Ade Priyono

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Sayang atau Tidak

Sayang atau Tidak

Kalimat diatas sering kita dengar ketika sepasang remaja yang sedang jatuh cinta sedang memastikan perasaan mereka satu sama lain. Tapi, saya tidak membahas sepasang remaja tadi karena masa itu sudah saya lewati puluhan tahun yang lalu. Kalimat ini terlintas dalam pikiran saya saat teringat kembali saat di Bulan Maret 2017 yang lalu satu mobil polisi memasuki sekolah kami. Biasalah kita selalu parno kalau polisi datang. munculah rasa kepo saya, ada apa?

Selang beberapa waktu barulah saya mengetahui tujuan dari Bapak-Bapak polisi mendatangi sekolah kami bertujuan mendata peserta didik kami yang membawa kendaraan bermotor. Di sekolah kami sebenarnya sudah sangat tegas dalam tata tertib sekolah dilarang untuk membawa kendaraan bermotor, namun peserta didik jauh lebih pintar dengan tetap membawa kendaraan bermotornya dan memakirnya diluar sekolah. Satu persatu kendaraan bermotor yang di parkir dimasukkan ke sekolah, kemudian Bapak Polisi mencatat satu persatu kendaraan bermotor sesuai dengan pemiliknya. Setelah dicatat semua kendaraan bermotor yang di bawa oleh peserta didik kami, kemudian oleh Bapak-Bapak Polisi diberikan arahan bahwa mereka tidak diperkenan membawa kendaraan karena masih dibawah umur dan tidak memilik SIM sebagai salah persyaratan untuk membawa kendaraan bermotor.

Dari peristiwa di atas patut kita pertanyakan siapa yang salah sebenarnya? Apa peserta didik kita atau orang tua yang membiarkan putra-putrinya membawa kendaraan bermotor ke sekolah atau siapakah yang lebih sayang kepada peserta didik, sekolah yang melarang atau orang tau yang memberikan kendaraan bermotor pada putra-putrinya? Sebagai orang tua tentu amat sayang kepada putra-putrinya, mereka akan berupaya sekuat tenaga bagaimana memenuhi apa yang diperlukan oleh putra putrinya. Namun apa yang dilakukan oleh para orang tua yang mengijinkan dan membiarkan putra-putri membawa kendaraan bermotor merupakan suatu penanaman mendidik yang salah. Kenapa dapat dikategorikan salah, mari kita analisis bersama, diantaranya: Pertama, secara tidak langsung para orang tua telah mengajarkan kepada putra-putrinya untuk tidak taat pada hukum. Dengan mengijinkan atau membiarkan putra-putrinya membawa kendaraan bermotor maka secara langsung orang telah mengajarkan untuk tidak taat hukum, coba kita bayangkan seandainya semua generasi muda sudah diajarkan untuk tidak taat hukum bagaimana kelak mereka memimpin negara ini. Kedua, sebagai kebanggaan yang kebablasan. Banyak orang tua yang sangat bangga kepada putra-putrinya yang sudah bisa menggunakan kendaraan bermotor. Ok kita bisa itu dianggap sebagai suatu kebanggaan ketika seorang anak memiliki ketrampilan dalam mengendarai kendaraan, namun apakah tetap menjadi kebanggaan ketika putra-putrinya mengalami kecelaakaan bahkan harus merenggang nyawa karena kelalain dan kecerobohan saat mengendarai kendaraan bermotor. Kita mungkin masih ingat bagaimana AQJ yang masih berusia 13 Tahun putra musisi ternama Ahamad Dhani sebagai penyebab terjadinya kecelaan yang menewaskan sedikitnya enam orang. Ketiga, ketidakstabilan emosi. Para orang tua seharusnya memahami bahwa putra-putrinya masih rentan dalam hal emosial. Anak-anak mudah sekali terpicu emosi walaupun hal yang sepele seperti: tesenggol dengan kendaraan lain, saling salip menyalip dan sebagainya. Ketidakstabilan emosional yang akan menyebabkan terjadinya kecelakaan dan membahayakan keselamatan pengendara motor lainnya.

Dari ketiga hal tersebut di atas sejogyanya para orang tua bisa melarang putra-putrinya untuk membawa kendaraan motor sendiri. Orang tua yang bijak seharusnya membiasakan putra-putrinya untuk; Pertama, melatih mandiri, dengan melarang putra-putrinya menggunakan kendaraan bermotor maka orang tua melatih kemandirian untuk membiasakan menggunakan angkutan umum dan bangun lebih pagi agar tidak terlambat ke sekolah. Kedua, melatih putra-putrinya untuk taat pada hukum agar mereka dewasa nanti menjadi warga dan pemimpin negara yang patuh dan taat pada hukum. Ketiga, belajar mencintai lingkungan. Dengan tidak membiarkan putra-putrinya membawa kendaraan motor sendiri, berarti para orang tua telah mengajarkan untuk mengurangi polusi udara. Bahkan di Negara Jepang sebagai penghasil kendaraan bermotor di Indonesia sudah sejak lama membiasakan putra-putrinya berjalan kaki atau menggunakan sepeda untuk berangkat ke sekolah. mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi para orang tua untuk lebih menyayangi putra-putrinya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hatur nuhung Kang Wangsa

25 Oct
Balas

Luar Biasa ni opininya.. Sememang banyak terjadi Hal seperti ini.. Orangtua harus bijak berpikir dalam bertindak.

25 Oct
Balas



search

New Post