Achmad Junaidi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
GURU SANG USWAH

GURU SANG USWAH

Guru Sang Uswah (Teladan)

Oleh Achmad Junaidi Alfaruqi Almadury SMAN 1 Sumenep

Selamat jalan wahai bulan penghulu para Rasul. Kehadiranmu sangat dirindukan dalam setiap sanahnya. Engkau yang mengingatkan tentang sosok yang wajib untuk dikenang. Sang jagat bersinar terang penuh kegembiraan menyambut kelahiran Sang Guru yang terpilih. Sang uswah sepanjang masa yang tidah pernah habis untuk diteladani oleh berbagai generasi dan zaman. Wahai kekasih, salam sejatera bagimu kiranya rahmat Allah SWT selalu tercurah padamu.

Namun, sudahkah kita meneladaninya? Adakah kita sebagi guru teranugrah untuk meneladani Sang Guru? Guru yang mana?

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab: 21, kira-kira maknanya: “Niscaya sungguh ada dalam diri Rasulullah SAW bagi kalian (lakum) teladan yang baik (Uswatun Hasnah) bagi orang-orang yang mengharap Allah SWT, Hari yang Akhir dan mengingat Allah yang banyak

Pada surat Al-Ahzab: 21 ini, Allah SWT menjelaskan kata “lakum (bagi kalian)” dijelasakan dengan kalimat berikutnya yang merupakan badal (pengganti) atau bayan (penjelasan) yang merupakan tiga indikator dari orang-orang dianugrah meneladani Rasulullah SWA. Ketiga indikator tersebut yaitu:

1. Mengharap Allah SWT

Indikator yang pertama, orang yang dianugerah Allah SWT untuk meneladani Rasulullah SWA adalah orang-orang yang beribadah semata mengharap ridla Allah SWT. RidlaNya menjadi konsentrasi dalam setiap ibadahnya. Setiap ibadahnya dihklaskan untuk Allah SWT. Terdapat 3 derajat ihklas yakni ihklasul abidin, ihklasul muhibbin, dan ihklasul arifin.

Bagi abidin, melalui ibadahnya disamping ditujukan untuk Allah SWT, ia juga ingin mendapatkan bonus sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT melalui Rasulnya. Misalnya “Ummi Habibah R.A berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda : Allah SWT pasti mengharamkan api neraka bagi orang yang menjaga empat rakaat sebelum dan setelah Dzuhur. (HR. Ahmad)". Ketika seorang muslim menjaga atau selalu melaksanakan Sunnah Qabliyah dan Ba'diyah Zhuhur dengan mengharapkan supaya dijaga oleh Allah SWT dari Api neraka seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut, dia berada pada tingkatan yang pertama yaitu Ikhlasul 'Abidin.

Bagi muhibbin, ibadahnya didasarkan rasa cinta kepada yang tercinta (Almahbub) yakni Allah SWT sebagaimana Allah SWT bersifat Arrahman, Dia cinta kepada setiap hambanya, entah seorang hamba itu mengingkarinya ataupun tunduk kepadanya. Karena kecintaan itulah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah SWT (Almahbub). Seorang Rabi’ah Al Adawiyyah, kecintaannya kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktivitasnya, bukan lagi karena takut siksa neraka atau nikmat surga. Di dalam jiwanya tidak ada ruang kosong yang tersisa untuk diisi dengan rasa cinta kepada makhluk maupun benci terhadapnya. Dalam doanya ia berucap “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima, hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih, Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang aku akan lakukan. Selama Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu, telah memenuhi hatiku”. Ketika seorag muslim, kecintaannya kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala ibadahnya, bukan lagi karena takut siksa neraka atau nikmat surge maka dia berada pada tingkatan yang kedua yaitu Ikhlasul Muhibbin.

Bagi arifin, ibadahnya tidak lagi karena dorongan diri semata baik karena ingin sesuatu dari Allah SWT atau karena cinta akan tetapi segalanya dinisbahkan kepada Allah SWT. Tiada lagi peran dirinya dalam setiap ibadahnya. Ia memiliki perasaan bahwa dirinya digerakkan Allah SWT. Ia merasa yang beribadah itu bukanlah dirinya. Ia hanya sedang menyaksikan Allah SWT dan digerakkan oleh Allah SWT. Ia berkeyakinan bahwa tiada memiliki daya dan upaya untuk melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan melainkan semata atas daya dan upaya Allah SWT. Semuanya berjalan atas kehendak Allah SWT. Dalam jalannya tampak Allah SWT, dalam senyumnya tampak Allah SWT, dalam ibadahnya tampak Allah SWT, dalam ajarnya tampat Allah SWT dan dalam segala aktifitasnya tampak Allah SWT. Seorang muslim, ketika tiada lagi peran dirinya dalam setiap ibadahnya maka dia berada pada tingkatan yang ketiga yaitu Ikhlasul Arifin.

2. Berorientasi pada Hari yang Akhir (Akhirat)

Indikator yang kedua, orang yang dianugerah Allah SWT untuk meneladani Rasulullah SAW adalah orang-orang orientasi hidupnya untuk jangka panjang (Akhirat). Orang yang sehat hatinya, dia lebih mengutamakan akhirat daripada kehidupan yang jangka pendek (dunia). Dunia dijadikan sebagai tempat berlalu dan mencari bekal untuk akhirat yang kekal. Ia senantiasa mempersiapkan diri beribadah ikhlas kerena Allah SWT karena Ia pasti mati, pasti sirna, pasti menghuni kubur dan pasti kembali ke akhirat.

Salah satu pertanda seorang yang orientasi hidupnya akhirat adalah segera merespon terhadap ibadah. Ketika panggilan ibadah itu telah dikumandangkan maka dengan segera Ia membatalkan dan menanggalkan segala aktifitasnya menuju panggilan ibadah itu.

Dalam surat Al Muzamml: 8 Allah SWT berfirman” Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepadanya dengan sepenuh hati”. Di ayat ini digunakan kata “ watabattal ilaihi”. Kata “tabattala” berasal dari kata “batala” yang berarti batal. Battala bermakna membatalkan atau menanggalkan segala aktifitas kemudian menuju ibadah yang telah diserukan.

3. Mengingat Allah SWT yang banyak.

Indikator yang ketiga, orang yang dianugerah Allah SWT untuk meneladani Rasulullah SWA adalah orang yang senantiasa berdzikir. Mengingat (berdzikir) Allah sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati dengan baca al-Qur’an, bermunajat dengan menyebut asma-asmanya yang indah serta mengamalkan ketaatan. “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’du: 28).

Berdzikir mencakup dua hal, yang pertama zikrul makmurat wal manhiyat, yakni berdzikir kepada Allah SWT melalui hal-hal yang diperintahkan dan yang terlarang. Setiap perintahnya dikerjakan semampunya sedangkan seluruh larangannya ditinggalkan dan ditanggalkan. Yang kedua zikrul madzkurat, yakni berzikir kepada Allah dengan menyebut asma-asmaNya yang agung.

Zikir mempunyai dua kekuatan, yakni Qowiyun Nuriyyah (kekuatan nur) dan Qowiyun Nariyah (kekuatan api). Qowiyun Nuriyyah adalah kekuatan zikir yang membuat ahli zikir yang diliputi oleh cahaya ilahiyyah, dari wajahnya memancar kedamaian, ketentraman, dan kesejukan. Gerak geriknya memancarkan teladan dan tercerahkan bagi sekelilingnya. Qowiyun Nariyah adalah kekuatan zikir yang mampu membakar dosa dan kesalahnnya. Dosa-dosa dan kesalahan terhapuskan oleh zikir-zikir dan munajatnya kepada Allah SWT.

Dengan demikian, seorang guru yang telah dianugrah Allah SWT meng-uswah Rasulullah SAW adalah mereka yang senantiasa menghadapkan setiap kegiatan, aktifitas, dan bahkan ibadahnya semata untuk Allah SWT, mengorientasikan kehidupannya kepada akhirat, dan menyuburkan zikir dalam setiap derap langkahnya. Selamat meneladani!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga kita menjadi guru yang taat kepada Allah Swt Dan Rasulnya.

21 Mar
Balas



search

New Post