Ade Sari Dewi

Guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Kedungjati. Menulis adalah salah satu hobi yang saya lakukan di sela-sela waktu. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Jangan Kembali Lagi (Bagian 2)

Cinta Jangan Kembali Lagi (Bagian 2)

Semenjak ditinggalkan saat itu, rasanya memang ada yang kurang. Yah semenjak Rendra meninggalkan aku tanpa jejak, ya sudahlah, buat apa lagi dipikir. Tidak pernah terbersit sedikit pun untuk mencari tahu lagi. Karena rasanya sudah tak mungkin menyatukan jarak dan waktu yang terpisah. Sungguh kerelaan hati yang penuh tanda tanya. Kadang ada rasa rindu tapi kutepis jauh-jauh agar nantinya tak kecewa atas apa yang terjadi kemudian.

Aku pun menjalani hari-hariku dengan normal. Sedikit demi sedikit bayangannya sudah terhapus dalam setiap lembar ingatanku. Rasa syukurnya tak ada satu pun yang selalu memberikan titipan salam manis dari Rendra untukku, karena ia pun telah lulus. Setahun berlalu aku pun beranjak naik kelas ke kelas 3. Dengan penuh semangat untuk menghadapi kelas ujian, segala daya dan upaya kukerahkan untuk bisa belajar semaksimal mungkin mencapai nilai tertinggi di kelas. Aku berharap kiranya dengan hasilku yang baik dan bekal ilmu yang ada aku bisa masuk Perguruan Tinggi favorit.

Singkat cerita, aku diterima di Perguruan tinggi favoritku yang berbeda dengan kota kelahiranku dan bersiap untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itu yang terbersit dalam pikiranku adalah bisa belajar yang baik, lulus dan mendapat kerja sehingga dapat membanggakan orang tuaku.

Beruntungnya, saat sebelum aku menuju bangku kuliah, aku pun di lamar oleh seorang pria yang memang baru ku kenal. Ceritanya terlalu singkat, aku berkenalan, kemudian dilamar. Tidak ada masa pacaran. Aku pun terima tanpa ada rasa penyesalan atau pun sedih. Yang terpikir saat itu adalah telah ada yang menjamin hidupku. Aku terlepas dari beban orang tua karena aku anak pertama dari lima bersaudara. Saat itu semua teman-temanku bingung dengan keputusanku yang begitu cepat. Aku memutuskan untuk menikah di usia sangat belia. Aku tak gentar karena sudah lulus SMA dan melanjutkan kuliah walaupun status telah berubah. Kadang bayangan Rendra bermain dalam otakku. Tapi selalu kuhapus dengan melihat suamiku.

Tahun berlalu, aku pun kuliah dengan lancar tanpa membebani orangtuaku dengan segala beban SPP setiap semester. Aries, suamiku, seorang guru yang berkorban untuk selalu membiayai kuliahku selama 8 semester. Aku tak pernah menderita sedikit pun dalam hal keuangan. Semua berjalan lancar-lancar saja hingga aku pun harus mengambil cuti semester karena hamil dan melahirkan. Selesai masa cuti, aku melanjutkan lagi dan lulus pun dengan hasil yang sangat memuaskan. Saat itu aku menjadi mahasiswa kutu buku, karena hari-hariku tak kulalui dengan kegiatan senat. Semua itu tak menarik bagiku yang sudah berkeluarga saat itu, lagian aku sudah terkungkung dalam ikatan pernikahan suci. Aku harus menjaganya tak boleh ternoda karena bermain mata dengan yang masih bening-bening dalam kegiatan senat.

Begitulah sepintas masa kuliahku. Semua berjalan lancar tanpa ada hambatan. Sampainya aku harus pulang ke kota kelahiranku lagi untuk silaturahim dengan orang tuaku setelah delapan tahun berpisah. Saat itu menjelang Idul fitri, aku pun bersilaturahmi dengan teman-teman sekolahku dulu. Semua teman-temanku pun rindu dan ingin sekali diadakan reuni kecil-kecilan. Aku yang saat itu sudah membawa dua anak tak keberatan karena cuma reuni kecil-kecilan diantara kami sang wanita-wanita tangguh saat sekolah dulu.

Acara pun berjalan lancar. Saat itu acara berlangsung di rumah Nisa yang tergolong besar seperti istana. Aku tak pernah berpikir untuk berbuat yang aneh-aneh karena aku sudah beranak dua, sedangkan yang lainnya masih gadis dan juga sudah menikah namun belum punya anak. Aku terhitung yang paling cepat menikah. Mungkinkah karena jodohku yang begitu cepat datangnnya dibanding dengan teman-temanku. Walahualam.Tak disangka Nisa, berbisik pelan padaku.

“Hera, maaf ya, di acara ini ada “someone” spesial yang ingin bertemu denganmu.” Kata Nisa dengan suara pelan.

“Siapa?” tanyaku penasaran.

“Pokoknya kamu nanti tahu sendiri.”sambil membuka pintu depan Nisa berlalu dari hadapanku.

Nampak dari depan lamat-lamat tapi pasti, kulihat seseorang yang dulu adalah sang pujaan hati saat masih putih abu-abu. Yah dia Rendra, sang kakak kelas. “Ya ampun, aku harus bagaimana,” aku terasa kikuk saat itu, tak bisa bergerak karena kaget bukan kepalang. Ternyata reuni itu sudah direncanakan Nisa untuk mempertemukan kembali aku dengan Rendra. Aku yang saat itu membawa kedua anakku akhirnya tersenyum saja dan memberi isyarat kepada kedua anakku yang masih kecil-kecil agar salim kepada Rendra.

“Apa kabar Hera, lama tak berjumpa ya, kamu berubah.” Suara itu yang sangat akrab sekali ditelingaku menggelegar bak petir disiang bolong. Ia mengulurkan tangannya.Aku pun mengulurkan tanganku bersalaman dengan rasa masih deg-degan. Dengan cepat kutarik tanganku agar tak terjadi aliran-aliran listrik tak menentu he..he..

“Kabar baik Kak, gimana kabar Kakak apa sudah selesai kuliah?” tanyaku hati-hati karena masih terbawa rasa kagetku.

“Iya aku sudah selesai S-2ku dan saat ini sudah mengajar di Perguruan Tinggi di sini.” Kata Rendra sambil menatapku tajam.

Aku jadi salah tingkah. Aku berusaha untuk tetap tegak tidak membungkuk karena tiba-tiba perutku terserang sakit magh akut. Heran juga. Sambil menahan perutku yang sakit, aku berusaha untuk biasa saja di depannya. Yah dia, sang pujaan hati saat itu, kini hadir di depan mataku tanpa terhalang jarak dan waktu lagi, tapi apa boleh dikata aku telah ada yang punya dan telah mempunyai anak. Aku lebih memilih setia ketimbang terbawa perasaan. Jika aku terbawa rasa rinduku maka apa kata dunia, aku hanyalah seberkas cerita lamanya dan dia pun begitu. Kami berdua bukanlah siapa-siapa yang saling terikat janji. Kami tak berjanji. Hanya perasaan saja yang saat itu berbicara karena rasa yang mendalam dan kutahu itu hanya cinta monyet, cinta abu-abu, bukan cinta hakiki.

Semenjak pertemuan itu aku diminta untuk bertemu lagi dengannya karena sepertinya rasa rindunya mungkin masih tersisa diantara puing-puing kelabu. Aku tetap bersikeras untuk tidak menemuinya walaupun ada kegalauan, tapi aku lebih memilih setia pada suamiku yang tersayang. Maafkan daku cinta, jangan kembali lagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah, pilihan sikap Hera sangat benar sekali. Salam sehat dan sukses selalu, bunda. Barakallah.

30 Oct
Balas

Wow mengharu merah jambu, eit salah yah, sukses selalu dan barakallah

30 Oct
Balas

Pilihan reha.. benar benar bagus. Semoga reha tetap menjadi istri yang setia... Lanjutin lagi y... ceritanya bu guru....

30 Oct
Balas

Hera bu...he..he..injih tunggu kelanjutannya ya.Barakallah.

01 Nov

Woch menyentuh banget cerita klasik tapi asyikk. Smoga kita bisa mengatasi hal seperti itu...

30 Oct
Balas



search

New Post