Afiyah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku, Ayahku dan Puisi

Mencintai tulisan-tulisan Chairil Anwar, membuat saya mencintai puisi. Karena itulah, buku yang sangat saya ingin tulis adalah buku kumpulan puisi. Dahulu, dalam sehari saya mampu membuat tiga puisi, tentang cinta, tentang hidup, tentang sosial, tentang apapun. Naik bus, melihat para penumpang, saya buka buku catatan, tulis puisi. Disakiti teman, buka buku catatan, bikin puisi. Ikut rapat BEM, bengong sedikit, buka buku, bikin puisi. Bahkan, saat saya kini menjadi seorang guru dan mencintai murid-murid saya, maka saya menulis puisi untuk mereka. Bagi sebagian orang, mungkin membaca puisi hanya bikin pusing. Boro-boro baca kalimat puisi yang penuh diksi puitis, membaca satu kalimat biasa saja sudah bikin senewen. Tapi bagi saya, memabaca puisi adalah obat. Obat rindu, obat sedih, obat pereda marah, obat pelega cemas, obat segala masalah di hidup saya.

Kenapa harus puisi? Padahal bikin orang pusing. Sebagai seorang guru, saya juga mengamati anak-anak ddik saya yang puber. Mereka mencurahkan segala masalah mereka. Masalah cinta, rindu orangtua, dijahati teman, segala rupa masalah mereka. Namun, masalah-masalah itu hanya menjadi curhatan semata, tak jadi apa-apa. Saya ingin mencontohkan pada mereka untuk menuliskan curhatan mereka. Saya ingin mereka menemukan cara yang asyik mencurahkan masalah mereka dengan tulisan-tulisan indah. Remaja lain mungkin akan menulis status alay jika punya masalah, tapi saya ingin murid saya menulis suatu karya. Itulah alas an utama saya menulis kumpulan puisi. Maka, sasaran buku kumpulan puisi ini tidak jauh dari para remaja puber yang suka menulis status alay tentang masalah-masalah mereka. Sasaran lain buku ini yaitu para pecinta diksi-diksi indah, pecinta sastra puisi.

Kecintaan saya pada puisi berawal dari ucapan ayah saya. Kata-kata ayah saya itu tidak akan pernah saya lupakan. Ayah saya dulunya seorang wartawan majalah, what’s on nama majalah itu. Kerjanya menulis lalu bicara, bicara lalu menulis, begitu terus. Lelaki yang paling menyayangi saya itu hamper setiap hari membuat puisi di selembar kertas, atau di catatan ponselnya. Namun, tak ada satupun anaknya yang tampak mengikuti hobi lelaki itu. Suatu hari, saat kelas 7 SMP, saya iseng menulis sebuah puisi berjudul “Mujahid Kecil” dan mengirimkanya ke redaksi majalah sekolah. Ajaib, puisi saya dimuat. Dengan bangga, saya memamerkan puisi saya di majalah kepada ayah saya. Ayah saya tersenyum senang. Beberapa hari kemudian, ibu saya menceritakan bahwa ayah saya sangat bangga pada tulisan saya. Beliau berkata, “Ini baru putriku!”. Sejak saat itu saya terus menulis puisi. Selalu bawa buku catatan kecil ke manapun. Sampai sekarang, terkadang, saya mengirim puisi-puisi saya pada ayah, dan kami saling berbalas-balas puisi.

penulis adalah peserta pelatihan Sagu Sabu (Satu Guru, Satu Buku) Nurul Fikri Boarding School

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post