasil membuat telegraf. Sekalipun bentuk dan modelnya primitif, tapi sudah bisa berfungsi. Umur 32 tahun, Tommy membuat dunia tidak lagi gelap gulita pada malam hari. Tommy menciptakan bohlam lampu pijar yang mengubah wajah dunia selamanya.
Jauh sebelum ibunya wafat. Tommy telah menjadi tokoh penemu. Suatu hari di rumah, dia menemukan barang-barang lama keluarga. Tiba-tiba, dia melihat kertas surat terlipat di laci sebuah meja. Dia buka dan baca isinya. ”Putra anda anak yang bodoh. Kami tidak mengizinkan anak anda bersekolah lagi.” Begitulah isi surat sesungguhnya yang pernah Tommy serahkan pada ibunya dahulu. Tommy menangis sesegukan setelah membaca surat itu.
Tommy menulis di buku catatan hariannya.
“SAYA, THOMAS ALFA EDISON, SEORANG ANAK YANG BODOH. BERKAT IBU YANG LUAR BIASA HEBAT, SAYA TUMBUH MENJADI JENIUS HEBAT”
Thomas Alfa Edison, manusia berbakat super jenius. Karena sejumlah penemuan pentingnya, Michael H. Hart menempatkannya pada urutan 35 dalam bukunya, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia (edisi revisi, 2016). Siapa sangka Thomas Alfa Edison adalah korban dari vonis keliru yang dijatuhkan seorang guru.
Siapa yang tidak mengenal Prof. Dr. Buya Hamka? Salah satu putra terbaik negeri ini. Ulama, sastrawan, jurnalis, dan politisi adalah sebagian dari gelaran yang sering disematkan padanya. Beliau adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama. Karya tulisnya dalam berbagai varian banyak menghiasi kepustakaan kita. Dalam bidang sastra, salah satu karya terbaiknya adalah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang kini telah diangkat ke layar lebar. Sedangkan dalam bidang tafsir beliau menulis Tafsir Al-Azhar yang diselesaikannya dalam penjara zaman Soekarno. Dalam bidang sejarah Hamka menulis buku, Sejarah Umat Islam, yang banyak menjadi bahan rujukan para penulis sejarah.
Tahun 1959 Hamka mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir dalam bidang penyiaran Agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Tahun 1974 kembali mendapat gelar serupa dari Universitas Kebangsaan Malaysia dalam bidang kesusasteraan. Gelar Profesor diprolehnya dari Universitas Prof. Dr. Mustopo, Jakarta.
Tetapi bukan hanya deretan prestasi itu yang membuat beliau istimewa. Ada yang lebih istimewa, Buya Hamka ternyata tidak punya ijazah pendidikan formal. Dalam biografinya, Buya Hamka; Sebuah Novel Biografi, karya Haidar Musyafa (2018) diceritakan bagaimana Hamka gagal dalam pendidikan formalnya. Bosan dengan aktivitas persekolahan yang monoton; duduk diam mendengar ceramah para guru yang kaku. Jiwanya ingin bebas mengarungi belantara ilmu dengan caranya sendiri. Karena itu dia lebih suka seharian membaca buku. Membaca baginya merupakan kenikmatan tiada tara. Sekolah, masa bodoh dengannya.
Sekolahnya gagal. Ayahnya membawa dia ke pesantren sahabatnya. Harapannya, di pesantren itu dia bisa betah. Tetapi ternyata tidak, Hamka tetap tidak tertarik dengan sistem pembelajaran di pesantren itu. Dia malah sering meninggalkan pondok dan bergabung dengan orang-orang dewasa di pasar untuk menyabung ayam. Biaya hidup yang dikirimkan ayahnya sering dia gunakan untuk berjudi sabung ayam. Akhirnya dia tinggalkan pesantren dan untuk kedua kalinya Hamka gagal mempersembahkan ijazah untuk orang tuanya.
Ayahnya kecewa dan nyaris tidak punya harapan untuk menjadikan anaknya sebagai penerus perjuangannya, menjadi ulama penyuluh umat. Nyatanya Hamka menjadi anak nakal yang susah diatur. Tetapi perjalanan hidup selanjutnya sangat berbeda. Hamka yang dulu divonis nakal menjadi seorang Ulama dengan karya-karya hebat. Boleh jadi kenakalan yang dinampakkannya merupakan bentuk protes dari sistem persekolahan yang kaku dan tak seperti yang yang idamkannya.
Dua kisah di atas sarat inspirasi, kisah tentang vonis guru dan atau orang tua yang melegenda. betapa tidak, Edison dan Buya Hamka berhasil membuktikan bahwa mereka tidaklah seperti apa yang disangkakan orang tentangnya. Hentikan sikap suka memvonis terhadap anak didik kita. Sering terbukti, anak-anak yang dulu kita kira bodoh ternyata anak cerdas dengan multi telanta. Anak-anak yang dulu disangka nakal justru menjadi orang-orang terpandang karena budi pekertinya yang agung. Menjatuhkan vonis tanpa diagnosa yang tepat berpotensi mematikan bakat terpendam anak-anak yang mungkin saja mereka miliki.
Tugas kita para guru adalah memahami karakter anak-anak, gaya belajar mereka, sampai menyelami kepribadiannya, agar dapat melakukan langkah yang tepat dalam membelajarkan mereka.Untuk itu dibutuhkan pendidik yang berjiwa besar dan memahami konsepsi pendidikan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh seorang ibu yang telah menemukan bakat terpendam anaknya, Edison.
Sistem pembelajaran yang membebaskan dari kekakuan dan feodalistik harus dikembangkan. Anak didik saatnya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkreasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Tidak boleh dikerangkeng dalam ruang-ruang sempit karena akan mematikan kreatifitas yang ingin disalurkannya. Kisah Buya Hamka layak dijadikan pelajaran yang berharga.
Akhirnya. Tidak ada anak bodoh, tidak ada anak nakal. Yang ada adalah kita dan sistemlah yang belum mampu menemukan dan mengembangkan potensi anak.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar