Achmad Junaidi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
GUBUK PENCENG DIATAS SAMUDERA SYUKUR

GUBUK PENCENG DIATAS SAMUDERA SYUKUR

MENYELAM DI SAMUDERA SYUKUR DIBALIK SEBUAH GUBUK PENCENG

Oleh:

Achmad Junaidi Alfaruqi

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ

“Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hambaMu (Adam) dan anak hamba perempuanMu (Hawa). Ubun-ubunku di tanganMu, keputusan-Mu berlaku padaku, qadhaMu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepadaMu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diriMu, yang Engkau turunkan dalam kitabMu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhlukMu atau yang Engkau khususkan untuk diriMu dalam ilmu ghaib di sisiMu, hendaknya Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka dan kesedihanku,(HR. Ahmad 1/391)”

Bismillahirrahmanirrahim.

Alkisah, tersebutlah seorang petani di sebuah desa terpencil Pak Karim sebutan nama petani itu. Setiap pagi, usai sholat dhuha dia meladang di sawahnya. Disamping meladang, dia sering merumput ke tempat nun jauh di sana tidak dekat dari rumahnya untuk menyediakan pakan ternak sapi-sapinya. Apalagi jika musim kemarau, harus dia lakukan demi sapi-sapinya walaupun harus menjelajah desa demi desa dan bukit demi bukit.

Hari itu suasana sangat cerah, matahari bersinar terang, cuacapun sangat bersahabat, dia berangkat mencari rumput ke suatu bukit yang tidak dekat dari rumahnya. Tampak dari kejauhan ada sebuah gubuk penceng yang masih tertancap di bukit itu, walaupun kondisinya tidak seberapa baik dan sangat sederhana. Hatinya tergerak ingin tahu ada apa gerangan dibalik gubuk itu. Penuh penasaran, dia mendekati gubuk itu, dia pun mengucapkan salam. “Assalamualaikum, ada orang di dalam kemah”, Pak Karim menegur! . “Waalaikum salam warahmah”, demikian sahutan penuh serak dari gubuk itu. “ada, siapa Sampeyan, silakan masuk”. Dengan lega Pak Karim masuk ke gubuk itu, dan rasa kaget, heran, dan penuh iba dia menyaksikan penghuni gubuk penceng itu. Yah, buntung kedua tangannya dan bahkan buta. Ia seorang diri menghuni gubuk itu. Mulutnya dengan lembut berkomat kamit mengeluarkan kalimat ’Alhamdulillah”. Kalimat ini, seakan menjadi makanannya detik perdetik dalam setiap nafasnya. Pak Karim makin penasaran, dia pun ingin tahu mengapa ia sendirian di gubuk yang penceng nan sederhana itu. Pak, kenapa panjenengan sendirian disini, dan kenapa panjenengan kok selalu berucap “Alhamdulillah”. Padahal panjenengan ini seorang yang buntung, buta, dan seorang diri lagi di bukit ini. Dimana keluarga panjenengan?.

Perhatian pak Karim sangat fokus kepada bapak itu, namun pertanyaan pun tak segera terjawab, ada keheningan seakan memberikan waktu buat pak Buntung merasakan kenikmatan atas datangnya orang baru di gubuknya. Sampeyan kan telah menyaksikan keadaanku ya….. seperti ini, maukah sampeyan membatuku? Bantuan apa….?, sahut pak Karim. Pertanyaan saya belum panjengan jawab, ayo jawab dulu pertanyaan saya. Rasa penasaran pak Karim semakin meluap, keingintahuannya tentang pak Buntung itu sudah tek terbendung lagi. Tujuannya untuk merumput kini telah sirna oleh pertemuannya dengan pak Buntung. Jawab dulu pertanyaan saya, baru saya akan bantu panjenengan. Si Buntung pun berkisah tentang kondisi dirinya. Pak Karim tidak ingin melewatkan sepatah katapun yang keluar dari mulut si Buntung sia-sia.

Aku ini seorang guru ngaji, namaku pak Dhafir, Kyai Dafir murid-muridku memanggilku. Aku disini tinggal dengan seorang bocah 14 tahun keponakanku. Dialah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Seluruh keluargaku telah meninggal karena erupsi gunung. Rumah dan langgar tempat ku mangajar semuanya ludes dihanyut oleh lahar. Dengan telaten kubuat gubuk ini, ala kadarnya bersama keponakanku, kubiarkan gubukku ini peceng. Aku sangat menyukai gubukku ini, itulah kenapa aku selalu melafazkan “Alhamdulillah” dalam setiap nafasku. Pak Karim terfana dengan kisah pak Buntung itu. Berlinang air matanya, menahan iba atas penderitaan si Buntung itu.

Pak Dhafir melanjutkan kisahnya. Allah telah menganugrahi saya pikiran, dengan pikiran ini saya dapat merenungkan betapa nikmat dan karuniaNya sangat melimpah bagi manusia, terutama bagiku. Sementara di luar sana tidak sedikit orang yang gila, mereka tidak bisa apa-apa bahkan menyadari dirinya pun tidak mampu. Akupun selalu berucap “Alhamdulillah”. Oh iya benar! timpal pak Karim. Allah menganugrahi aku pendengaran, dengan pendengarankku aku merasakan kehadiran sampeyan, aku pun dapat mendengarkan adzan maka akupun penuhi panggilanNya untuk sholat dan beribadah, sementara di luar sana tidak sedikit orang tuli yang tidak bisa lakukan apa-apa, atau mungkin ada orang yang pendengarannya normal akan tetapi enggan menjawab panggilanNya untuk menyambut panggilanNya. Maka akupun berucap “Alhamdulillah” dalam setiap nafasku. Oh iya benar! Begitulah sahut pak Karim tanda setuju dengan kisahnya. Bapak, Allah telah menganugrahi aku lisan, dengan lisanku ini aku berdzikir, aku dapat berbagi rasa dengan sampeyan. Aku dapat menyampaikan setiap keinginan saya kepada ponakanku dan sampeyan dengan pesan lisanku ini. Namun, di luar sana tidak sedikit orang yang bisu, bisu tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara aku, masih merasakan nikmat lisanku, akupun berucap “Alhamdulillah”. Pak Karim semakin tidak mengerti dengan kisah pak Buntung yang buta ini, namun kekagumannya semakin melelehkan ia bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Semakin terkesimak dan semakin terkesimak pak Karim menikmati kisah pak Dhafir.

Bapak, saya sangat bersyukur kepadaNya, saya menjadi mukmin dan muslim. Dengan kondisiku ini aku merasakan ketentraman dan kedamaian. Aku telah merasakan lezatnya hidup ini, dan saya yakin Allah Maha Penyayang yang akan setia kepada setiap hambaNya yang mukmin dan muslim, janjiNya tidak akan pernah alpa, Allah bersama dengan orang-orang sabar. Allahlah yang mengatur dan menata nasib setiap hambaNya. Sementara di luar sana, tidak sedikit orang yang ingkar, kafir, dan hidupnya penuh dengan kebimbangan. Kekafirannya membuat mereka terobang ambing dan gelisah, mereka melihat hidup ini adalah surga, surga itu adalah dunia maka mereka pun tidak pernah puas dengan dunia, kekecewaan dengan dunia semakin membuat mereka jauh dari TuhanNya. Atau bahkan mereka bangga dengan usaha dan kemampuannya, meraka telah kalab menganggap setiap kesuksesan dan keberhasilan yang diraihnya karena dirinya. Padahal, tak satupun daun berjatuhan dari tangkainya melainkan telah tercatat dan tertulis dalam kitabNya. Alasan apa lagi yang akan memberatkanku untuk tidak melafazkan ‘Alhamdulillah”.

Pak Karim kini semakin hanyut dalam lamunannya dan imajinasinya, tersedu-sedu mulutnya meratapi dan mengagumi kisah pak Dhafir yang buntung dan buta itu. Hatinya terasa hancur, teriris merasakan nasib si Buntung, namun dia menganggap dirinya bagai air dan bara dibandingkan dengan si Buntung dan si Buta penghuni gubuk penceng itu. Kekagumannya kepada pak Dhafir tak terbendung, hati kecil pak Karim berucap sungguh tangguh pribadi orang ini, bagi orang ini sepahit apapun musibah rasanya manis dan sekecil apapun suatu nikmat rasanya melimpah. Tiga puluh menit sudah ia terdiam dalam lamunannya, ia pun ditegur oleh pak Dhafir. Bapak! Ayo….! Bukankah bapak berjanji akan menolong aku. Sontak pak Karim sadar dari lamunannya. Oh iya, maaf! Baik bapak, ucap pak Karim, memangnya bantuan apa yang diingakan panjenengan. Keponakanku tadi pamit kepadaku, hendak mengambikan air wudhuk, dialah yang selalu membantuku mencarikan air beristinjak dan berwudluk. Sudah sekian lama dia pergi, tapi tak kunjung pulang aku kawatir takut terjadi apa-apa dengan dia. Aku tak punya daya untuk mencarinya, jika bapak berkenan tolong temukan dia, dia satu-satunya yang kupunya.

Pak Karim hanya berucap iya. Tanpa pikir panjang, ia beranjak dari si Buntung. Selama di perjalanan dan pencarian itu, pak Karim bingung tak tahu harus kemana ia mencarinya. Dengan sabarnya ia menyapa setiap orang yang ditemuinya dan tidak bosan menanyai kalau berjumpa dengan seoarang bocah seumuran 14 tahun. Akhirnya pak Karim tiba di suatu lembah yang dekat dengan telaga, disana lalu-lalang burung elang. Kini pikirannya mulai tidak karuan, jangan-jangan jangan-jangan, biasanya kalau banyak burung elang disitu ada makanan (daging)….! Pak Karim mendekati kerumunan elang itu, dan “innalillahi wainna ilaihi rajiun” tubuh bocah itu telah tercabik-cabik oleh kerumunan elang itu. Hati pak Karim sedih teringat dengan pak Buntung. Aduh lengkaplah penderitaan pak Buntung guman pak Karim.

Pak Karim telah menemukan keberadaan si bocah 14 tahun itu, ia ingin segera menyampaikan kabar itu pada pak Buntung. Namun, dalam perjalanannya ia tak tahu harus bagaimana caranya memberi tahu kabar itu kepada pak Buntung. Terlintas dalam benaknya kisah Nabi Ayyub AS, pikirannya mencoba menghibur kaitannya dengan penderitaan Nabi Ayyub AS. Ia telah menemukan secercah alasan yang akan diungkap. Kini ia telah berada di depan kemah itu, terkejut ia mendapati sapaan pak Buntung, mana ponakanku sudah ditemukan kah? Ponakanku ditemukan? Ponakanku ada? Pak Karim kemudian masuk ke gubuk itu, dicermatinya keadaan penghuni gubuk dan gubuk penceng itu ternyata kondisinya tidak berubah. Berat sekali bibir hendak berucap, gemetar hati hendak berkesah, dan bingung pikir ini hendak merangkai kata. Itulah kondisi pak Karim yang duduk di depan si Buntung. Namun kata-kata pun harus berurai. Bapak, siapakah yang lebih dicintai Allah panjenengankah atau Nabi Ayyub? Nabi Ayyub, jawab pak Buntung. Bapak, siapakah yang lebih sabar menerima penderitaan, Nabi Ayyubkah atau panjenengan? Nabi Ayyub, jawab si Buntung. Bagai disambar petir, pak Buntung terhenyak, seketika lafadz “Ahamdulillah” yang senantia terucap di bibirnya tergantikan dengan kalimat ‘Lailaha illallah”. Lafadz tauhid itu semakin deras dan semain kencang. Pak Buntung tersedak-sedak, lafadz ‘Lailaha illallah” semakin lirih dan lirih tersungging dari bibir si Buntung. Pak Buntung telah menghadap kekasihNya memenuhi panggilanNya dengan kalimat pamungkas “Lailaha Illallahu Muhammad Rasulullah”. Dan iapun tersimbah di haribaan pak Karim. Innalilahi wainna ilaihi rajiun, kalimat ini terurai dari mulut pak Karim, lengkaplah iba dan empati pak Karim kepada si Buntung.

Dengan pertolongan tiga orang yang melintas di dekat gubuk peceng itu pak Karim meminta bantuan mereka bersama menggotong ke rumahnya. Pak Karim bersama tetangganya bergotong royong mengerumat jenasah mulai dari pemandian, pengafanan, penyolatan hingga pemakamannya. Seorang Kyai membacakan talqin disamping kuburan almarhum, diakhir prosesi penguburan itu pak Karim berdiri tegap disamping pak Kyai menyampaikan pesan atas nama shohibul mushibah.

Saudara-saudaraku: Nabi SAW berpesan kepada kita, sabda beliau:

” إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهْ.”

“Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka”

Saudaraku, saya bertemu dengan almarhum dalam sebuah gubuk penceng sederhana. Terkesan bagai mimpi, namun pertemuannku dengannya sangatlah bermakna. Aku sangat bersyukur, Allah pertemukan dengan nambaNya yang mulya ini. Melalui Almarhum inilah saya temukan samudera syukur yang takkan pernah sirna. Dia mengajarkan akan keihklasan, kesetiaan dan kesyukuran, padahal dirinya seorang yang lemah nan menderita. Yah bagi sebagian orang, ia seorang yang tidak berdaya. Tapi sebenarnya ia adalah seorang yang perkasa. Kepahitan terasa indah dan manis sementara baginya kenikmatan adalah ujian yang harus disyukuri. Dialah samudera syukur yang tak berujung segalanya berhulu pada keihklasan dan kesabaran.

Saudaraku, kesyukuran menghendaki tiga hal yaitu pengakuan, penyebutan, dan ketaatan. Orang yang bersyukur senantiasa menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala. Ia senantiasa menyadari bahwa hanya atas takdir dan rahmat Allah semata lah nikmat tersebut bisa diperoleh. Sedangkan orang yang kufur nikmat senantiasa lupa akan hal ini, bahkan ia melakukan pembenaran dan pengakuan atas kiat dan upaya dirinyalah kesuksesan ini diraih. Ingatlah, dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata,

مُطِرَ النَّاسُ على عهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أصبحَ منَ النَّاسِ شاكرٌ ومنهم كافرٌ قالوا هذهِ رحمةُ اللَّهِ وقالَ بعضُهم لقد صدقَ نوءُ كذا وكذا

“Ketika itu hujan turun di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Nabi bersabda, ‘Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata, ‘Inilah rahmat Allah.’ Orang yang kufur nikmat berkata, ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.73).

Saudaraku, mungkin kebanyakan kita lebih suka dan lebih sering menyebut-nyebut kesulitan yang kita hadapi dan mengeluhkannya kepada orang-orang. “Saya sedang sakit ini.” “Saya baru dapat musibah itu..” “Saya kemarin rugi sekian rupiah..”, “ Aduh saya tidak lulus” dll. Namun sesungguhnya orang yang bersyukur itu lebih sering menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah berikan. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya” (QS. Adh-Dhuha: 11).

Namun tentu saja tidak boleh takabbur (sombong) dan ‘ujub (merasa kagum atas diri sendiri), memamerkan kesuksesannya secara berlebihan di depan orang lain. Kesederhanaan dalam menyikapi keberhasilan sebagai wujud dari kwalitas diri yang terus menempa diri menatap hari esok yang lebih berarti.

Saudaraku, sungguh aneh jika ada orang yang mengaku bersyukur, ia menyadari segala yang ia miliki semata-mata atas keluasan rahmat Allah, namun di sisi lain melalaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya, ia enggan shalat, enggan belajar agama, enggan berzakat, memakan riba, dll. Haruslah syukur adalah taat, dan taat dan syukur. Kemenangan dan kesuksesan kaum muslimin dalam peperangan badar menghantarkan mereka semakin taat dan bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Ali Imran: 123).

Saudara-saudaraku, terima kasih semuanya, semoga Allah mengampuni segala khilaf dan salahnya, memasukkan kepada kelompok hamba-hambaNya yang diridloi, dan menempatkannya di di surganya. pak Karim menutup wasiatnya.

Sebagaimana layaknya budaya di desa itu, pak Karim bersama warga mengadakan tahlilan bersama setiap bakda sholat Isya’. Tak biasanya, masyarakat tumpah ruah mendoakan Almarhum. Nampak sekali karomah, masyarakat bahu-membahu seakan terbius oleh kemulyaan Almarhum. Kini, di akhir malam tahlilan hari ke tujuh, tepatnya di malam Jumat pak Karim larut dalam tidur malamnya, ia bermimpi menyaksikan si Buntung dalam mimpinya berada di taman surga mengenakan dua lembar kain dari surga seraya membaca firman Allah

سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ (الرعد:24

“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Qs. 13:24).

Lalu saya berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?” Ia berkata, “Benar.” Aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua.” Ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tenteram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan sendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai.”

Tersadarkan dari tidur mimpinya, pak Karim lega selega pak Dhafir disana di surgaNya. Ia pun bertekat bulat meneladani pak Dhafir. Dari mulutnya pun berucap:

الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. الحَمْدُ للهِ الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَق تَفْضِيْلاً

“Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia”

Walhamdulillahi Robbil ‘Alamin. #Semoga bermanfaat!#

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

menyentuh qolbu, terimakasih cerita inspiratifnya. semoga banyak cerita yang Bapak bagi.

24 Mar
Balas



search

New Post