Makna Izin, Rida, dan Kehendak
Seringkali dalam kehidupan ini, kita mendengar ketiga istilah tersebut. Entah sudah yang keberapa kalinya, tentu dengan beragam maksud dan tujuan. Semua itu merujuk pada ketidakmampuan, keberharapan, dan keberkahan dalam hidup manusia kepada pencipta-Nya. Pembahasan yang menarik apabila dilihat dalam konteks spiritual/semangat keberagamaan.
Izin
Secara harfiah izin berarti pernyataan mengabulkan; persetujuan membolehkan. Sebagai contoh: Semoga Allah mengizinkan. Pernyataan izin ini menyiratkan, bahwa adanya kehendak diri secara utuh untuk mendapat persetujuan membolehkan.
Tahap ini adalah tahap pertama atau yang paling rendah dalam tingkatan spiritual. Sebab pada konteks ini, manusia secara penuh memposisikan diri dengan keakuannya. Bahwa Ia sebagai manusia secara sadar menegaskan keberadaan diri dengan berbagai tujuan dan harapan.
Rida
Secara harfiah rida adalah rela. Sebagai contoh: Semoga Allah meridai. Rida dalam hal ini dimaknai dengan kompromi batas-batas kemanusiaan dengan konteks keridaan-Nya. Pada titik ini, bisa dikatakan kondisi fifty-fifty, di satu sisi terdapat penegasan keberadaan diri dan disisi lain dikompromikan dengan perkenan atau kerelaan Allah.
Menggapai rida adalah tingkatan yang kedua dalam pandangan spiritual. Pada tahap ini manusia telah memberi ruang kepada Allah untuk memberi perkenannya atau memberi keberkahan dalam kehidupannya.
Kehendak
Kehendak secara harfiah dimaknai dengan kemauan. Sebagai contoh: Semua itu sudah menjadi Kehendak-Nya, terimalah dengan lapang dada. Pada konteks ini kehendak Allah yang menguasai dan menentukan segala sesuatu. Sedang kehendak manusia sudah tidak memiliki kekuatan atau apapun, karenanya manusia harus bisa menerima semua yang telah ditentukan dengan lapang dada.
Menjalankan kehidupan sesuai dengan kehendak-Nya adalah tingkatan yang paling tinggi dalam pandangan spiritual. Mengingat bahwa pada titik ini, manusia sudah meniadakan keberadaan dirinya. Sehingga tepat apabila ada ungkapan, “Aku mencintai Allah melebihi cintaku kepada dunia dan segala isinya”.
Manusia yang telah mencapai tingkatan ini dapat dipastikan seluruh dimensi kehidupannya telah keluar dari batas kewajaran sebagai manusia pada umumnya. Sebab, kehendak Allah pasti berbeda dan seringkali berlawanan dengan kehendak manusia. Namun untuk bisa hidup secara wajar, maka tidaklah memungkinkan untuk terus-menerus dalam kondisi yang demikian. Yang paling tepat adalah pada titik-titik tertentu dalam kesehariannya, manusia perlu menyatukan diri dengan Kehendak-Nya.
Tingkatan ini telah menempatkan manusia dengan pertanda:
a. Orang yang telah selesai dengan dirinya
b. Yang mengenal diri dan mengenal Tuhannya
c. Yang telah melampaui tahapan prasangka untuk mendekat Kepada-Nya, yaitu melalui pengetahuan dan pemahaman
d. Mengalami puncak pemahaman dengan penyingkapan dan penyaksian keberadaan diri dan Tuhannya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar