Suherman, C.DAI., M.A., M.Pd

Riwayat Pendidikan : S.1 Fakultas Dirosat Islamiyyah UIN Syarief Hidayatullah Jakarta S.2 Dirosat Islamiyyah SPS UIN Syarief Hidayatullah Jakarta S.2 Pendidi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bolehkah Zakat Fitrah Pakai Uang ?
hal ini kita bisa mengacu kepada apa yang ditetapkan oleh Darul Ifta` Mesir, dimana yang dijadikan patokan dalam menentukan nominal uangnya tetap kadar zakat fitrah menurut mazhab Syafi’iyyah yaitu bahan makanan yang dominan di sebuah negeri

Bolehkah Zakat Fitrah Pakai Uang ?

Ini masalah klasik yang selalu baru (قديم متجدد). Di setiap Ramadan, terutama di paruh terakhir, masalah ini akan selalu diangkat, dan perdebatan ‘lama’ pun akan kembali muncul. Maka, ketika menulis tentang ini, sebenarnya saya tidak menyampaikan sesuatu yang baru. Namun, karena tidak semua orang yang bisa merujuk kepada sumber-sumber mu’tamad, boleh jadi ada beberapa hal baru yang akan didapatkannya dari tulisan ini.

Sebelum itu, ada baiknya kita sampaikan satu kaidah utama dalam menyikapi perbedaan pendapat para ulama, terutama para imam mazhab. Kaidah itu adalah:

اتفاقهم حجة قاطعة واختلافهم رحمة واسعة

“Kesepakatan mereka (para ulama) menjadi dasar yang bersifat pasti, sementara perbedaan pendapat di antara mereka menjadi rahmat yang melapangkan.”

Seorang ulama di abad kedelapan hijriah; Abu Abdillah ad-Dimasyqi al-‘Utsmani menulis sebuah buku yang berjudul:

رحمة الأمة فى اختلاف الأئمة

“Rahmat bagi umat dalam perbedaan pendapat para imam.”

Maka, perbedaan pendapat para imam mazhab, khususnya dalam masalah zakat fitrah ini, apakah ia sah dibayarkan dengan uang atau tidak, semestinya tidak menjadi sesuatu yang memberatkan bagi umat, melainkan sesuatu yang melapangkan.

Mayoritas ulama memang mengatakan bahwa zakat fitrah harus dibayarkan dengan bahan makanan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis shahih :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ» (رواه البخاري ومسلم)

“Dari Ibnu Umar -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- ia berkata: “Rasulullah - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم- mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ dari korma, atau satu sha’ dari gandum, terhadap kaum muslimin; hamba dan orang merdeka, laki-laki dan wanita, kecil dan besar, dan beliau memerintahkan untuk dibayarkan sebelum orang-orang berangkat menuju shalat ied.”

Dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudri –رضي الله عنه-, ia berkata :

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ (البخاري ومسلم)

“Kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ dari makanan, atau satu sha’ dari gandum, atau satu sha’ dari korma, atau satu sha’ dari aqith (susu yang dikeringkan), atau sha’ dari kismis.”

Berdasarkan hal ini, para ulama, terutama kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa zakat fitrah mesti dibayarkan dengan bahan makanan seperti yang disebutkan di dalam hadits. Mereka tidak membolehkan zakat fitrah dibayarkan dengan nilainya (بالقيمة), baik berbentuk uang maupun barang, meskipun uang atau barang itu dinilai lebih memberikan manfaat bagi si fakir atau miskin.

Imam al-Haramain –رحمه الله-, salah seorang ulama mazhab Syafi’iyyah mengatakan, “Zakat adalah ibadah dan bentuk taqarrub kita kepada Allah –سبحانه وتعالى-. Oleh karena itu ia mesti mengikuti petunjuk yang telah disampaikan oleh Rasulullah –صلى الله عليه وآله وسلم-. Rasulullah - صلى الله عليه وآله وسلم- telah menjelaskan petunjuk tersebut di dalam hadis-hadisnya. Maka hal itu tidak boleh dilanggar.”

Beliau memberikan sebuah perumpamaan, “Si A memerintahkan si B, sebagai wakilnya, untuk membeli baju di pasar. Si B tahu kalau tujuan si A menyuruh untuk membeli baju adalah untuk dijadikan sebagai bahan dagang. Di pasar, si B melihat ada barang lain yang jauh lebih baik –menurutnya- untuk dijadikan sebagai barang perniagaan. Tapi, walau demikian, si B tetap tidak boleh menyalahi perintah si A untuk membeli baju, meskipun ia melihat ada barang lain yang jauh lebih baik dan menguntungkan –menurut pikirannya- untuk dijadikan sebagai barang perniagaan oleh si A.”

Sementara itu, sebagian ulama membolehkan zakat fitrah dibayarkan dengan melihat nilainya (بالقيمة), khususnya dalam bentuk uang.

Yang berpendapat seperti ini bukan hanya kalangan Hanafiyyah saja, sebagaimana yang banyak disampaikan, melainkan juga pendapat beberapa sahabat Rasulullah –رضي الله عنهم- dan beberapa ulama dari kalangan Tabi’in seperti Imam Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz –رحمهما الله-. Ini juga pendapat Imam ats-Tsauri, Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Abu Ja’farرحمهم الله . Pendapat ini juga yang dijadikan sebagai pegangan dalam berfatwa di dalam mazhab Hanafiyyah. Ini juga pendapat dari Imam an-Nashir al-Mu`ayyad billah dari kalangan ulama Ahlul Bait az-Zaidiyyah.

Imam Abu Tsaur dan Ishaq bin Rahuyah juga berpendapat zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Hanya saja mereka membatasinya dalam kondisi terpaksa. Demikian juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –رحمهم الله جميعا-.

Beberapa ulama dari kalangan Malikiyyah seperti Ibnu Habib, Ashbagh, dan Ibnu Abi Hazim juga mengatakan zakat fitrah sah dikeluarkan dalam bentuk uang.

Bahkan, Imam ar-Ramli, seorang ulama dari kalangan Syafi’iyyah, di dalam fatwanya juga membolehkan membayarkan zakat fitrah dengan uang. Dalam hal ini beliau bertaklid kepada mazhab Hanafiyyah.

(Silahkan rujuk: al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah II/398, al-Mughni karya Ibnu Qudamah III/65, al-Muhalla karya Ibnu Hazm VI/130, dan Fatawa ar-Ramli yang terdapat pada Hamisy Fatawa Kubra Ibnu Hajar al-Haitami I/56).

Dalam kitabnya Umdatul Qari, Imam al-‘Aini, salah seorang ulama Hanafiyyah, menulis:

“Membayar nilai (الْقيمَة) dalam zakat adalah boleh menurut kami. Demikian juga dalam membayar kaffarah, zakat fitrah, kharaj, dan nazar. Ini juga menjadi pendapat Umar dan puteranya Abdullah bin Umar, juga pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mu’adz bin Jabal dan Thawus –رضي الله عنهم-. Imam ats-Tsauri berkata: “Boleh mengeluarkan barang (‘urudh) dalam zakat kalau nilainya sama. Ini juga pendapat Bukhari dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Kalau seseorang memberikan barang sebagai ganti dari emas dan perak; Asyhab mengatakan itu sah. Imam Thurthusyi mengatakan, “Ini pendapat yang jelas tentang bolehnya mengeluarkan nilai dalam zakat.” (Umdatul Qari IX/8).

Dari kalangan ulama kontemporer juga cukup yang berpendapat seperti ini. Diantaranya adalah Sayyid Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari –رحمه الله-, seorang ulama ternama dari Maroko yang disebut-sebut sudah sampai ke level mujtahid. Beliau secara khusus mengupas hal ini dalam bukunya: تحقيق الآمال فى إخراج زكاة الفطر بالمال .

Ada 32 argumentasi yang beliau kemukakan untuk menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa zakat fitrah sah dibayarkan dalam bentuk uang. Beberapa dari argumentasi itu insya Allah akan kita sampaikan dalam tulisan ini.

Syekh Dr. Yusuf al-Qardhawi, Ketua Persatuan Ulama se-Dunia sebelumnya, juga menguatkan pendapat ini dalam kitabnya yang sangat fenomenal; Fiqih Zakat. Beberapa lembaga fatwa di negara Arab juga memilih pendapat ini, khususnya Darul Ifta` Mesir, Mahkamah Isti`naf al-‘Ulya asy-Syar’iyyah Bahrain dan lain-lain.

Pendapat para ulama kibar dari berbagai generasi ini sudah lebih dari cukup unutk menjadi acuan tentang kebolehan membayarkan zakat fitrah dalam bentuk uang.

Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan:

فمن كان مقلدا فحسبه تقليد هؤلاء الأئمة ولو من غير مذهبه فإن الانتقال من مذهب إلى مذهب ولو فى بعض النوازل جائز على الصحيح المشهور فى كل المذاهب

“Seorang muqallid bisa bertaklid kepada para imam ini meskipun di luar mazhabnya, karena pindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain, walaupun dalam beberapa kasus, adalah dibolehkan menurut pendapat yang masyhur di semua mazhab.” (Tahqiq al-Amal hal 47).

Namun untuk melengkapi pembahasan ini, kita paparkan juga beberapa dalil yang dijadikan sebagai dasar bagi para ulama yang mengatakan bahwa zakat fitrah boleh dibayarkan dengan uang.

Pertama, pada dasarnya zakat itu dibayarkan dengan harta, sesuai dengan firman Allah Swt:

خذ من أموالهم صدقة ...

“Ambillah zakat dari harta mereka …”

Sementara harta itu sendiri pada dasarnya adalah emas dan perak. Ia digunakan untuk pengertian benda (الأعيان) dalam makna majazi. Orang Arab banyak menggunakan kata ‘harta’ ini untuk onta, karena onta merupakan harta yang dominan pada masa itu.

Kedua, Nabi –صلى الله عليه وآله وسلم- sendiri membolehkan mengambil nilai (القيمة) dalam zakat. Ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau memerintahkannya untuk mengambil zakat masyarakat Yaman dengan sabdanya :

خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ، وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ، وَالْبَعِيرَ مِنَ الْإِبِلِ، وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ

“Ambillah biji-bijian dari jenis biji-bijian, kambing dari jenis kambing, onta dari jenis onta, dan sapi dari jenis sapi.”

Tapi ketika Muadz –رضي الله عنه- sampai di sana ia berkata:

ائتوني بعرض ثياب خميص أو لبيس فى الصدقة مكان الشعير والذرة أهون عليكم وخير لأصحاب النبي بالمدينة

“Berikan padaku pakaian (khamis atau labis) sebagai ganti dari gandum dan jagung, karena ini lebih mudah bagi kalian dan juga lebih baik (bermafaat) bagi sahabat-sahabat Nabi di Madinah.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya. Ini diantaranya yang membuat beliau lebih cenderung kepada pendapat mazhab Hanafiyyah. Imam Ibnu Rusyaid mengatakan:

وافق البخاري فى هذه المسألة الحنفية مع كثرة مخالفتهم لهم لكن قاده إلى ذلك الدليل

“Dalam masalah ini, Bukhari sependapat dengan kalangan Hanafiyyah meskipun sebenarnya ia banyak berbeda dengan mereka (dalam banyak masalah), tetapi kekuatan dalil yang membuatnya sependapat dengan mereka dalam hal ini.”

Zakat yang dikumpulkan oleh Muadz dari penduduk Yaman tentu dikirim ke Madinah dan diterima oleh Nabi untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak (mustahiq). Berarti Nabi menyetujui kebijakan Muadz yang mengambil ‘nilai’ dalam zakat fitrah, bukan jenis dari harta yang dizakatkan seperti yang diperintahkan oleh Nabi pada awalnya, karena ia melihat bahwa nilai itulah (dalam hal ini pakaian) yang lebih memudahkan bagi masyarakat Yaman dan bermanfaat bagi para sahabat di Madinah.

Mungkin ada yang berkata, “Ini dalam zakat mal (harta), bukan zakat fitrah.”

Sayyid Ahmad menjawab keraguan ini:

وإذا ثبت ذلك فى الزكاة فهي شاملة لزكاة الفطر إذ لا فارق أصلا ، والقيمة كما تكون عرضا تكون نقدا بل هو الأصل فيها

“Jika hal ini berlaku dalam zakat, berarti ia juga mencakup zakat fitrah, karena secara prinsip tidak ada perbedaan antara keduanya dalam hal ini. Nilai itu sendiri, sebagaimana bisa berbentuk barang (dalam kasus di atas berupa baju), bisa juga berbentuk uang. Bahkan uang-lah yang lebih pokok dalam masalah nilai.”

Ketiga, zakat fitrah adalah zakat badan atau zakat ‘kepala’ yang wajib dibayarkan oleh setiap orang yang memiliki kelebihan makanan di malam ied dan siangnya. Tidak pandang apakah ia kaya atau miskin. Bahkan bayi yang lahir di malam ied pun juga mesti dibayarkan zakat fitrahnya oleh walinya.

Oleh karena itu, adalah sesuatu yang sangat bijak dan wajar ketika Rasulullah –صلى الله عليه وآله وسلم- memerintahkan manusia di zaman itu untuk mengeluarkannya dalam bentuk makanan agar semua orang bisa mengeluarkannya tanpa ada kesulitan. Karena uang di masa itu, meskipun ada, tapi sangat jarang, terutama di perkampungan (البوادي), apalagi bagi fakir miskin yang juga wajib mengeluarkan zakat fitrah.

Jangankan orang miskin, orang-orang kaya di masa itu saja, kaya karena memiliki banyak hewan ternak dan bahan makanan, sebagaimana halnya sebagian orang kaya yang hidup di beberapa daerah di negeri Arab sampai hari ini. Kebanyakan mereka tidak punya uang, karena memang tidak dibutuhkan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu saja. Sementara makanan, semua orang memilikinya.

Oleh karena itulah, menurut Imam Ibnu al-‘Arabi –رحمه الله-, zakat fitrah dikeluarkan dari jenis makanan orang yang berzakat, bukan dari jenis makanan orang-orang di derahnya, karena zakat fitrah itu wajib terhadap hartanya, maka mesti disesuaikan dengan kondisinya.

Beliau berkata:

وما أراد النبي فيما بلغ إلا التوسعة على كل أحد من غير تكلف ليجمع بين أداء العبادة ورفع الحرج والكلفة

“Yang dimaksudkan Nabi –صلى الله عليه وآله وسلم- sesungguhnya adalah memberikan kelapangan pada setiap orang, tanpa pembebanan, agar ibadah tertunaikan, sekaligus menghindari kerepotan dan beban.”

Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengomentari hal ini:

ومعلوم أن رفع الحرج والكلفة فى الحواضر اليوم إنما هو فى دفع المال لا فى إخراج الحب بالنسبة لكل من الآخذ والمعطي كما أن العلة التي من أجلها أمر الشارع بإخراج الطعام وهي قلة النقود وعدم تيسرها للجميع قد زالت فوجب أن يدور الحكم مع العلة وينتقل إلى الأسهل الأيسر وهو المال الذي هو أيضا الأصل فى دفع الزكاة.

“Jelas bahwa menghindari kerepotan dan beban untuk masa sekarang adalah dengan memberikan uang, bukan memberikan biji-bijian. Kemudahan ini berlaku untuk penerima (mustahik) dan juga pemberi (muzakki). Di samping itu, ‘illah (sebab) yang oleh karenanya Rasulullah memerintahkan untuk memberikan makanan (dalam zakat fitrah) -yaitu karena jarangnya uang di masa itu dan tidak mudah diperoleh oleh semua orang- sudah tidak ada lagi di masa sekarang. Maka semestinya hukum beredar sesuai dengan ‘illah-nya dan berpindah kepada sesuatu yang lebih mudah dan ringan yaitu harta, yang juga merupakan asal dalam pembayaran zakat.”

Keempat, ketika Rasulullah –صلى الله عليه وآله وسلم- menjelaskan bahwa zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk korma, gandum, dan sebagainya, tidak berati beliau membatasinya pada jenis yang disebutkan itu saja. Dengan kata lain, Rasulullah tidak mengatakan, “Zakat fitrah tidak boleh dikeluarkan dengan sesuatu yang lain (selain jenis yang disebutkan).” Yang beliau sebutkan justeru ‘illat-nya yang lebih menjurus kepada ‘harta’, bukan ‘zat’ dari bahan yang dizakatkan.

Ini diperkuat oleh berbagai riwayat bahwa ternyata para sahabat juga mengeluarkan zakat dari jenis yang lain (selain yang disebutkan di dalam hadis Ibnu Umar di atas), seperti as-sult (sejenis gandum tapi berbeda dengan sya’ir yang disebutkan secara tegas di dalam hadis).

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib –رضي الله عنهما- juga menerima ‘urudh (benda) sebagai zakat. Bahkan ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah di masa itu, sebagaimana dikatakan oleh seorang ulama tabi’in ; Abu Ishak as-Sabi’i –رحمه الله-. Ia berkata:

أدركتهم وهم يعطون فى صدقة الفطر الدراهم بقيمة الطعام

“Saya mendapati mereka memberikan zakat fitrah dalam bentuk dirham; senilai dengan makanan.”

Karena Abu Ishak as-Sabi’i termasuk generasi tengah tabi’in (من الطبقة الوسطى) dan ia bertemu dengan Ali serta beberapa sahabat yang lain, tentu yang ia ceritakan di sini adalah sesuatu yang berlaku di masa sahabat dan tabiin.

Kelima, dalam kaidah ushul disebutkan:

مراعاة المقاصد مقدمة على رعاية الوسائل

“Menimbang maksud dan tujuan lebih diutamakan daripada menimbang sarana dan media.”

Bukankah tujuan dari zakat fitrah adalah membuat fakir-miskin di hari ied berada dalam kecukupan sehingga mereka tidak perlu meminta-minta di hari yang penuh bahagia itu? Jika demikian, manakah yang lebih bisa membuat mereka berkecukupan di hari itu, bahan makanan (korma, gandum, beras dan seterusnya) atau uang yang bisa mereka belanjakan sesuai dengan kebutuhan mereka dan keluarga mereka?

Ini beberapa dalil dan argumentasi dari para ulama yang membolehkan zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk uang dari sekian banyak dalil yang tidak mungkin diuraikan satu persatu dalam ruang terbatas ini.

Sekarang timbul pertanyaan. Kalau memang zakat fitrah boleh dibayarkan menggunakan uang, apakah yang dijadikan patokan adalah kadar zakat yang ditetapkan oleh mazhab Hanafiyyah atau mazhab Syafi’iyyah? Apakah tidak disebut talfiq seseorang yang menjadikan mazhab Hanafiyyah sebagai dasar kebolehan memberikan zakat fitrah dalam bentuk uang, tapi ketika akan dikonversi kepada uang ia menggunakan takaran yang ditetapkan mazhab Syafi’iyyah?

Dalam hal ini kita bisa mengacu kepada apa yang ditetapkan oleh Darul Ifta` Mesir, dimana yang dijadikan patokan dalam menentukan nominal uangnya tetap kadar zakat fitrah menurut mazhab Syafi’iyyah yaitu bahan makanan yang dominan di sebuah negeri (غالب قوت أهل البلد). Fatwa terbaru dari Mufti Mesir, nilai zakat fitrah di Mesir adalah sejumlah LE 15 yang merupakan harga dari 2.5 kg gandum yang menjadi bahan makanan mayoritas masyarakat Mesir.

Berarti kalau untuk Indonesia, karena bahan makanan yang dominan adalah beras maka zakat fitrahnya adalah harga 3.5 liter atau 2.5 kg beras (kita ambil patokan maksimal) dalam rupiah. Tentu nominal pastinya bisa merujuk kepada keputusan MUI setempat.

Jadi yang diambil dari pendapat Hanafiyyah dan para ulama di atas adalah kebolehan zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk uang, bukan takaran zakatnya. Wallahu a’lam .

تقبل الله منا ومنكم

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post