Abdurrauf Shaleng

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
'Getteng' dalam falsafah Bugis (Tulisan ke- 242)

'Getteng' dalam falsafah Bugis (Tulisan ke- 242)

Kata 'getteng' (Bugis, baca: keteguhan pendirian) meliputi banyak pengertian, di antaranya, tegas, tangguh, setia pada keyakinan, dan taat asas. Kalau memerhatikan sumber keteguhan itu, kita akan menemukan nilai luhur yang mendahuluinya, yakni sikap jujur dan keberanian. Tidak mungkin ada keteguhan selama kita diliputi rasa keraguan. Sementara itu keragu-raguan timbul sebagai akibat perbuatan yang tidak diyakini kebenarannya.

Getteng ini dapat dilihat dari tingkah laku sehari-hari orang yang memiliki harga diri, keyakinan dan tanggung jawab. Orang yang mempunyai rasa harga diri tercermin dalam tindakannya yang selalu menepati janji. Menaati keputusan yang telah ditetapkan adalah penjelmaan watak orang yang teguh pendirian.

Berikut dikemukakan beberapa wérékkada (perkataan) yang menggambarkan kearifan lokal masarakat Bugis dalam bentuk keteguhan. “Makkedai Kajao Laliqdong: “Ia ritu adek é, péasseriwi arajanna arung mangkauk é; ia tonasappoi pangkaukenna toppégauk, ia tona nasanrési to madodonngé. Naia bicaraé, iana passaranngi assisalangenna to mangkagaé. Naia rapanngé, iana passéajinngi tana masséajinngé. “Nakko marusaqni adeké, temmasseqni ritu arajanna arung mangkauk é, masolang toni tanaé. Narékko temmagettenngi bicaraé, masolangni ritu jemma tekbek é. Narékko temmagettengni rapanngé, ianaritu mancaji assisalangeng; gaégaénna ritu mancaji musu, musuéna ritu mancaji assiuno-unong. Sabaq makkuannanaro, nariéloreng riatutui adeq é kuétopa bicara, enrenngé rapanngé, sibawa wariq é.” (Baca: Berkata Kajao Laliqdong: “Adapun adat itu, ia memperkukuh kebesaran raja yang memerintah, ia juga yang mencegah perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab, juga menjadi sandaran orang lemah. Adapun hukum itu ia memisahkan perselisihan orang yang bertengkar. Adapun rapang (aturan perumpamaan yang diambil dari peristiwa yang sudah pernah terjadi) itu ialah yang mempersaudarakan negeri yang berkerabat. ”Jika rusak adat itu tak akan kukuh lagi kebesaran raja yang memerintah. Jika sudah tidak tegas lagi peradilan maka binasalah rakyat jelata. Jika rapang sudah tidak tegas lagi itulah menjadi sumber pertentangan. Kejadian serupa itu, menjadi pangkal permusuhan dan permusuhan menjadi pangkal saling membunuh. Oleh sebab itu, maka adat, hukum (bicara), rapang (undang-undang), dan wariq (aturan perbedaan pangkat kebangsaan) itu dipelihara.”

Dari kutipan di atas kita mendapat gambaran bahwa sejak dahulu orang tua masyarakat Bugis sudah menekankan betapa pentingnya sikap ketegasan kepada anak cucunya. Mereka juga berpesan agar anak cucunya senantiasa menjaga dan memelihara adat, karena adat itu merupakan sumber kekuatan pemerintahan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya di sini adalah ketegasan dalam peradilan. Sejak dahulu para leluhur masyarakat Bugis sudah menegaskan kepada anak cucunya betapa pentingnya ketegasan dalam peradilan atau dengan kata lain betapa pentingnya penegakan hukum. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya agar tidak menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat yang bersengketa.

Ungkapan-ungkapan mengenai pertentangan, permusuhan, dan pembunuhan sering kita saksikan terjadi di tengah masyarakat saat ini akibat kurang tegasnya pengambil kebijakan. Hukum bisa menjadi sumber malapetaka apabila tidak ditegakkan dengan baik. Orang bisa saling membunuh apabila hukum tidak dilaksanakan dengan adil. Hal ini sudah disadari oleh para leluhur masyarakat Bugis sejak dahulu. Gambaran ini dapat dilihat dalam kutipan wérékkada di atas. Makkedatopi torioloé: “Nakko mappauko, inngeranngi adek é, enrenngé rapanngé, muénngerangtoi gauk muasenngé patuju, naia muparanrengi ada, mupasitai ponna cappaqna adaé nainappa mupoada. Apak iaritu ada madécénngé, enrenngé gauk madécénngé adekpa natettongi namadécéng, enrenngé napatuju. Muparionronai gaukmu iamaneng, enrenngé ada-adammu. Apak munitu muaseng patuju gaukmu enrenngé ada-adammu natania onrona naonroi, salamui.”

Sumber:

Mustafa (2017) Petuah-Petuah Leluhur

dalam Wérékkada: Salah Satu Pencerminan Kearifan Lokal Masyarakat Bugis

# Watansoppeng, 19 November 2020

# Salamaki Tapada Salama

# Tantangan Menulis 365 hari

# Tagur Hari ke-242

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Warekkada makessing...Petuah madeceng...mantap bapak

19 Nov
Balas

Tarimakasi maraja Bu Jabriah..salamaki tapada salama...

19 Nov



search

New Post