Masih Enggan Berkurban? (Tagur Hari ke-131)
Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan kurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung majelis taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan dikurbankan pada Idul Adha besok. Sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat kurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya. "Berapa harga kambing yang itu pak?" ujarku menunjuk kambing coklat tersebut. "Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang" kata si pedagang berpromosi. Matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya. "Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi. "Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang bertahan. "Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama. "Maaf pak, masih jauh ujarnya cuek."
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya. "Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku. "Masih belum nutup pak" ujarnya tetap cuek. "Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?" ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah. "Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri. Tetap saja harus diangkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput" kata si pedagang meledek. Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya diawal tadi.
Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit. " Kalau yang belang hitam putih itu berapa pak?" kataku kemudian. "Nah yang itu Super biasa, satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah" katanya.
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian "korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar. " Gagah banget kambing itu. Berapa harganya Nak?" katanya kagum " Dua juta tidak kurang tidak lebih kek. " kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek. "Mahal benar harganya?" kata si kakek. Bisa di tawar ya Nak?" lanjutnya mencoba negosiasi juga. " Cari kambing yang lain aja kek. " si pedagang terlihat semakin malas meladeni. "Aku mau yang terbaik dan gagah untuk kurban tahun ini, uangnya cukup untuk mebayar koq" katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya.
Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu dibukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya. " Ini dua juta rupiah, kambingnya dianter ke rumah ya Nak?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memerhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu. "Kek, uangnya ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan selembar lima puluh ribuan lalu mengembalikannya ke sang kakek. "Ndak ada ongkos kirimnya ya Nak? si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih "Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yang cukup jujur memberikan lima puluh ribu ke kakek " mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah). "Alhamdulillah, lebih lima puluh ribu bisa ditabung lagi" kata si kakek sambil menerimanya "tolong antar ke desa dekat itu ya, sesampainya di belakang Masjid Baiturrohman, tanya saja rumahnya Mbah Sholihin pensiunan pegawe Pemda, InsyaAllah anak-anak sudah tahu. "
Setelah bertransaksi dan membayar apa yang telah disepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap dikayuhnya tetap dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol tua, sanggup membeli hewan kurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa itu buruh tani dan para pensiunan pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh dibanding aku yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super, yang sanggup mengoleksi raket hanya untuk olah-raga seminggu sekali, yang sanggup membeli hewan kurban ekor sapi.
Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan kurban yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobilku, kendaraanku di dunia fana ini. Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah bersyukur ini ke arah orang yang pandai mensyukuri nikmatMu...
[Dikutip dari www.griyamelati.net]
#Salamaki To Pada Salama
#Soppeng30072020
#Tantangan Menulis 365 hari
#Tagur Hari ke-131
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Semoga kita selalu menjadi orang yang bersyukur, Aamiin....
Aamiinn yra..trims mbak Nima
Mantap pak salam literasi
Trims bu..slm literasi balik
Keren, pak!