Agus Edi Suhaedi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

NENG DINI SAYUR

Ibuku adalah seorang penjual sayur keliling. Ayahku telah berpulang ke alam baka lima tahun yang lalu. Aku adalah anak satu-satunya, aku sekarang duduk di kelas enam SD.

Seperti pagi ini ibuku telah siap dengan tampah penuh sayuran diatas kepalanya dan aku dengan tas selempang di pundak.

“Din”...

Ternyata sahabatku Ana telah berdiri di depan pagar.

“Dini pergi dulu Bu”, kucium tangan ibu seperti biasanya.

“ hati-hati di jalan, belajar yang betul!”

“ya , Bu”

“pergi dulu Bu” kata Ana

“ya, hati-hati dijalan!” sahut ibuku

Begitulah setiap hari aku dan Ana selalu pergi dan pulang sama-sama karena kami bertetangga. Tidak terasa kami telah sampai di depan gerbang sekolah. Pelajaran pertama hari ini ialah bahasa Indonesia, kami belajar tentang fungsi-fungsi kalimat. Teet...suara bel tanda pelajaran berakhir, setelah memberi salam kamipun pulang ke rumah masing-masing. Di sepanjang perjalanan kami tidak banyak berbincang. Terlalu cape rasanya....

“mampir An!”

“tar aja yaa”sambil melambaikan tangan Ana berlalu meninggalkanku.

Sesampainya di depan pintu, aku heran ada sesuatu yang menyembul dari balik keset, ketika kubuka, ternyata kunci rumah,”kenapa ibu belum pulang?” pikirku, biasanya jam segini ibu sudah pulang. Kuambil kunci dibawah keset lalu kubuka pintu.

“Assalamualaikum” sepi tidak ada jawaban

Aku mulai dihinggapi rasa gelisah, tidak seperti biasanya ibu telat pulang. Kubuka tudung saji, hanya ada sayur asem dan tempe goreng, kuakui ini makanan kesukaanku tapi karena suasana hatiku sedang tidak menentu ,aku jadi tidak berselera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara salam yang datang dari arah pintu.Buru-buru aku menuju kesana.

‘Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam” jawabku

“Ibuuu”

“kenapa pulang telat Bu? ada apa?”

“tidak ada apa-apa...tuh lihat dagangan ibu masih banyak...jadi ibu jualannya agak jauh, sambil meletakkan tampah di lantai.

“jangan sedih... cepat ambilkan minum, ibu haus nih!”

“iya bu, dengan cepat kubawakan segelas air putih “

“dalam sekejap air telah habis digelas”

Kuhampiri ibuku lalu kupandangi sayuran yang sudah mulai layu terkena sengatan sinar matahari. Aku berpikir keras bagaimana memanfaatkan sayuran yang masih menumpuk ini, sedangkan kami tidak mempunyai lemari pendingin. Tiba-tiba terlintas ide untuk mengolah sayuran mentah menjadi matang.

“Bu, bagaimana kalau kita masak sayuran sisa ini?”, aku mau kok menjualnya keliling kampung”

“bener Din”, tatap ibuku

“iya bu, aku tidak malu” jawabku menyakinkan

“ya, sudah kamu shalat dulu terus makan, kalau sudah selesai baru masak sayuran ini”

“ibu mau istirahat dulu”

“ya, bu bergegas aku mengambil air wudhu”

kulihat ibuku merebahkan badannya di kursi, terlihat sekali kelelahan di wajahnya, selesai makan, aku langsung mencuci sayuran lantas memotong-motongnya seperti bayam, kangkung, kentang dan masih banyak lagi.

“awas kena tangan!” teriak ibuku

jantungku berdetak kencang oleh rasa kaget akibat teguran ibuku, kulihat beliau telah bangun dari tidurnya.

“eh, ibu sudah bangun”

“kamu sudah makan Din?”

“sudah Bu”

“jam berapa ini?”

“jam dua siang ,Bu”

“ibu, shalat dulu ”

“terus makan Bu, kalau telat nanti maag ibu kambuh” aku khawatir sekali kalau-kalau ibuku sakit.

“ya, cerewet” sambil tersenyum ibu pergi.

Sementara itu aku asyik memotong-motong sayuran, mengumpulkan bumbu-bumbu buat diulek.

“yang tumisan agak dibanyakin tomatnya,Din!”

Kulihat ibuku telah selesai shalat dan wajahnya terlihat segar dan cerah.

“oke!” jawabku penuh semangat perjuangan.

Dalam waktu satu jam bereslah semua masakanku, ada tumis kangkung, sayur bening, sayur asem, ayam goreng. Sambil menunggu dingin aku menyiapkan plastik-plastik pembungkus.

Tepat pukul tiga sore siap semua masakanku, aku membawanya dalam sebuah tas plastik besar. Setelah berpamitan dan meminta do’a pada ibuku, aku langsung menjajakannya keliling kampung.

“sayuuuuur...sayuuuur...sayuuuur....sayur bu” suaraku lantang terdengar

Kuhampiri kerumunan ibu-ibu yang tengah asyik mengobrol.

“sayurnya bu, masih panas”

“Eh...neng Dini, pinter sudah bisa membantu orang tua”

“kebetulan ibu belum masak karena ayahnya pulang sore”

“mau sayur apa bu?” tawarku.

“tumisan ,ayam, perkedel ya neng”

“ini bu, semuanya jadi lima belas ribu”

“ini neng uangnya”

“terimakasih bu”

Setelah hampir dua jam berkeliling kampung , Alhamdulilah daganganku habis. Perasaanku senang tidak terkira, ingin rasanya cepat-cepat pulang ke rumah mencium pipi ibuku.

“Assalammualalikum”

“waalaikumsalam”

“Alhamdulilah...dagangannya habis bu” teriakku penuh syukur.

“Alhamdulilah...anak ibu, kecil-kecil sudah pinter bisnis”

“Bu, ini uang hasil jualan sayurnya”

“duduk dulu” pinta ibuku.

“Bu, ini uang hasil jualan sayurnya”tak sabar kuulangi sekali lagi.

“ibuku hanya diam, sabar ya nak” terlihat wajah ibuku yang penuh rasa iba padaku.

“sudahlah Bu, Dini tidak apa-apa, ini bu uangnya ,Dini mau shalat ashar dulu”

Kulihat ibuku melipat uang itu tanpa menghitungnya, dalam hati aku bersyukur bisa mengurangi kesedihan ibuku, mulai besok ibuku bisa berjualan sayur segar, dan aku mendapat julukan baru yaitu "Neng Dini Sayur"

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

wuiii pa Agus,memotivasi beneeerrr...okey kita berlomba produktif menulis,yes!!!!

26 Oct
Balas

ok bu

26 Oct



search

New Post