Afi Sulthoni

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Gerbong Pendidikan itu Bernama Kognitif

Gerbong Pendidikan itu Bernama Kognitif

Pembelajaran bermakna adalah pembelajaran yang mengakibatkan perubahan pada ketiga ranah dan bersifat permanen. Jika perubahan tersebut bersifat temporer atau hanya karena ada guru atau petugas, hal itu belum bisa dikatakan sebagai pembelajaran yang bermakna (Schunk, 2012). Hal ini dapat terjadi, manakala pembelajaran belum mampu memberikan perubahan yang berkesinambungan, atau dapat dikatakan perubahan itu sebatas perubahan pada ranah kognitif semata. Konsekuensinya, perubahan pada ranah kognitif belum mampu menginisiasi perubahan pada ranah afektif dan keterampilan (Sulthoni, 2018).

Mengambil judul gerbong pendidikan itu bernama kognitif sebagai potret pendidikan yang lebih menekankan pada sisi kognitif daripada afektif maupun keterampilan. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil kajian di bawah ini:

1. Fakta dan Urgensi Pendidikan Karakter:

a. Laporan Human Development Report (HDR) UNDP 2015 Australia menempati urutan ke 2 dari 188 negara setelah Norway. Australia lebih menanamkan pendidikan karakter sejak dini, para guru dan orang tua lebih takut apabila anak-anak tidak bisa antri dengan tertib daripada anak-anaknya tidak bisa calistung. Menanamkan nilai dan karakter butuh waktu lama kurang lebih 12 tahun, sementara calistung tidak lebih dari hitungan 3 bulan secara intensif dan mereka akan ingat pelajaran berharga dibalik proses mengantri (Edy, 2015).

b. Sementara Indonesia menurut laporan HDR UNDP tahun 2015 berada di peringkat 110 dari 188 negara. Hasil Social Progress Index yang dilakukan tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke-82 dari 133 negara dengan skor 62,27 (menengah ke bawah). Sedangkan laporan PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2015, Indonesia mendapat skor untuk kemampuan Membaca sebesar 397, Ilmu Pengetahuan sebesar 403 dan untuk Matematika sebesar 386 (Hutasuhut, 2017). Tidak mengherankan, jika pemerintah dan orang tua lebih takut, apabila anak-anaknya tidak bisa calistung dan cuek melihat anak-anaknya tidak bisa antri dengan tertib, membuang sampah sembarangan.

2. Kurikulum di Indonesia

Kurikulum K13 yang diawal digadang-gadang dapat menjawab kebutuhan pendidikan akan karakter, dengan menekankan penilaian afektif dari teman sejawat, penilaian diri, dan guru, ternyata telah mengalami beberapa perubahan yang diatur dengan permen. Setiap pergantian menteri, bergantilah permen yang mengaturnya. Seolah kinerja seorang menteri, hanya diukur dengan terbitnya permen, kalau tidak ada permen, maka dapat dipastikan sang menteri belum bekerja. Dengan kondisi yang seperti ini mengakibatkan berbagai kesulitan di tataran bawah.

Pendidikan yang disibukkan dengan agenda perubahan permen dan pelayanan administrasi, bukan pada pemenuhan sumber daya dan sarana prasarana serta optimalisasi pemanfaatannya dalam pembelajaran. Fokus dan perhatian guru menjadi terbagi antara pelayanan dan kewajiban administrasi. Ditambah dengan jumlah mapel yang terlalu banyak menjadi beban tersendiri bagi peserta didik. Belum lagi dengan adanya lintas minat untuk mengakomodasi minat dan bakat peserta didik. Belum lama ini digagas sekolah double track untuk sekolah menengah pinggiran. Dalam hal ini pengambil kebijakan mempunyai maksud yang baik, namun hal ini patut dikaji dengan membandingkan implementasi di negara lain.

3. Konteks Pembelajaran yang lebih pada konten/materi

Sebagian besar skripsi, tesis, jurnal pendidikan bertema pengembangan yang ditemukan di Indonesia lebih menyoroti penggunaan metode ceramah dan pemaparan materi/konten pada latar belakang permasalahan. Beranjak dari hal tersebut maka di buatlah model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, aktivitas pembelajaran dengan beragam tujuan pembelajaran diantaranya: lebih menyenangkan, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, menanamkan nilai tertentu, dll. Hal ini mengindikasikan, bahwa pembelajaran di Indonesia di dominasi dengan pembelajaran yang monoton dan konvensional.

Pembelajaran yang lebih menekankan pada konten/materi dengan metode ceramah memang lebih mudah dan tidak menuntut banyak persiapan. Berbeda halnya, jika pembelajaran dengan mengajarkan cara berpikir dalam memperoleh pengetahuan. Tidak hanya guru, melainkan peserta didikpun sama-sama merasakan hal yang cukup berat. Lebih mudah bagi guru dan peserta didik untuk memberi tahu dan diberi tahu, namun menjadi berat jika pembelajaran diarahkan untuk mencari tahu dalam pemerolehan pengetahuan (Sulthoni, 2018).

4. Format penilaian

Beberapa tahun terakhir ini, penilaian berbasis teknologi sedang digalakkan. Berbagai test mulai dari UNBK, Try Out (Simulasi), serta USBK semuanya dilaksanakan dengan basis komputer. Hal yang bagus dan patut didukung oleh semua pihak. Mengingat peserta didik sekarang adalah generasi yang dilahirkan di jaman digital (digital natives), maka sudah selayaknya bahasa dan komunikasi yang dilakukan dengan mengoptimalkan teknologi.

Satu hal yang disayangkan, penilaian berbasis komputer dengan penggunaan soal Pilihan Ganda memiliki berbagai kelemahan. Demikian juga untuk menilai guru, dilakukan Uji Kompetensi Guru (UKG). Walaupun banyak kelemahan dengan berbagai alasan, namun PG tetap dijadikan pilihan utama untuk mengukur kompetensi peserta didik dan guru.

Dengan mendasarkan pada sifat-sifat penilaian berbasis kompetensi, mengindikasikan bahwa jenis tes objektif (seperti tes pilihan ganda, benar-salah, dan lain-lain) yang saat ini masih mendominasi penilaian di sekolah tidak lagi relevan saat ini. Sudah saatnya (dan secepat mungkin) proses pembelajaran ditopang secara kukuh dengan penggunaan asesmen otentik seperti asesmen kinerja, evaluasi diri, esai, asesmen portofolio, dan projek (Dantes, 2008). Dengan penilaian otentik dapat mengukur dan mengevaluasi keseluruhan dari kompetensi peserta didik.

5. Menjamurnya Bimbingan Belajar

Lembaga bimbingan belajar bertujuan memberikan bekal pengetahuan dan sikap untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kepada masyarakat yang membutuhkan yaitu para siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) (Bank Indonesia, 2010). LBB telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa pesat. Terbukti dengan banyaknya pendirian bimbel baik yang dikelola oleh perorangan, lingkup lokal, maupun skala nasional.

a. Privat yang dikelola oleh perorangan dan lingkup lokal.

b. Lembaga Bimbingan Belajar: Primagama, Ganesha Operation, Neutron, dll.

Berdasarkan kelima kajian, maka dapat disimpulkan bahwa indonesia lebih memperhatikan aspek kognitif daripada afektif dan psikomotor/keterampilan. Hal ini membuat tidak adanya pilihan bagi orang tua, mau tidak mau orang tua harus menyekolahkan anak di sekolah formal yang telah disediakan. Namun, beberapa tahun terakhir ini, mulai bermunculan sekolah-sekolah yang telah menyediakan pendidikan alternatif. Pilihan ini dimungkinkan mengingat mereka memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan alternatif.

Maka tidak mengherankan munculnya berbagai sekolah yang berbasis alam, home schooling, kurikulum dinamis, sekolah islam terpadu yang didirikan untuk menjawab permasalahan pendidikan yang notabene berbasis kognitif. Berikut ini sekolah yang memiliki aneka basis yang berbeda:

1. Basis alam: SMP Alam Banyuwangi Islamic School (BIS), Sekolah Alam Indonesia Cipedak, Sekolah alam Avesiena Malang, dll.

2. Homeschooling: Homeschooling Melati Indonesia, Homeschooling Kak Seto Surabaya, Homeschooling Shine, dll.

3. Dinamic Curriculum: Sekolah Maha Karya Gangga yang dipelopori oleh Ayah Edi. Beliau dikenal lewat Komunitas Ayah Edi.

4. Sekolah Islam Terpadu: TK IT, SD IT, SMP IT, SMA IT, dll.

Solusi:

1. Pendidikan di tingkat dasar sampai menengah lebih mengutamakan pendidikan sikap dan perilaku sebagai salah satu indikator utama dalam pembelajaran disamping aspek kognitif. Sekolah harus berani membuat perubahan yang nyata dan bersiap dengan segala konsekuensinya.

2. Melibatkan peran sentral orang tua dalam penguatan pendidikan karakter di rumah dengan keteladanan dan komunikasi yang baik. Serta menekankan arti penting kehadiran sosok ayah dan ibu dalam pendampingan pendidikan dan pola pengasuhan anak, tidak hanya dengan mencukupi kebutuhan jasmaninya semata.

3. Mengundang orang tua dan peserta didik di awal tahun untuk masa orientasi sekolah. Hal ini perlu dilakukan dengan memberikan bekal pengetahuan pada orang tua dan peserta didik untuk saling sinergi dalam pendidikan.

Daftar Pustaka

Bank Indonesia. 2010. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Komoditas Jasa Bimbingan Belajar.

Dantes, N. 2008. Hakikat Asesmen Otentik Sebagai Penilaian Proses dan Produk dalam Pembelajaran yang Berbasis Kompetensi. Makalah disampaikan pada In House Training (IHT) SMA N 1 Kuta Utara.

Edy, A. 2015. Mengapa Guru di Australia lebih Mengutamakan Belajar Mengantri dari pada Nilai Matematika. (http://ayahkita.blogspot.co.id/2015/02/mengapa-guru-di-australia-lebih.html), diakses 25 Maret 2018.

Hutasuhut, R. 2017. Kondisi Sistem Pendidikan Indonesia di Mata Dunia. (https://www.kompasiana.com/ronaldhutasuhut/kondisi-sistem-pendidikan-indonesia-di-mata-dunia_58cf84514ef9fdba0f702892), diakses 24 Maret 2018.

Schunk, D. H. 2012. Learning Theories An Educational Perspective. 6th-Ed. Boston: Pearson Education.

Sulthoni, A. 2018. Metamorfosis Guru Out of The Box. Surabaya: Pustaka Media Guru.

UNDP. 2015. Human Development Report: Work for Human Development. New York.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post