Sudah bukan rahasia lagi ketika seorang guru tinggal di suatu tempat yang relatif masih kurang tokoh anutannya, harus berperan menjadi sosok segala bisa. Begitulah yang terjadi dengan penulis. Masyarakat di tempat penulis tinggal, menganggap bahwa sosok guru haruslah tampil dalam segala bidang. orang menyebutnya multitalenta, masyarakat "gaul" mengistilahkannya sebagai guru AC/DC. Apapun sebutannya, yang jelas sosok guru memang harus hadir dalam segala macam kondisi, dan harus siap, dalam bahasa daerah Sunda, "sabisa-bisa kudu bisa, pasti bisa" .

Penulis merasakan betapa sulit pada awalnya menjadi sosok yang berperan sebagai pengantar (jubir) pada peristiwa pernikahan. Pada peristiwa tersebut penulis harus bisa bertutur dalam bahasa daerah yang baik dan benar "undak usuk basa nu merenah", penampilan yang harus disesuaikan dengan kondisi pada saat acara berlangsung, dan harus mengikuti aturan protokolernya. Atau ketika terjadi peristiwa kematian, penulis harus tampil menjadi pembawa acara, maupun menjadi bagian dari "pemulasaraan" jenazah, atau bahkan harus masuk ke liang lahat untuk menguburkannya, kemudian dilajutkan dengan men"talkin"nya sampai menjadi "komandan tahlil" hingga selesainya.

Banyak peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat yang menuntut penulis ikut hadir dan menjadi bagian paling berperan dalam kegiatan itu. Tentu bukan dikarenakan keahlian penulis, tetapi tuntutan masyarakat yang hampir selalu memandang bahwa seorang guru adalah sosok yang serba bisa. Tentu menjadi dilema bagi penulis pada awalnya, tetapi setelah dijalani menjadi tantangan tersendiri. Melihat masyarakat puas atas kinerja penulis, menjadi kebahagiaan yang tak bisa dipungkiri. Suka duka terus dijalani sampai sekarang, menjadi guru AC/DC.

Ada peristiwa yang tidak bisa hilang dari ingatan dan menjadi momentun paling bersejarah, sehingga sampai sekarang kegiatan ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan penulis apalagi pada setiap hari Jum'at dan peristiwa besar Islam lainnya, adalah ketika penulis shalat Jum'at di satu masjid jami' , terlihat pengurus masjid tersebut kebingungan karena khatib yang sekaligus imam yang bertugas pada hari itu berhalangan hadir, sementara adzan sudah berkumandang. Tampak pengurus DKM mencoba membujuk jama'ah yang hadir untuk berkenan menjadi "badal", pengganti, khatib dan imam. Ditengah kebingungan yang memuncak, timbulah "ijtihad" di hati penulis, seakan-akan timbul perdebatan dalam diri, bahwa apakah kegiatan shalat Jum'at akan batal ketika tidak adanya imam dan khatib, pasti akan batal dan Jum'at hari itu akan "bubar" dengan sendirinya. Maka dengan tanpa ragu-ragu, penulis berdiri dan mendekati pengurus DKM dan menyatakan kesdiaan menjadi "badal" khatib dan imam Jum'at. Pengurus DKM tampak terlihat senang sekali, sekaligus mempersilahkan penulis menaiki mimbar. peristiwa tersebut terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, tapi menjadi peristiwa yang benar-benar menjadi awal "karir baru" penulis dalam dunia dakwah. Dari peristiwa itulah penulis sampai sekarang aktif dalam berdakwah dari masjid satu ke masjid yang lain. Tidak cukup itu saja, penulis pun diamanahi untuk mengurus beberapa majelis taklim, buletin dakwah, dan kegiatan keagamaan lainnya. Tentu semua diyakini sebagai salah satu skenario Allah dalam men" design" makhluk Nya untuk harus dapat meng "improve" diri agar lebih bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi maslahat untuk sebanyak-banyaknya umat.

Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari berbagai peristiwa di atas, penulis menyimpulkan bahwa pada intinya sosok guru harus selalu siap dalam menghadapi dan menjalani keadaan, sebagai bagian integral dari fungsi guru selaku pribadi berkompetensi sosial, disamping tugas pokok guru selaku pendidik dan pengajar di sekolah. ***[email protected]