Abdurrauf Shaleng

Bekerja adalah Ibadah, lakukanlah dengan Penuh Cinta...!!...

Selengkapnya
Navigasi Web
La Mellong dan La Tobaja (Tantangan Menulis Hari Ke-91)

La Mellong dan La Tobaja (Tantangan Menulis Hari Ke-91)

Menelusuri kisah “Lamellong dan Latobaja” sebagai representasi cendekiawan Bugis tempo doeloe, pada umumnya dapat dilacak melalui sumber lisan berupa cerita rakyat dan catatan sejarah dalam bentuk lontara. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat tentang buah pikiran keduanya yang menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” yang dalam bahasa Bugis disebut “Pangadereng” (baca: adat/norma). La Mellong berkiprah sebagai cendekiawan atau pemikir di Kerajaan Bone dan La Tobaja di Kerajaan Soppeng. Dalam lintasan perjalanan kerajaan-kerajaan di Tanah Bugis dilukiskan, betapa besar jasa La Mellong dan La Tobaja dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo. Bentuk penyatuan tersebut dituangkan dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “Lamumpatue” pada tahun 1562.

Dalam ikrar ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu. Pokok-pokok pikiran La Mellong yang disarankan kepada raja ada empat hal, yakni: 1) Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai; 2) Tidak memejamkan mata siang dan malam; 3) Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan 4) Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.

Karena pola pikir dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka La Mellong diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut “Kajao Lalliddong”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong, tempat kelahiran La Mellong. Sepenggal cerita tentang kecerdikan Lamellong akan diturunkan dalam beberapa tulisan bersambung berikut ini:

Dikisahkan dalam sebuah cerita bahwa dahulu kala Istana sempat geger. Ia mendapat tantangan berupa teka teki dari kerajaan tetangga yang di bawa kurirnya belum juga bisa terselesaikan. Orang pintar yang ada di istana sudah menyerah, tak sanggup memberikan solusi meski sudah memutar otak beberapa hari dengan segala cara. Jika pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab, maka wibawa kerajaan bisa jatuh. Akhirnya diadakanlah pertemuan tokoh cerdik pandai di lingkungan istana. Pada pertemuan para cerdik pandai tersebut, ditengah kebingungan para peserta, salah seorang diantara peserta memberanikan diri bicara untuk menyampaikan usul. “Saya mendapat informasi bahwa di daerah Cina ada seorang anak muda yang cukup cerdik, siapa tahu saja dia mampu menjawab teka-teki itu”. Kata sang pengusul. “ Siapa nama anak muda itu?”, kata pemimpin pertemuan. “ Tabe, La Mellong, namanya Puang”, kata sang pengusul dengan sedikit hati-hati. “Bagaimana pendapat saudara-saudara yang lain”, kata pimpinan pertemuan. “Menurut pendapat saya, tak ada salahnya mengirim kurir ke Cina, sambil kita tetap berusaha memecahkan teka teki dimaksud”, jawabnya dengan penuh wibawa. “Bagaimana saudara-saudara yang lain?” tak ada jawaban, “Kalau demikian besok akan dikirim kurir ke Cina untuk menjemput La Mellong” kata pimpinan pertemuan mengambil kesimpulan, selanjutnya pertemuan pun ditutup.

Keesokan harinya, kurir yang diutus oleh pabbicara berangkat ke arah selatan menuju daerah Cina tempat La Mellong. Ia berangkat seorang diri melewati beberapa kampung dan persawahan dengan memegang tongkat. Setelah tengah hari sampailah ia di pinggir sungai di daerah Cina. Di tempat tersebut sang kurir melihat seorang anak muda yang sedang menggembalakan sapi diseberang sungai. Sang kurir sedikit berteriak bertanya kepada sang penggembala, “Tabe Ndi, meloka makkutana, malamugga yae saloe (permisi dik, saya mau bertanya, dalamkah ini sungai). Maka sang penggembala menjawab “Ta tanai sibawatta (tanya saja temannya) jawab anak muda itu dengan sedikit acuh. Sang kurir menoleh melihat sekeliling, tak ada orang lain. Kok anak muda ini minta dia bertanya kepada kawan saya. Dengan sedikit bingung dan jengkel akibat merasa dikerjai dan capek setelah berjalan jauh. Sang kurir berkata dengan keras, “Niga sibawakku muaseng na ale-aleku mie“ (siapa temanku yang kau maksud, aku hanya sendiri ini). Dengan tersenyum sang penggembala menunjuk tongkat sang kurir dan menyahut, “itu yang saya maksud”. Sedikit menggerutu, sang kurir pun mengukur kedalaman sungai yang ternyata dangkal saja. Tongkat itu di pungutnya tadi waktu melewati sawah agar tak terpeleset di pematang. Cerdas juga ini anak, pikir sang kurir…. bersambung

Salamaki To Pada Salama

#Soppeng, 20062020

#Tantangan Menulis 365 Hari

#HariKe-91

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih berbagi ilmubya Bpk, semoga semakin sukses. Salam kenal, salam literasi dari kota Sukoharjo Jawa Tengah.

20 Jun
Balas



search

New Post