Abdul Latif Rusdi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
LITERASI DIGITAL BAGI MILENIAL

LITERASI DIGITAL BAGI MILENIAL

Dekadensi moral peserta didik saat ini bukanlah cerita fiksi belaka. Perilaku dan sikap sebagian peserta didik terhadap temannya (perundungan) di sekolah, sungguh melampaui batas kewajaran.

Menurut UNICEF (United Nation Internatioanl Children’s Emergency Fund) pada tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat pertama untuk soal kekerasan anak. Untuk urusan kekerasan di sekolah, Indonesia juga menempati posisi pertama dengan 84%, dibandingkan Vietnam dan Nepal sama-sama 79%, Kamboja 73% dan Pakistan 43%. Sejak 2011 hingga 2016 kasus kekerasan anak, sudah meminta korban 676 korban yang dilakukan oleh 400 pelaku. (Sindonews.com)

Mengatasi keterpurukan perilaku peserta didik saat ini, tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada guru. Guru hanya bagian kecil dari usaha besar pemerintah dalam menjalankan kebijakan pendidikan. Apakah kebijakan pemerintah saat ini sudah “usang” bagi anak zaman milenial? Jika benar sudah “usang” maka pemerintah harus segera membuat kebijakan baru yang lebih menyentuh hati mereka.

Kebijakan baru yang diterapkan, sebaiknya menyesuaikan dengan kebiasaan peserta didik era milenial berupa kebiasaan native digital. Pembelajaran yang dilaksanakan, semestinya dengan mendekatkan peserta didik pada kebiasaan aktivitas digital. Sekolah dan guru perlu menyahutinya dengan melakukan pembelajaran yang berbasis digital. Pembelajaran yang berbasis digital ini, harus menjadi sebuah komitmen bersama seluruh guru dalam rupa gerakan literasi digital. Gerakan literasi digital diharapkan akan dapat membimbing peserta didik di zaman kekinian (kids zaman now).

Literasi bukan hanya persoalan membaca dan menulis. Literasi bukan semata mengatasi persoalan buta huruf. Literasi dasar itu mencakup literasi baca tulis, numeral, digital, finansial, sains dasar, serta budaya dan keragaman. (Maman Suherman, Kompas 18/11/17)

Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) semangatnya untuk meningkatkan literasi digital peserta didik. Namun kecepatan perkembangan informasi di lini masa, tidak terbendung oleh jumlah jam pertemuan pembelajaran TIK. Ketimpangan ini, menyebabkan peserta didik merasa penasaran dan mencoba-coba serta mencari tahu lebih dalam lagi tentang perkembangan dunia digital.

Keingintahuan ini melebar ke segala arah, tidak terkendali, sehingga menyasar ke situs-situs yang belum pantas dikonsumsi peserta didik. Peserta didik semakin jauh berselancar di dunia maya tanpa ada filter dan bendungan sama sekali.

Pemerintah, sekolah, guru, orang tua, keluarga dan masyarakat harus bersatu padu untuk mengantisipasi perubahkan perilaku peserta didik di era milenial ini. Pencegahannya tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Ini sudah menjadi persoalan besar yang harus melibatkan semua pihak. Tidak cukup dengan aturan dan penindakan orang per-orang.

Perilaku Generasi Milenial

Kondisi degradasi moral peserta didik saat ini, sungguh sangat memprihatinkan. Rasa hormat dan kepatuhan peserta didik terhadap guru semakin hampa. Mungkin peserta didik beranggapan, guru bukan lagi sebagai panutan. Pun mereka beranggapan, guru bukan pula sebagai pengganti orang tua mereka di sekolah. Mungkin mereka menganggap, guru hanyalah sebagai penyampai informasi yang tidak penting baginya. Peserta didik milenial sering disebut sebagai generasi-Z. (Panchadahana, Kompas, 18/11/17)

Generasi-Z adalah generasi yang terlahir di zaman kemajuan teknologi yang semakin canggih. Kecepatan lalu lintas informasi yang super cepat dan perubahan tenaga kerja yang telah tergantikan oleh kecerdasan buatan (artifisial intelegensia), menjadi tantangan bagi mereka. Generasi-Z adalah generasi yang terbiasa menggunakan alat-alat teknologi yang super canggih, seperti smartphone, tablet dan laptop atau generasi yang sering disebut dengan native digital. Generasi native digital harus dibimbing dengan menularkan budaya berinternet sehat dalam bentuk literasi digital.

Literasi Digital

Paul Gilster pertama kali mengemukakan istilah literasi digital (digital literacy) pada tahun 1997 dalam bukunya yang berjudul sama. Literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi dan informasi dari piranti digital secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks seperti akademik, karir dan kehidupan sehari-hari.

Literasi digital perlu dibudayakan oleh guru, demi menghadapi peserta didik generasi-Z yang native digital. Sepatutnya guru meninggalkan cara mengajar secara konvensional. Guru harus bergerak cepat turut serta mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan teknologi. Dengan menguasai teknologi, guru dapat menyusun konsep materi pembelajarannya secara digital. Dengan konsep ini diharapkan peserta didik merasa berada pada kondisi kebiasaannya dan akan tertarik mengikuti materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Dalam menyusun suatu materi pelajaran, guru harus mempersiapkan materi berbasis digital berupa video pembelajaran. Video dapat berupa hasil pengunduhan dari situs-situs yang menyediakan materi pembelajaran. Video juga dapat dibuat sendiri oleh guru. Materi pembelajaran disesuaikan dengan materi-materi pada kurikulum yang berlaku. Dari materi video pembelajaran tersebut, guru dan siswa dapat saling berinteraksi untuk membahas materi yang sedang diajarkan.

Pelaksanaan pembelajaran berbasis video, akan menyita waktu peserta didik pada hal-hal yang terkait dengan pembelajaran saja. Sepulang dari sekolah, waktunya ke warnet untuk bermain game-online, akan tersubstitusi dengan melihat unggahan terbaru video dari gurunya.

Literasi digital, tidak boleh berhenti pada tugas guru dan sekolah saja. Literasi digital juga harus merambah ke seluruh komponen masyarakat luas. Keterlibatan masyarakat luas, diharapkan akan membantu percepatan pembudayaan literasi digital di tengah-tengah masyarakat.

Masyarakat dapat berperan penting dalam pemassalan literasi digital. Anak tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam menyelami keluasan dunia maya. Anak perlu diberikan bimbingan berupa himbauan, pengarahan dan pendampingan dalam berinternet secara sehat.

Dengan bendungan ini diharapkan, literasi digital menjadi usaha kecil dalam penguatan pendidikan karakter bagi peserta didik. Dengan usaha sederhana ini, diharapkan juga akan menjadi sebuah ranting penguat untuk membangun pohon besar Gerakan Nasional Revolusi Mental.*

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Informatif, inspiratif, dan evaluatif....tulisan pak Latif Mehon Kita mengharapkan semua elemen bukan hanya muridnya saja, namun gurinya, keluarganya dan lingkungan masyarakatnya juga Kreatif dan kritis namun juga harus tetap santun dan beretika.. Bagaimanapun juga canggihnya artifisial intelegen tetap harus dikawal dengan moral dan etika yang baik... Karena etika, sikao dan karakter tak bisa dibentuk melalui canggihnya Artificial Intelegence, namun melalui pembinaan akhlak sesuai moral Agama dan jiwa Pancasila... Tetap saja " Utamakan adab sebelum ilmu" harus menjadi pengawal literasi digital di era milenial ini

27 Oct
Balas

Mantul

01 Nov
Balas

Sangat setuju Ibu @fitri heriana. Adab sebagai penyemai ilmu

29 Oct
Balas



search

New Post