Derita Guru yang Tak Terungkap
Menjadi guru tampaknya saat ini adalah idaman banyak orang. Berbeda dengan beberapa puluh tahun yang lalu. Konon saat itu profesi guru dipandang sebelah mata. Tak heran jika saat itu memilih menantu pun sedapat mungkin bukan seorang guru.
Fenomena beberapa puluh tahun yang lalu itu muncul karena profesi guru belum diapresiasi seperti saat ini. Saat itu guru harus hidup dengan gaji pas-pasan. Gaji guru pun kalah dibanding pekerjaan lainnya di masyarakat. Bahkan dibanding pekerjaan yang tak memerlukan ijazah sekali pun. Tentu saja tak perlu saya sebut secara gamblang.
Derita guru tampaknya berbuah manis saat ini. Guru mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Berbagai lomba berhadiah besar digelar untuk guru. Mulai dari pemilihan guru berprestasi, lomba inobel, OGN, dan sebagainya. Slogan "Guru Mulia karena Karya" tampaknya pas untuk menyebut kondisi guru saat ini
Tak hanya itu, guru pun mendapatkan apresiasi berupa tunjangan. Baik tunjangan profesi (sertifikasi) maupun tunjangan lainnya. Guru yang mengajar di daerah terpencil, misalnya, akan menikmati gaji bulanan, sertifikasi, dan tunjangan daerah terpencil. Begitu mulia, bukan?
Berbagai apresiasi bagi guru memang layak diterimanya. Tugas guru tidaklah ringan. Pernah suatu hari ada pertanyaan yang terasa "pedas". Pertanyaan dari seorang PNS yang mempertanyakan kinerja guru. "Jane gaweane guru kie apa?", begitu celotehnya. Pertanyaan menohok bagi guru, seakan diragukan apa yang dikerjakan oleh guru sebenarnya.
Masyarakat saat ini hampir tak mengetahui tugas guru. Bagi mereka tugas guru seakan "hanya bicara di depan kelas. Padahal untuk melakukannya guru harus membuat perencanaan yang matang. Rencana pembelajaran ini harus disusun agar pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa.
Tak hanya itu, guru juga harus menyediakan bahan ajar, alat dan bahan, maupun media pembelajaran yang dibutuhkan. Tak heran jika guru harus lembur di tengah malam untuk mempersiapkan pembelajarannya esok hari. Di saat orang lain sudah tertidur lelap, guru masih harus bekerja di depan layar laptopnya untuk mempersiapkan bahan ajarnya.
Setelah semuanya siap, guru dituntut tampil di depan kelas secara sempurna. Rasa lelah tak boleh terlihat dari raut muka guru. Apalagi masalah rumah tangga yang dialaminya. Keceriaan guru menjadi syarat pembelajaran yang menarik di kelasnya.
Sukses mengajar di depan kelas, bukan berarti selesai tugas seorang guru. Tugas menilai dan mengevaluasi pembelajaran pun telah menanti. Guru harus melakukan penilaian untuk mengukur keberhasilan siswa mencapai kompetensi yang harus dikuasai.
Beban guru pun masih ditambah dengab koreksi tugas yang diberikannya kepada siswa. Guru pun masih disibukkan dengan berbagai administrasi. Belum lagi aktivitas supervisi maupun monitoring yang datang silih berganti.
Begitu banyak tugas guru. Seakan semua itu menjadi derita baginya. Keikhlasan seorang guru akan mengubah derita itu menjadi anugerah. Bagaimanapun profesi guru adalah profesi yang mulia. Maka, kita patut berbangga jika kini menjadi seorang guru. Bersyukurlah, kita menjadi embun penyejuk bagi para siswa.
Wonogiri, 7 September 2017
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mengungkap bukan berarti mengungkit lho...
Sepakat, master....
Setuju banget, Pak.
Iya, bu...tiba² ingin menulis tentang ini
Guru yg bisa jadi panutan. SMoga...
Yups..benar...harus begitu, pak
Fotonya itu buat film yg untuk gess ya pak
Benar, bu
Saya enjoy jadi guru, karena waktu saya jadi luang.
Benar, pak..kita masih bisa menulis dan berkarya