Abdurrauf Shaleng

Bekerja adalah Ibadah, lakukanlah dengan Penuh Cinta...!!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mengapa Anda disebut Bugis (Tantangan Menulis Hari ke-127)

Mengapa Anda disebut Bugis (Tantangan Menulis Hari ke-127)

Dewasa ini, orang Bugis umumnya selalu mengidentifikasikan diri mereka berdasarkan kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Tanah Bugis, yakni Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng, serta beberapa persekutuan kerajaan kecil, seperti yang terdapat di sekitar Parepare dan Suppa (Pinrang) serta di pantai barat sampai Barru dan wilayah Sinjai serta Bulukumba di sebelah selatan. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan etnis Sulawesi Selatan lainnya, misalnya Makassar, Mandar, dan Toraja.

Meskipun demikian, dalam ungkapan sehari-hari, istilah Bugis sering digandengkan dengan etnis Makassar, sehingga menjadi Bugis-Makassar. Pengungkapan seperti itu disebabkan karena kedua suku tersebut merupakan satu kesatuan etnik kebudayaan yang dikenal dengan nama Bugis-Makassar. Penggunaan istilah “orang Bugis” atau “Bugis” sendiri tidak ditemukan keterangan yang memadai, sebab hingga dewasa ini bagi orang yang disebut “orang Bugis” sendiri jika mereka menyebut dirinya tidak menyebut dengan istilah “Bugis” atau “orang Bugis”, tetapi menggunakan istilah “Ugi” atau To Ugi”. Misalnya Ugi To Soppeng, Ugi To Bone, Ugi To Wajo dan lain-lain. Demikian juga karya-karya orang Bugis masa lalu, seperti dalam lontara. Namun demikian, ada kemungkinan bahwa istilah Bugis adalah evolusi dari istilah Ugi’. Istilah Ugi’ berasal dari akhir kata nama seorang pemimpin wilayah Cina (Wilayah Bone) yang disebutkan dalam I La Galigo, yakni La Sattumpugi’.

Dalam Wikipedia Indonesia disebutkan bahwa Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.

La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Menurut Lontarak Attoriolongennge Pammana disebutkan bahwa pada awalnya suku yang kemudian disebut Bugis atau To Ugi masih merupakan bagian dari suku To Luwu’. Di bawah pimpinan La Sattumpugi’, kelompok suku ini pindah ke daerah Cenrana (salah satu Kecamatan di Kabupaten Bone Sekarang), lalu sebagian pindah ke daerah Pammana (salah satu Kecamatan di Kabupaten Wajo sekarang). Wilayah kekuasaan La Sattumpugi’ yang masuk daerah Bone (Cenrana) kemudian dinamakan Cina ri Lau dan daerah yang masuk dalam wilayah Wajo (Pammana) kemudian dinamakan Cina ri Aja.

La Sattumpugi’ sendiri adalah pemimpin pertama dari wilayah yang dikenal dalam I La Galigo sebagai daerah Cina, sehingga ia digelar sebagai Datunna atau Opunna Cina. Pada masa I La Galigo orang Bugis disebut dengan To Cina atau orang yang mendiami wilayah Cina, baik Cina ri Aja maupun Cina ri Lau’, yang pemimpin pertamanya adalah La Sattumpugi’. Sebutan ini dimaksudkan untuk membedakan mereka dengan beberapa kelompok manusia yang mendiami wilayah-wilayah lainnya, yakni wilayah Luwu disebut To Luwu, wilayah Mandar disebut To Menre’, dan seterusnya.

Walaupun secara umum terdapat kesamaan budaya dan tradisi di antara orang-orang yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan, namun berdasarkan fakta-fakta yang hingga saat ini dapat disaksikan bahwa pada masa-masa awal tersebut lambat laun telah membentuk budaya dan tradisi tersendiri. Akhirnya, terbentuklah entitas-entitas etnis Sulawesi Selatan sebagaimana yang ada hingga dewasa ini. Dengan demikian, istilah Bugis yang menunjuk kepada To Ugi atau To Cina pada masa I La Galigo tersebut adalah sebuah istilah yang dapat diduga kuat muncul belakangan, yakni ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang di luar komunitasnya. Hal ini dapat diamati dari istilah yang digunakan oleh orang Mandar ketika menyebut orang Bugis hingga dewasa ini, yakni istilah To Bugis, bukan To Ugi’.

Hal lain yang dapat dijadikan alasan untuk memperkuat kesimpulan ini adalah bahwa istilah yang digunakan oleh Portugis ketika pertama kali mengunjungi daerah Sulawesi Selatan pada abad ke-16 adalah istilah Bougius. Istilah ini, dapat dipastikan merujuk pada kata Bugis, bukan Ugi’. Asal-usul manusia Bugis atau To-Ugi hingga kini masih tidak jelas dan tidak pasti. Berbeda dengan manusia di wilayah Indonesia bagian barat, Sulawesi Selatan sama sekali tidak memiliki monumen Hindu dan Budha atau prasasti, baik dari batu maupun logam, yang memungkinkan dibuatnya satu kerangka acuan yang cukup memadai untuk menelusuri sejarah orang Bugis sejak abad pertama Masehi hingga masa ketika sumber-sumber tertulis Barat cukup banyak tersedia.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru.

Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polman dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).

Sumber:

·         Rasdiyanah, Andi. Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem Syari’at sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontara Latoa, Disertasi Doktor, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995.

·         Ridhwan, Expose Vol-17, IAIN Bone, Indonesia 2018

·         https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis#:

 

Salamaki To Pada Salama

#Soppeng, 26072020

#Tantangan Menulis 365 Hari

#TaGur Hari ke-127

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan sejarah mantap Pak Boz

26 Jul
Balas

Iyye bu bosss..tengkiuuu

26 Jul

Mantap pencerahannya pak.

26 Jul
Balas

Trims apresiasiTa bu Doktor

03 Aug

Mantap pak salam literasi

26 Jul
Balas

Trims Ibu Ifa...slm literasi balik dr Soppeng..salamaki

26 Jul

Tulisannya pak Pengawas, selalu aku suka!

26 Jul
Balas

Trims supporTa bu Ija..niganaVale ko tania pada idik siSupport..thanks barakallah

26 Jul



search

New Post