A.Faizin

Nama ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cintaku Terukir di Jam Gadang Bagian #8

Cintaku Terukir di Jam Gadang Bagian #8

Aku terpekur dalam diam, menunggu pak tua bangun dari sujud. Lama waktu terasa untuk ukuran sujud syukur.

Ada perasaan syak merasuki jiwa ketika pak tua bangkit dan memelukku. Suasana hening mencekam dalam jeritan malam. Apa yang terjadi sebenarnya ?

Ada perasaan mengharu biru menyesak dalam dada ketika tetesan air mata pak tua menetes tepat di keningku.

Dekapannya membuatku tersadar bahwa aku tidak sepatutnya mendapatkan penghormatan sebesar ini.

“Duduklah nak,” tiba-tiba pak tua memegang pundakku, sambil menariknya ke tempat duduk.

“Rahman, terimalah ini nak” kata pak tua sambil menyerahkan amplop berwarna putih tebal.

Aku terkejut dengan perlakuan pak tua. Aku marah. Aku malu. Dan aku tak bisa menerima semuanya ini. Ini penghinaan terbesar dalam hidupku.

Pengorbananku dalam menolong sesama dihargai dengan harta. Niatku Insya Allah ikhlas lillahi ta’ala. Apabila amplop itu kuterima, saya berasumsi bahwa apabila amal kita sudah diberi hadiah di dunia, bagaimana dengan pertanggungjawabanku keharibaan Allah ?

Tapi ... ,

Apabila aku tolak, apakah beliau tidak tersinggung ?

Apabila aku tolak, apakah aku termasuk orang sombong ?

Kontradiksi ini membuatku bingung. Bingung sekali.

“Terima ni nak” ucapnya sekali lagi.

“Maaf pak ...” aku menolak dengan halus.

“Aku memaksa...” kata pak tua tegas.

Ahai ..., aku ada akal.

“Bapak, boleh pemberianmu aku tukar dengan sesuatu ? kataku ringan.

“Apa itu?” kata pak tua singkat.

“Rahman akan sangat berterima kasih kepada bapak, apabila bapak memberikan putri bapak kepada Allah”kataku pasti.

“Maksud nak Rahman bagaimana? kata pak tua bingung.

“Bapak ingat cerita Maryam, Ibunda Nabi Isa Alaihi Salam?” kataku memulai mengalihkan pembicaraan.

“Nak, aku adalah pria tua yang malang” keluhnya.

“Aku malu dengan masa laluku yang kubuang sia-sia. Hidupku hanya mengejar dunia. Setiap saat yang aku pikirkan hanya uang. Sampai akhirnya, Allah mengujiku dengan berbagai macam musibah” jawabnya sendu.

“Jangankan kisah Siti Maryam, ibu siapa tadi ?”

“Nabi Isa pak” aku membantu

“Sedangkan bacaan shalat saja aka tak hafal” keluhnya sedih.

“Tolong jelaskan padaku kisahnya” pintanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 Waktu Indonesia Barat.

Ketika aku akan mulai berceritera, di kejauhan nampak seorang perawat bergegas menghampiri tempat duduk kami.

“Bapak keluarga pasien Muatiara?” tanya perawat singkat.

“Apa yang terjadi ?” tanya pak tua sambil bergegas pergi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kalau Rahman tidak bersedia menerima amplop pak tua, biarlah aku saja yang terima, hihi. Kisah yang sangat menarik. penasaran pengen baca kisah selanjutnya. Bikin nagih.

10 Feb
Balas

tq pak

10 Feb

Wah kurang panjanh mo.. Lg asyik eee...

09 Feb
Balas

nanti di tambah bu

10 Feb

Itu taman dimana?

09 Feb
Balas

di atas pak

09 Feb

salam literasi!!!!

09 Feb
Balas

salamsalamsalam

10 Feb

Pak itu sudah jadi setengah buku kisah cinta terukir di jam gadang, nanti jadi basi buku nya, ha,ha,ha

12 Feb
Balas

Pak Faizin sangat berbakat..

09 Feb
Balas

lagi belajar bu

10 Feb



search

New Post