Achmad Junaidi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MENYERUAK KESANTRIAN  “ROMI”

MENYERUAK KESANTRIAN “ROMI”

MENYERUAK KESANTRIAN “ROMI”

Oleh: Achmad Junaidi Alfaruqi Almaduri

“Innalilahi wainna ilaihi rajiun” Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kepadaNya kita kembali. Bermula dari ketidakpercayaan, kok bisa! Aduh, kasihan! Ah …. masa iya ya! Tidak percaya, tidak mungkin. Beginilah ungkapan hati menyaksikan seorang politisi kawakan seorang santri yang sangat kental dengan dunia pesantren. Sosok yang akrab dengan penguasa dan yang sangat dekat dengan ulama karismatis Mbah Maimun Zubair yang jagat maya dihebohkan dengan “doa yang tertukar” harus berurusan dangan KPK.

Tulisan ini mencoba mengulas sedikit penanaman pendidikan nilai dan mental yang ditempa di pesantren. Sebagai seorang santri, tentunya Romi tertenpa sejak awal dengan dua hal, yakni jiwa kesantrian dan jiwa kepimpinan yang merupakan kombinasi yang seharusnya, semestinya dan senantiasa berjalan linear. Melalui pendidikan pesantren ditanamkan pendidikan nilai dan mental yang akan menempa dan mempengaruhi setiap orang yang berlatar belakang santri yang kelak akan menjelma menjadi seorang peminpin yang menjadi uswah (ideal).

Sedikitnya ada tiga nilai yang ditanamkan pada para santri yang akan menjadi bekal mereka untuk terjun di masyarakat (dunia kepemimpinan):

1. Nilai keihklasan

Ikhlas adalah kesediaan mengemban amanah tanpa pamrih dan tidak tergiur oleh sesuatu yang bermuara pada pemuasan materi, kekayaan, jabatan, dan kedudukan. Yang disasar oleh ikhlas adalah upaya mentauhidkan Allah SWT dalam setiap aktifitasnya dan kemaslahatan umum dan masyarakat. Ikhlas identik dengan kometmen untuk tidak terpengaruh oleh subyektifitas yang senantisa datang-pergi, dan tiada henti menggoda. Ikhlas bermakna tetap komited pada objektifitas dan visi besarnya, tidak goyah dan berubah kebijakan sekalipun umpatan, hujatan, hinaan, dan cemoohan yang menerpanya. Ikhlas memaksanya untuk tetap adil dan arif memperlakukan orang yang menyanjungnya dan memujinya. Ikhlas menempatkan seseorang tetap istiqomah berpihak kepada “Yang benar adalah benar Yang salah adalah salah” sekalipun berasal dari golongannya atau musuhnya. Imam Ibnu Hazm menasihati para pemimpin:

مَنْ تَصَدّرَ لِخِدْمَةِ الْعَامَّةِ فَلَا بُدَّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِبَعْضٍ مِنْ عِرْضِهِ علَى النَّاسِ٬ لِأَنَّهُ لَا مَحَالَةَ مَشْتُوْمٌ٬ وَإِنْ وَاصَلَ اللَّيْلَ بِالنَّهَارِ.

“Barang siapa yang mengemban amanah melayani publik (memimpin), dia harus rela menyedekahi sebagian kehormatannya -yang akan tercoreng-, karena ia pasti akan menuai cacian, walaupun bekerja sepanjang siang dan malam.”

2. Nilai Hikmah

Salah satu pengertian hikmah, sebagaimanan yang diujarkan Dr. Shaleh ibn Abdullah ibnu Humaid (dalam Mafhum al-Hikmah fi al-Da’wah) bahwa kata al-hikmah berasal dari kata al-hakamah, tali tali kekang binatang yang dengannya orang bisa mengendalikan hewannya sesuai dengan keinginannya. Tali kekang (hikmah) adalah kendali ilmu yang memaksa ilmu tidak diawang-awang, melainkan diterapkan, teraplikasikan dan dilaksanakan. Ketika ilmu dan amal seiya dan sekata maka disilah hikmah telah lahir. Sebagaimana ta’rif dari hikmah adalah:

مُوَافَقَةُ الْعِلْمِ الْعَمَل “Kesesuaian antara ilmu dan pengamalannya.”

Salah satu kekutan dari hikmah adalah kemampuan untuk membentuk integritas personal dan kolektif, mampu menjalankan kepemimpinan secara efektif dengan menghadirkan kesesuaian antara teori dan praktek. Menyatukan ilmu dan amal bukanlah perkara mudah, selalu ada tantangan berupa godaan untuk sekali-sekali tidak konsisten pada ilmu pengetahuan dan suara hati nurani. Santri ditempa untuk menyatukan dua hal itu dalam sebuah keselarasan dalam satu tarikan nafas.

3. Kejemaahan (Kolaborasi )

Kolaborasi dimakna semangat kejemaahan dari dua orang tau lebih dalam membangun kerjasama untuk tujuan tertentu. Semangat ini terbina dan membudaya dalam tradisi pesantren, yakni semangat untuk selalu bersama dalam kebaikan. Nilai terpenting dari semangat ini adalah sebagai seorang pemimpin dituntut untuk menciptakan perpaduan dan sinergi seluruh elemen dalam tubuh organisasi, menggali semua potensi dan menempatkannya pada tempat terbaik agar melahirkan kinerja optimal. Untuk itu dalam riwayat Abu Daud Nabi SAW Bersabda:

إِنّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

“Sesungguhnya Allah SWT dalam setiap abad selalu mengutus orang (pemimpin) yang akan memperbaharui agamaNya”(HR. Abu Daud).

Sebagai seorang politisi yang berlatar belakang santri, semestinya seorang politisi memegang erat-erat tiga nilai itu apapun situasi dan kondisinya. Ia harusnya menjadi teladan bagi para politisi lainnya dalam mengelola Negara dan bangsa. Ketiga nilai itu, sejalan dengan bertambahnya waktu haruslah semakin terasah, semakin kuat, bukan semakin lemah dan semakin habis oleh hingar binger kekuasaan dan godaan materi. Ketika ketiga nilai itu telah tergerus, maka pada awalnya pengabdian mengatasnamakan rakyat. Namun, ketika mendapatkan kursi panas, janji tinggallah janji. Mulanya merupakan sosok yang kenal agama, karena kekuasaan, hidup glamor yang jadi prioritas, bahkan agama pun dikorbankan demi ambisi kekuasaan. Inilah hingar binger kekuasaan, realita yang terjadi pada para penggila kekuasaan. Benarlah kata Rasul kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa kekuasaan bisa jadi ambisi setiap orang. Namun ujungnya selalu ada penyesalan. Beliau bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ

Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari no. 7148).

Oleh karena itu, seorang politisi harusnya diajukan bukan mengajukan. Ketika mengajukan diindikasi ia seseorang yang lemah. Seorang yang lemah harus dijauhkan dari kepemimpinan karena kepemimpinan adalah amanah. Dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar,

قُلْت يَا رَسُول اللَّه أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي ؟ قَالَ : إِنَّك ضَعِيف ، وَإِنَّهَا أَمَانَة ، وَإِنَّهَا يَوْم الْقِيَامَة خِزْي وَنَدَامَة إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

“Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau enggan mengangkatku (jadi pemimpin)?” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Engkau itu lemah. Kepemimpinan adalah amanat. Pada hari kiamat, ia akan menjadi hina dan penyesalan kecuali bagi yang mengambilnya dan menunaikannya dengan benar.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini pokok penting yang menunjukkan agar kita menjauhi kekuasaan lebih-lebih bagi orang yang lemah. Orang lemah yang dimaksud adalah yang mencari kepemimpinan padahal ia bukan ahlinya dan tidak mampu berbuat adil. Orang seperti ini akan menyesal terhadap keluputan dia ketika ia dihadapkan pada siksa pada hari kiamat. Adapun orang yang ahli dan mampu berbuat adil dalam kepemimpinan, maka pahala besar akan dipetik sebagaimana didukung dalam berbagai hadits. Akan tetapi, masuk dalam kekuasaan itu perkara yang amat berbahaya. Mungkinkah ‘Romi” telah gagal mengemban terpaan nilai keikhlasan, amanah, dan kejemaahan? Wallahu A’lam Bissawab.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul pak, jangan pernah menganggap enteng amanah. Karena semua ada pertanggungjawabannya. Dan sudah rahasia umum dalam politik kondisi diatas apapun bisa terjadi. Semoga kita terlindungi dari situasi semacam ini.

17 Mar
Balas

Alhamdulillah dapat pecerahan, tulisan yang sangat menggugah. Mengangkat masalah santri dikaitankan dengan masalah faktual dalam bingkai agama. Terima kasih sudah menginspirasi. Semoga tidak ada lagi santri yang terpleset urusan korupsi. Sehat, bahagia, dan sukses selalu. Barakallah

16 Mar
Balas

Ulasan mantaps. Ketika politik yang mewarnai, amat sulit terdeteksi, semua serba mungkin sekaligus serba tak mungkin. Sukses selalu dan barakallah fiik

16 Mar
Balas

syukran, Semoga kita terlindungi!

16 Mar
Balas

Harusnya bukan romi pak yg mnjdi sampel, karena ada yg lbh afdol. Yaitu mantan menteri agama yg notabene nya sbg pemimpin agama di negeri ini. Dan kasusnya jauh lbh hebat dr romi. Sayangnya, tdk ada demo berjilid jilid. Hehe.. Syukron pak.. Bagus sekali tulisan ini.

19 Mar
Balas

Harusnya bukan romi pak yg mnjdi sampel, karena ada yg lbh afdol. Yaitu mantan menteri agama yg notabene nya sbg pemimpin agama di negeri ini. Dan kasusnya jauh lbh hebat dr romi. Sayangnya, tdk ada demo berjilid jilid. Hehe.. Syukron pak.. Bagus sekali tulisan ini.

19 Mar
Balas



search

New Post