AGUS HERMAWAN

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
 Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Memahami Peta Atlas dan Globe untuk Siswa
pengajuan PTK

Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Memahami Peta Atlas dan Globe untuk Siswa

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penyusunan laporan penelitian tindakan kelas yang berjudul, “Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Memahami Peta Atlas dan Globe untuk Siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Kota Cimahi melalui Penggunaan Media atau Alat Peraga Tahun Pelajaran 2022/2023” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Tujuan penyusunan laporan PTK ini adalah untuk pengembangan profesi guru atau kenaikan golongan III/c ke III/d. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bahwa secara teoritis, maupun secara praktis, sehingga dapat berguna bagi semua pihak.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan PTK ini jauh dari sempurna, baik dalam penulisan, isi maupun tata bahasanya. Hal ini semata-mata dikarenakan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan wawasan yang penulis miliki, untuk itu dengan hati yang lapang penulis menerima kritik dan saran ke arah perbaikan PTK ini.

Semoga amal baik yang diberikan kepada penulis mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Cimahi, Juli 2022

Penulis

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar dan hasil belajar siswa dalam Memahami Peta Atlas dan Globe untuk Siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Kota Cimahi tahun pelajaran 2022/2023 melalui penggunaan media atau alat peraga. Penelitian ini dilakukan secara kolaboratif dan partisipasif yang dilaksanakan dalam dua siklus. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan observasi partisipan dan tes tertulis.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penggunaan media atau alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini didukung dengan data penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan persentase ketuntasan tes tertulis yang dilakukan pada pertemuan kedua di setiap siklusnya. Pada saat pra siklus, ketuntasan siswa hanya 23%, setelah dilaksanakan siklus I dengan media atau alat peraga persentase ketuntasan hasil belajar siswa sebesar 70% kemudian pada tindakan siklus II, ketuntasan hasil belajar mencapai 90%.

Penggunaan media atau alat peraga juga dapat meningkatkan kualitas proses belajar siswa kelas XI Tahun Pelajaran 2022/2023. Kualitas proses siswa terdiri dari efektivitas, efesien dan produktivitas. Pada siklus I kualitas proses belajar siswa memperoleh skor akhir 63%, artinya kualitas proses belajar siswa berada pada kriteria baik. Pada siklus II skor akhir minat belajar siswa mencapai 90% sehingga berada pada kriteria sangat baik.

Kata Kunci : Media atau Alat Peraga, Hasil Belajar Siswa , Kualitas Proses Belajar.

1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Penelitian Tindakan Kelas berasal dari bahasa Inggris, yaitu Classrom Action Research, diartikan penelitian dengan tindakan yang dilakukan dikelas. Secara tujuan sistematis dibagi menjadi 3 kata, yaitu penelitian, tindakan dan kelas. Penelitian yaitu kegiatan mengamati suatu objek tertentu dengan menggunakan prosedur tertentu untuk menemukan data dengan tujuan meningkatkan mutu. Tindakan yaitu perlakuan yang digunakan dengan sengaja dan terencana dengan tujuan tertentu. Dan, kelas yaitu tempat dimana sekelompok peserta didik menerima pelajaran dari guru yang sama. Jadi Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah suatu pengamatan yang menerapkan tindakan didalam kelas dengan menggunakan aturan sesuai dengan metodologi penelitian yang dilakukan dalam beberapa periode atau siklus yang digunakan untuk memperbaiki praktek dalam pembelajaran.

2. Tujuan dan Kegunaan PTK

b. Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masdalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan di luar kelas.

c. Meningkatkan sikap profesional pendidikan dan tenaga kependidikan.

d. Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif didalam melakukan perbaikan mutu pendidikan pembelajatan secara berkelanjutan.

3. Prinsip-Prinsip PTK

Menurut Hopkins, ada 6 prinsip yang harus diperhatikan dalam PTK yaitu:

1. Metode PTK yang diterapkan seyogyanya tidak mengganggu komitmen sebagai pengajar.

2. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan karena justru ia dilakukan dalam proses pembelajaran yang alami di kelas sesuai dengan jadwal.

3. Metodologi yang digunakan harus reliable.

4. Masalah program yang diusahakan adalah masalah yang merisaukan, dan didasarkan pasa tanggung jawab professional.

5. Dalam menyelenggarakan PTK, guru harus selalu bersikap konsisten dan memiliki kepedulian tinggi terhadap proses dan perosedur yang berkaitan dengan pekerjaannya.

6. PTK tidak dilakukan sebatas dalam konteks kelas atau mata pelajaran tertentu, melainkan dengan perspektif misi sekolah secara keseluruhan.

4. Karakteristik PTK

a. Menurut Ibnu, PTK memiliki karakteristik dasar yaitu:

1.) Dalam pelaksanaan tindakan berdasarkan pada masalah yang dihadapi guru.

2.) Adanya perpaduan dalam pelaksanaanya;

3.) Peneliti sebagai media yang melakukan refleksi;

4.) Bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktik instruksional;

5.) Dalam pelaksanaannya terbagi beberapa siklus atau periode.

b. Menurut Richard Winter, ada 6 karakteristik PTK, yaitu :

1. Kritik Refleksi.

Dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penelitian, dan refleksi ini perlu adanya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.

2. Kritik Dialektis.

Dengan adanya kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya.

3. Kritik Kolaboratif.

Dalam penelitian tindakan kelas (PTK) diperlukan hadirnya suatu kerjasama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya.

4. Kritik Resiko.

Dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agr peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung.

5. Kritik Susunan Jamak.

PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasitif dan kolaboratif.

6. Kritik Internalisasi Teori dan Praktek.

Di dalam PTK, keberadaan antara teori dan praktikbukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung dan keduanya berfungsi untuk mendukung transformasi.

5. Langkah-Langkah PTK

a. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah

Masalah dalam PTK terkait dengan proses pembelajaran yang pada gilirannya menghasilkan perubahan pada perilaku guru, mitra peneliti dan siswa.

Kriteria dalam penentuan masalah:

1. Masalah harus penting bagi orang yang mengusulkannya dan sekaligus signifikan dilihat dari segi pengembangan lembaga atau program;

2. Masalahnya hendaknya dalam jangkauan penanganan. Jangan sampai memilih masalah yang memerlukan komitmen terlalu besar dari pihak para penelitinya dan waktunya terlalu lama;

3. Pernyataan masalahnya harus mengungkapkan beberapa dimensi fundamental mengenai penyebab dan faktor, sehingga pemecahannya dapat dilakukan berdasarkan hal-hal fundamental ini daripada berdasarkan fenomena dangkal

b. Menganalisis Masalah

Analisis masalah perlu dilakukan untuk mengetahui demensi-dimensi masalah yang mungkin ada untuk mengidentifikasikan aspek-aspek pentingnya dan untuk memberikan penekanan yang memadai. Melibatkan beberapa jenis kegiatan, bergantung pada kesulitan yang ditunjukkan dalam pertanyaan masalahnya; analisis sebab dan akibat tentang kesulitan yang dihadapi, pemeriksaan asumsi yang dibuat kajian terhadap data penelitian yang tersedia, atau mengamankan data pendahuluan untuk mengklarifikasi persoalan atau untuk mengubah perspektif orang-orang yang terlibat dalam penelitian tentang masalahnya

c. Merumuskan Hipotesis Tindakan

Rumusan hipotesis tindakan memuat tindakan yang diusulkan untuk menghasilkan perbaikan yang diinginkan.

d. Membuat Rencana Tindakan dan Pemantauannya.

Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti perlu melakukan berbagai persiapan sehingga komponen yang direncanakan dapat dikelola.

e. Melaksanakan Tindakan dan Mengamatinya

Jika semua perencanaan tindakan telah disiapkan, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan skenario tindakan perbaikan yang telah direncanakan dalam situasi yang aktual. Kegiatan pelaksanakan tindakan dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan dan pada saat yang bersamaan kegiatan pelaksanaan tindakan ini juga diikuti dengan kegiatan observasi yang berfungsi untuk melihat dan mendokumentasikan pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh tindakan dalam kelas.

f. Mengolah dan Menafsirkan Data

g. Melaporkan.

6. Kelebihan dan Kekurangan PTK

a. Kelebihan PTK

1.) Tumbuhnya rasa memiliki melalui kerja sama dalam PTK

2.) Tumbuhnya kreativitas dan pemikiran kritis lewat interaksi terbuka yang berifat refleksi/evaluatif dalam PTK.

3.) Dalam kerja sama ada saling merangsang untuk berubah.

4.) Meningkatnya kesepakatan lewat kerja sama demokratis dan diologis dalam PTK.

b. Kekurangan PTK

1.) Kurangnya pengetauhan dan keterampilan dalam teknik dasar penelitian pada Anda sendiri karena terlalu banyak berurusan dengan hal-hal praktis.

2.) Rendahnya efesiensi waktu karena Anda harus punya komitmen peneliti untuk terlibat dalam prosesnya sementara Anda masih harus melakukan tugas rutin.

3.) Konsepsi proses kelompok yang menuntut pemimpin kelompok yang demokratis dengan kepekaan tinggi terhadap kebutuhan dan keinginan anggota-anggota kelompoknya dalam situasi tertentu, padahal tidak mudah untuk mendapatkan pemimpin demikian.

Mitigasi bencana alam berbasis pembelajaran bervisi Science Environment Technology And Society (SETS).

MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAINTIFIK

PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI

Abstract

Geography subjects to build and develop an understanding of the students about the variety and the spatial organization of people, places and environments on earth. Learners are encouraged to understand the aspects and the physical processes that shape patterns of earth, ecological characteristics and spatial distribution of the earth's surface. In addition students are actively and creatively motivated to study that culture and experience influence people's perceptions of places and regions. Implementation of disaster learning on subjects of Geography can be implemented through several scenarios. One of the scenarios that can be done is to take a basic competency containing material in contact with the disaster or disaster issues. Examples of basic competencies of disaster containing material: a) to analyze the dynamics and trends of the lithosphere and pedosfer changes and their impact on life on earth, and b) analyze the atmosphere and its impact on life on earth. Scientific approach to be one approach that allows students to construct knowledge, cultivate social intelligence, and encourage more students to care and prepared to face the possibility of catastrophic events.

Keywords: Learning, Disaster, Geography

Pendahuluan

Luas wilayah Indonesia 5.193.250 km² (mencakup daratan dan lautan) membentang dari Pulau Weh sampai Merauke, membujur dari Rote sampai Talaud. Keragaman bentang fisik wilayah Indonesia dideskripsikan sebagai "surga" karena memiliki kekayaan pesona keindahan pemandangan maupun kekayaan sumber daya alam. Indonesia mempunyai 2 musim yang dipengaruhi oleh angin tetap yang bergerak secara bergantian. Faktanya, bukan hanya pesona yang mengakrabi wilayah Indonesia, tetapi juga bencana. Catatan BNPB menunjukkan selama Bulan Agustus 2014 telah terjadi 55 kejadian, dimana tanah longsor adalah yang paling banyak terjadi. Bencana tanah longsor telah menimbulkan korban meninggal. Selain longsor, bencana banjir juga terjadi di banyak wilayah di Indonesia, seperti Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan, Banggai di Sulawesi Tengah, dan Bone Bolango di Gorontalo. Bencana banjir menyebabkan korban menderita dan mengungsi mencapai 40.275 jiwa. Selain itu, Gunung Slamet yang terletak di Provinsi Jawa Tengah juga menunjukkan peningkatan aktivitas vulkaniknya. Ini menammbah daftar peristiwa bencana di Indonesia.

Menurut Direktur Magister Studi Manajemen Bencana, Sekolah Pascasarjana UGM, Prof Sudibyakto (2014), Indonesia memiliki setidaknya 13 tipe bencana, baik bencana yang datang dari alam maupun dari hasil perbuatan manusia. Bencana tersebut diantaranya, banjir, erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, kekeringan, hingga kebakaran hutan. Pernyataan tersebut selaras dengan peta multi bahaya yang diterbitkan oleh BNPB. Terdapat 321 kabupaten/kota atau 65 persen yang memiliki risiko tinggi. Sebanyak 173 kabupaten/kota berisiko sedang atau sebanyak 35 persen. 13 Jenis bencana yang ada di Indonesia yang dibuat peta risiko bencana adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, puting beliung, kekeringan, banjir, tanah longsor, gelombang pasang, kebakaran lahan dan hutan, epidemi dan wabah penyakit, gagal teknologi, kebakaran gedung dan permukiman, dan konflik sosial.

Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan terhadap bencana di dunia. Hal itu mengacu pada data UN-ISDR yang dirilis detikcom pada Rabu, 10 Agustud 2011. Indonesia memiliki berbagai jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan. Indonesia berada dalam posisi puncak dunia dari ancaman tsunami. Sebanyak 5.402.239 orang bisa kena dampaknya. Paparan tersebut menempatkan posisi Indonesia dalam posisi resiko bencana: a) untuk bencana tsunami, Indonesia rangking pertama dari 265 negara dengan jumlah 5.402.239 orang yang akan terkena dampaknya, b) untuk bencana tanah longsor, Indonesia rangking pertama dari 162 negara dengan 197.372 orang terkena dampaknya, c) untuk bencana gempa bumi, Indonesia rangking ketiga dari 153 negara dengan 11.056.806 orang terkena dampaknya, dan d) untuk bencana banjir, Indonesia rangking keenam dari 162 negara dengan 1.101.507 orang terkena dampaknya.

Secara geologis wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi. Indonesia juga disebut supermarket bencana, maka sudah seharusnya masyarakat menyadari dan meningkatkan kewaspadaan agar selalu siaga menghadapi bencana yang sewaktu-waktu datang.

Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 Tahun 2003, mitigasi atau penjinakan adalah upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana, yang meliputi kesiapsiagaan, kewaspadaan dan berbagai kemampuan untuk mengatasinya. Dapat dinyatakan bahwa mitigasi berarti tindakan preventif untuk mengurangi resiko kerugian, baik harta maupun nyawa yang meliputi aktivitas dan tindakan perlindungan yang dapat diawali dari persiapan sebelum bencana itu berlangsung, menilai bahaya bencana, penanggulangan bencana, berupa penyelamatan, rehabilitasi dan relokasi.

Masyarakat sering menjadi korban dalam setiap peistiwa bencana yang disebabkan ketidaksiapan mereka menghadapi peristiwa tersebut. Masyarakat masih mengandalkan peran pemerintah mengatasi bencana, sedangkan kemampuan pemerintah sangat terbatas, untuk itu partisipasi dan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana sangat diperlukan. Fakta tersebut menyadarkan kepada kita betapa pentingnya pembelajaran wawasan kebencanaan, baik bagi masyarakat umum maupun siswa. Masyarakat perlu diberi wawasan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana yang terjadi di sekitar mereka. Masyarakat harus jadi komunitas siaga bencana. Masyarakat perlu diberdayakan melalui pelatihan yang sesuai dengan karakter lingkungan masing masing agar tangguh dan bersikap profesional dalam mengelola sumber daya yang ada.

Sekolah perlu mengajarkan kepada siswa tentang bagaimana bersikap bijak terhadap lingkungan dan mempunyai keterampilan tindakan ketika terjadi bencana. Sekolah perlu memberikan wawasan kebencanaan kepada siswa melalui desain fisik dan aktivitas di sekolah yang dikemas dalam pembelajaran berwawasan kebencanaan. Bagi guru Geografi dan ilmu sejenis, potensi bencana menjadi tantangan untuk melaksanakan pembelajaran yang memberikan pengetahuan, dan keterampilan serta sikap positif terhadap lingkungan. Rekonstruksi pembelajaran kebencanaan menggunakan pendekatan saintifik merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan guru geografi.

Tujuan Pendidikan dan Pembelajaran Geografi di Sekolah

Muhammad Nuh (2013) menyatakan, bahwa secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya. Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya.

Pada Seminar dan Lokakarya Nasional di Semarang tahun 1988, Ikatan Geograf Indonesia (IGI) membuat kesepakatan tentang definisi geografi, yaitu ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang keruangan, kelingkungan dalam konteks keruangan.

Lokakarya tersebut juga mensepakati objek studi geografi, yaitu Objek material dan objek formal. Objek material geografi merupakan sasaran atau yang dikaji dalam studi geografi, yaitu lapisan-lapisan bumi atau tepatnya fenomena geosfer yang terdiri dari: a) atmosfer, yaitu lapisan udara: cuaca dan iklim yang dikaji dalam Klimatologi dan Meteorologi, b) lithosfer, yaitu lapisan batu-batuan yang dikaji dalam geologi, geomorfologi, petrografi, dll, c) hidrosfer, yaitu lapisan air meliputi perairan di darat maupun di laut yang dikaji dalam hidrologi dan oceanografi, dll, d) biosfer, yaitu lapisan kehidupan: flora dan fauna yang dikaji dalam biogeografi, biologi,dll, e) anthroposfer, yaitu lapisan manusia yang merupakan ‘tema sentral’ di antara lapisan-lapisan lainnya.

Objek formal Geografi merupakan metode pendekatan yang digunakan dalam mengkaji suatu masalah. Adapun Metode atau pendekatan objek formal geografi meliputi beberapa aspek, yakni a) Aspek Keruangan; geografi mempelajari suatu wilayah antara lain dari segi “nilai” suatu tempat dari berbagai kepentingan. Berdasarkan kondisi tersebut kita kemudian mempelajari letak, jarak, keterjangkauan dan sebagainya, b) Aspek Kelingkunganan; geografi mempelajari suatu tempat atau ruang dalam hubungannya dengan kondisi tempat atau ruang tersebut beserta komponen-komponen yang ada di dalamnya pada satu kesatuan wilayah. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen abiotik yang mencakup atmosfer, hidrosfer dan Litosfer; serta komponen biotik, yaitu hewan, tumbuhan dan manusia, c) Aspek Kewilayahan; geografi mempelajari kesamaan dan perbedaan wilayah dengan ciri khasnya masing-masing. Berdasarkan kekhasan yang dimiliki suatu wilayah muncul pewilayahan atau regionalisasi, seperti kawasan gurun yaitu daerah yang mempunyai ciri khas sebagai gurun, d) Aspek Waktu; geografi mempelajari perkembangan wilayah berdasarkan periode waktu atau perkembangan dan perubahan permukaan bumi dari waktu ke waktu.

Dalam mengkaji fenomena yang terjadi di permukaan bumi, termasuk peristiwa bencana alam, geografi terbagi menjadi geografi fisis dan geografi manusia yang keduanya tidak dapat dipisahkan, bahkan masing-masing cabang geografi tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hal tersebut dapat dipahami karena geografi mengkaji fenomena alam secara holistik sehingga kajian yang dilaksanakan dapat mengungkap semua fenomena yang ada.

Iwan Hermawan (2009) menegaskan bahwa studi geografi berkenaan dengan pengorganisasian ruang hasil interaksi antara faktor manusia dengan faktor-faktor geografi lainnya. Sehingga agar dapat menyerap dengan baik apa yang menjadi gejala dan masalah geografi, kita harus mampu mendalami hakikat faktor manusia dengan alam lingkungannya yang dapat kita peroleh jika kita memiliki pengetahuan dasar berkenaan dengan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Untuk kepentingan tersebut, kita harus menggunakan pendekatan sosiologi, ilmu ekonomi, antropologi, ilmu politik, dan lain sebagainya yang akan memperkaya perspektif kajian geografi.

Selain menyoroti aspek manusia, studi geografi juga menyoroti lingkungan fisik yang melatarbelakangi kehidupan manusia. Untuk mampu mengungkapkan latar belakangnya, guru geografi wajib memiliki pengetahuan dasar ilmu-ilmu yang berkenaan dengan lingkungan fisik seperti ilmu tubuh tanah, meteorologi, klimatologi, geologi, geomorfologi, kartografi, astronomi, ilmu kimia, ilmu fisika, dan lain-lain. Pendekatan berbagai ilmu tersebut dapat diterapkan untuk mengungkap berbagai gejala dan proses alam yang menjadi latar belakang kehidupan manusia.

Sebagai sebuah ilmu, geografi layak diajarkan kepada siswa, dari level SD sampai perguruan tinggi. Dalam implementasinya pengajaran geografi di sekolah sangat ditentukan oleh kurikulum yang berlaku, terutama menyangkut isi atau konten. Setiap periode kurikulum yang berlaku, mata pelajaran geografi juga diperlakukan berbeda. Pada kurikulum KBK yang hanya berlangsung 2 tahun, geografi “sempat” diberikan kepada seluruh siswa, baik kelas X, XI IPA IPS, dan XII IPA IPS (khusus kelas XII hanya sekolah tertentu yang memberikan pelajaran geografi pada siswa IPA). Kurikulum 2006 memperlakukan geografi hanya diberi tempat bergerak pada kelas X, XI IPS dan XII IPS, artinya ada pengurangan peran geografi di sekolah. Pada kurikulum 2013 geografi termasuk dalam kelompok mata pelajaran peminatan ilmu-ilmu sosial. Tujuan kelompok mata pelajaran peminatan: a) untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan minatnya dalam sekelompok mata pelajaran sesuai dengan minat keilmuannya di perguruan tinggi, dan b) untuk mengembangkan minatnya terhadap suatu disiplin ilmu atau ketrampilan tertentu.

Pengajaran geografi merupakan penjabaran geografi pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, juga memiliki karakter yang sama dengan geografi dan studi geografi. Dalam mempelajari dan mengajarkan geografi, pendekatan interdisipliner atau setidak-tidaknya multidimensional, menjadi ciri khas pengajaran geografi. Sehingga seorang guru geografi harus mempunyai kemampuan melakukan pendekatan interdisipliner atau multidimensional.

Berkaitan dengan materi kebencanaan, geografi sangat tepat dalam mengkaji masalah tersebut karena secara material, bencana merupakan salah satu fenomena yang atas di permukaan bumi (fenomena geosfer), sehingga geografi dituntut mengkaji secara detail dan obyektif untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, khususnya memberikan bekal kepada siswa agar kompeten, baik sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan.

Pembelajaran Kebencanaan di Sekolah

Di dalam undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 pasal 1 disebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Karakteristik bencana di Indonesia dipengaruhi oleh posisi geologis, posisi astronomis, dan perilaku manusianya yang menghasilkan berbagai bencana. Bakornas menginventarisir karakteristik bencana di Indonesia, yaitu banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, angin badai, gelombang badai/pasang, gempa bumi, letusan gunung api, kegagalan teknologi, dan wabah penyakit. Dengan demikian, pemahaman tentang kebencanaan harus menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia, karena suka atau tidak kehidupan kita sehari-hari telah dikepung oleh bahaya bencana, khususnya bencana alam. Perlu ditekankan bahwa aspek yang harus diperhatikan kaitannya dengan masalah bencana adalah masalah pengurangan resiko bencana (PRB).

Dalam tulisannya, Siti Irene Astuti D, dan Sudaryono, SU (2010) memaparkan bahwa penanganan terhadap resiko bencana belum dilakukan secara optimal. Artinya bahwa Indonesia sebagai daerah rawan bencana masih memiliki 3 masalah utama: a) masih rendahnya kinerja penanganan bencana, b) masih rendahnya perhatian perlunya pengurangan resiko bencana, dan c) masih lemahnya peran sekolah dalam pendidikan mitigasi bencana. Sumber utama permasalahan tersebut adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap masalah kebencanaan. Agar pemahaman kebencanaan dimiliki oleh masyarakat, maka pembelajaran wawasan kebencanaan harus terus digiatkan.

Secara sederhana ada dua jalur utama yang dapat dilalui untuk melaksanakan pembelajaran kebencanaan, yaitu jalur formal dan jalur non formal. Keduanya mempunyai karakter dan segmen peserta didik yang berbeda, tetapi sama-sama penting untuk dilaksanakan. Jalur formal merupakan pendidikan kebencanaan yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan, dari SD sampai perguruan tinggi, sedangkan jalur non formal dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara swadaya atau mandiri dan melalui institusi terkait, misalnya pusat-pusat kajian bencana perguruan tinggi, LSM, dan lembaga lain yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi bencana.

Pembelajaran kebencanaan di sekolah mendesak untuk dilaksanakan, bahkan beberapa pihak mulai menyuarakan pendidikan bencana dimasukkan dalam kurikulum. Secara tegas, Peneliti Pusat Studi Bencana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Danang Sri Hadmoko mengatakan, dengan dimasukkannya kurikulum bencana pada pendidikan sekolah formal diharapkan pengurangan risiko bencana menjadi kultur masyarakat. Sebagai daerah rawan bencana, masyarakat dituntut untuk siap menghadapinya. Untuk itu, informasi dan pembelajaran kebencanaan perlu disosialisasikan dan pengurangan risiko bencana harus menjadi budaya masyarakat (MICOM 15/5/2012).

Namun demikian jika melihat gejala penyederhanaan muatan kurikulum pada satuan pendidikan, nampaknya sulit pembelajaran kebencanaan secara eksplisit masuk dalam kurikulum sekolah. Namun demikian, sekolah dapat mensiasati tanpa mengorbankan kurikulum, yaitu melalui kurikulum muatan lokal seperti yang disarankan oleh Enok Maryani.

Dalam paparannya, Enok Maryani menegaskan bahwa materi muatan lokal mengenai kebencanaan merupakan materi yang sangat penting, mengingat banyak terjadinya bencana di Indonesia. Pengetahuan kita terhadap pemahaman bencana di lingkungan sekitar merupakan awal dari pengenalan materi kebencanaan dan bagaimana siswa dapat mengetahui cara penanggulangan bencana. Untuk mengetahui daerah-daerah yang potensial terjadinya bencana di Indonesia umumnya sangat penting untuk dipelajari, jenis bencana yang potensial terjadi di lingkungan sekolah dan tempat tinggal merupakan contoh kongkrit dari pengenalan muatan lokal pembelajaraan mengenai materi kebencanaan.

Pemahaman tentang pencegahan bencana dirasakan sangat penting, termasuk bagaimana kita dapat mengantisipasi terjadinya bencana, namun pemahaman mengenai kebencanaan ini perlu diimbangi dengan macam-macam materi tentang kebencanaan yakni: peringatan dini terhadap bencana, bagaimana cara penanggulangan bencana tersebut yang merupakan segmentasi muatan lokal yang mesti diajarkan kepada setiap peserta didik, yang terdiri dari beberapa aspek muatan lokal yang mesti dikenalkan kepada peserta didik yaitu: tindakan untuk menghadapi bencana sangat penting, tindakan untuk mengatasi bencana sangat penting pula, dan bagaimana tindakan dalam menghadapi pasca bencana sangat penting untuk dikenalkan kepada peserta didik.

Pembelajaran kebencanaan di sekolah juga dicontohkan oleh Ani Rusilowati, dkk (2012) melalui Mitigasi bencana alam berbasis pembelajaran bervisi Science Environment Technology And Society (SETS). Kon­sep bencana alam ini akan mudah dipahami jika dijelaskan dengan menggunakan model pembelajaran bervisi SETS, yaitu keterpaduan antara ilmu (Science), lingkungan (Environ­ment), teknologi (Technology), dan masyarakat (Society). Model pembelajraan ini dikemas dan diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah yang dilaksanakan mulai pada jenjang pendidi­kan dasar dengan alasan: a) hasil pendidikan bersifat tahan lama dan berjangka panjang, b) menjangkau populasi yang cukup besar untuk masa depan bangsa, dan c) merupakan masa sangat tepat untuk menyemaikan nilai-nilai so­sio-moral kepada peserta didik.

Model pembelajaran bervisi SETS, me­nuntun peserta didik untuk mengaitkan kon­sep sains dengan unsur lain dalam SETS. Cara ini memungkinkan peserta didik memperoleh gambaran lebih jelas tentang keterkaitan kon­sep tersebut dengan unsur lain dalam SETS, baik dalam bentuk kelebihan ataupun kekuran­gannya (Binadja, 2001; 2005). Setiap peserta didik memiliki kemampuan dasar berbeda-be­da, melalui penerapan konstruktivisme peserta didik dapat melakukan pembelajaran dari ber­bagai titik awal yang mereka kenal dekat den­gan konsep sains yang akan dipelajari. Model pembelajaran bervisi dan bervisi SETS dengan Sains sebagai titik awal yang disesuaikan dengan minat dan bakat peserta didik diharapkan mendorong keingintahuan dan memperkuat inisiatif peserta didik untuk mengaitkan dengan unsur-unsur SETS lainnya.

Secara swadaya sekolah dapat mendeklarasikan diri sebagai sekolah berwawasan kebencanaan atau sekolah siapsiaga bencana, yaitu sekolah yang dalam kesehariannya telah menerapkan prinsip-prinsip kesiapsiagaan menghadapi bencana yang akan datang. Harus diakui deklarasi tersebut memang tidak lumrah, karena biasanya sekolah lebih percaya diri mendeklarasikan sebagai sekolah bertaraf internasional atau sekolah standar nasional. Namun demikian tidak ada salahnya dicoba seperti SMA Negeri 2 Bandung yang mendeklarasikan diri sebagai sekolah hijau atau greenschool dan SMA Negeri 2 Klaten dengan sekolah SWALIBA (Sekolah Berwawasan Lingkungan dan Mitigasi Bencana).

Melalui sistem dan perangkat yang ada sekolah dapat mendorong warganya siap siaga terhadap bencana melalui desain fisik atau layout sekolah dan aktivitas pembelajaran sehari-hari. Melalui kedua cara tersebut kita dapat menilai apakah suatu sekolah menganut sebagai sekolah berwawasan kebencanaan atau tidak. Secara singkat dapat dipaparkan bahwa ciri-ciri sekolah berwawasan kebencanaan adalah:

a. Pengaturan parkir kendaraan memperhatikan posisi kendaraan terhadap gedung dan akses masuk kendaraan. Kendaraan disusun membelakangi gedung yang memungkinkan kendaraan cepat menjauh jika gedung mengalami kebakaran atau rubuh. Akses masuk dan keluar juga ditata dengan rapi sehingga tidak menimbulkan kemacetan.

b. Konstruksi bangunan sekolah kokoh dan memberi keleluasaan siswa bergerak. Jika gedung berlantai dua atau lebih, pembangunan telah memperhatikan aspek-aspek keselamatan penghuninya dan pada titik-titik strategis ada informasi jalur evakuasi.

c. Jumlah pintu tiap kelas minimal ada dua, sedangkan susunan tepat duduk bagi siswa menyesuaikan jenis kelamin. Deretan tempat duduk siswa putri idealnya lebih dekat dari pintu keluar. Tiap kelas juga harus dilengkapi jendela yang cukup.

d. Sekolah tidak boros energy. Penggunaan peralatan yang banyak mengkonsumsi energy harus diminimalisir, sehingga konstruksi dan desain sekolah harus dirancang dengan baik.

e. Setiap bangunan dilengkapi sumur resapan yang berfungsi membantu proses meresapnya air kedalam tanah. Halam sekolah juga minim beton, artinya proses peresapan air kedalam tanah dapat dimaksimalkan.

Aktivitas pembelajaran sebagai wujud sekolah berwawasan kebencanaan dapat dilaksanakan melalui pembelajaran intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Melalui pembelajaran intrakurikuler, sekolah dapat “menitipkan” materi kebencanaan pada mata pelajaran yang relevan dengan masalah kebencanaan. Misalnya geografi, biologi, fisika, dan mata pelajaran lain yang dianggap cocok. Jika pembelajaran kebencanaan dititipkan pada mata pelajaran tertentu, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan: a) pengetahuan tentang resiko kebencanaan, b) kebijakan, peraturan, dan panduan dan kewenangan, c) sistem peringatan dini, d) sistem informasi kebencanaan, e) partisipasi dalam mitigasi bencana, f) kearifan local, dan g) perencanaan keadaan darurat. Aspek-aspek tersebut merupakan kunci dalam melaksanakan pembelajaran kebencanaan di sekolah, karena sasaran utama pembelajaran kebencanaan di sekolah adalah memberikan pemahaman kepada seluruh warga sekolah tentang kondisi nyata bahaya bencana dan upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengurangi resiko bencana.

Kegiatan ekstrakurikuler juga perlu digalakkan tentang kegiatan berbasis keterampilan kerjasama seperti pramuka, PMR, pecinta alam, paskibra, dan kegiatan lain yang sejenis. Kegiatan tersebut di beberapa sekolah sudah mulai dilupakan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat pembaharuan dan modernitas sekolah yang mengejar mimpi sebagai sekolah bertaraf internasional. Namun demikian, jika keberadaan ekstrakurikuler tersebut diopeni maka ketahanan sekolah akan meningkat karena mempunyai siswa yang biasa bekerja sama dalam menyelesaikan setiap permasalahan, termasuk menghadapi bencana.

Konstruksi Pembelajaran Kebencanan Pada Mata Pelajaran Geografi

Sesuai dengan Permendikbud Nomor 69 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah ditegaskan bahwa Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan pola pikir kurikulum sebelumnya: a) pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama, b) pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya), c) pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet), d) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains), e) pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim), f) pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia, g) pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik, h) pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines); dan i) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis.

Implementasi pembelajaran geografi harus memperhatikan karakteristik kurikulum 2013: a) mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik, b) sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar, c) mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat, d) memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan, e) kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran, f) kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti, g) kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).

Rekomendasi pendekatan pembelajaran dalam kurikulum 2013 menggunakan pendekatan ilmiah atau saintifik. Menurut Endang Komara (2013) pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pendekatan ilmiah (scientific approach) apabila memenuhi 7(tujuh) kriteria pembelajaran: 1) materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu, semata, 2) penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru siswa terbebas dari prasangka yang serta merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis, 3) mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran, 4) mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan sama lain dari materi pembalajaran, 5) mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran, 6) berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan, dan 7) tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

Implementasi pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik adalah melaksanakan pemelajaran yang di dalamnya mengandung unsur 5 M, yaitu mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Mengamati dapat diwujudkan dengan kegiatan yang mendorong siswa melaksanakan aktivitas untuk mendapatkan informasi tentang kebencanaan, baik melalui buku, majalah, koran, tayangan film, dan sumber lain yang relevan. Menanya dapat berupa pertanyaan bertingkat yang diajukan oleh guru atau siswa. Pertanyaan guru diharapkan bersifat produktif dan terbuka. Pertanyaan produktif adalah pertanyaan yang mendorong siswa melakukan aktivitas untuk menjawab pertanyaan tersebut, adapun pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberi ruang siswa menjawab dengan benar. Jawaban benar tidak hanya satu, tapi lebih sehingga kreativitas siswa mendapat ruang yang tepat. Mencoba merupakan usaha yang dilakukan siswa mengembangkan tujuan belajar yang meliputi ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Menalar adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan melalui cara induktif dan deduktif. Penalaran induktif dilakukan dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum, proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme (kategorial, hipotesis dan alternatif). Mengomunikasikan merupakan langkah terahir sebagai pertanggungjawaban aktivitas yang telah dilaksanakan. Siswa dapat mengomunikasikan melalui tulisan, gambar, maupun verbal.

Mata pelajaran Geografi membangun dan mengembangkan pemahaman peserta didik tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada muka bumi. Peserta didik didorong untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di permukaan bumi. Selain itu peserta didik dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah.

Mata pelajaran Geografi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: a) memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan, b) menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi, c) menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat.

Ruang lingkup mata pelajaran Geografi meliputi aspek-aspek: a) konsep dasar, pendekatan, dan prinsip dasar Geografi, b) konsep dan karakteristik dasar serta dinamika unsur-unsur geosfer mencakup litosfer, pedosfer, atmosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer serta pola persebaran spasialnya, c) jenis, karakteristik, potensi, persebaran spasial Sumber Daya Alam (SDA) dan pemanfaatannya, d) karakteristik, unsur-unsur, kondisi (kualitas) dan variasi spasial lingkungan hidup, pemanfaatan dan pelestariannya, d) kajian wilayah negara-negara maju dan sedang berkembang, d) konsep wilayah dan pewilayahan, kriteria dan pemetaannya serta fungsi dan manfaatnya dalam analisis geografi, d) pengetahuan dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh.

Menurut Saifudin Amsa (2009), Pendidikan kebencanaan di sekolah lebih dari sekedar menyelamatkan diri. Banyak dimensi yang digali dalam pendidikan kebencanaan yang sesungguhnya lebih mendasar. Dimensi paling utama adalah dimensi pengetahuan dan keterampilan. Kegiatan pembelajaran kebencanaan di sekolah mengajarkan pengetahuan tentang aspek-aspek bencana itu sendiri. Di dalamnya memuat cara mengetahui apa saja ancaman-ancaman yang bisa berpotensi menimbulkan bencana, baik ancaman dari alam maupun sosial. Disini digali apa saja penyebabnya, bagaimana cara menanggulanginya. Dari dimensi keterampilan, pelajaran kebencanaan juga membekali anak didik dengan keterampilan khusus kaitannya dengan bencana, baik sebelum, saat maupun sesudah terjadi bencana.

Sebagai contoh, pada fase sebelum, siswa diajarkan keterampilan pemetaan ancaman (hazard mapping), di mana mereka diajak untuk menggali apa saja potensi ancaman bencana di lingkungan sekolah, misalnya sekolah berada di bawah gunung, dekat dengan sungai, tidak memiliki halaman yang luas dan sterusnya. Dari situ siswa membuat cara yang paling mungkin ketika terjadi bencana. Pada fase saat terjadi bencana, siswa diberi keterampilan teknik saat terjadi gempa bumi, banjir bandang atau bencana lainnya berdasar rencana evakuasi yang sudah dibuat. Untuk melakukan penanganan terhadap korban yang mungkin terjadi diajarkan keterampilan pertolongan pertama. Lalu pada fase setelah terjadi bencana siswa diajak melakukan langkah-langkah yang bisa mencegah terjadinya bencana dikemudian hari.

Untuk mewujudkan dimensi-dimensi tersebut guru dapat melaksanakan pembelajaran melalui beberapa skenario. Skenario pertama, guru geografi menempatkan materi kebencanaan sebagai tema dalam kegiatan pembelajaran sehingga dihasilkan pembelajaran geografi berbasis tema kebencanaan. Cara yang ditempuh guru bermacam-macam, misalnya memberikan tugas terstruktur kepada siswa yang berkaitan dengan kebencanaan. Skenario ini sangat sederhana tapi cenderung dangkal karena kajian tentang kebencanaan hanya berlangsung sekilas.

Skenario kedua, guru geografi mengambil beberapa kompetensi dasar (KD) yang mengandung materi kebencanaan. Contoh KD yang mengandung materi kebencanaan: a) menunjukkan perilaku proaktif dalam mempelajari hakekat ilmu dan peran geografi untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, b) menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab sebagai makhluk yang dapat berfikir ilmiah, c) menunjukkan perilaku responsif dan bertanggung jawab terhadap masalah yang ditimbulkan oleh dinamika geosfera, d) menunjukkan sikap peduli terhadap peristiwa bencana alam dengan selalu bersiap siaga, membantu korban, dan bergotong royong dalam pemulihan kehidupan akibat bencana alam. Dalam implementasinya, pembelajaran kebencanaan harus tetap berpedoman pada pendekatan studi geografi. Pada studi geografi, pendekatan yang dilakukan mencakup pendekatan analisa keruangan (spatial analysis), analisa ekologi (ecological analysis), dan analisa kompleks wilayah (regional komplex analysis).

Model pembelajaran kebencanaan perlu dirancang secara terintegrasi dalam proses pembelajaran di kelas tanpa menambah beban belajar siswa. Guru geografi perlu menyusun model pembelajaran yang kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga proses pembelajaran tidak menimbulkan kejenuhan bahkan ketakutan, tapi mampu memberi kesadaran kepada siswa tentang informasi kebencanaan dan upaya strategis yang dapat dilakukan. Model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu (Mills; 1989:4). Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Pengertian model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas. Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi peserta didik, dan member petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Memilih suatu model mengajar, harus disesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas yang ada, serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerja sama dilakukan antara guru dan peserta didik.

METODE PENELITIAN

a. Setting Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di MAN KOTA CIMAHI dengan melibatkan dua pengamat ( guru GEOGRAFI dan kepala sekolah) di sekolah tersebut.

b. Indikator Keberhasilan

Keberhasilan dari penelitian tindakan kelas ini dapat dilihat dari pencapaian kompetensi yang harus dikuasai siswa, yaitu :

1. Kemampuan menghitung skala dalam melihat posisi dalam Penggunaan Peta Atlas dan Globe

2. Kemampuan menjelaskan pengertian dalam melihat posisi dalam Penggunaan Peta Atlas dan Globe

3. Kemampuan menggambarkan dan menerangkan dalam melihat posisi dalam Penggunaan Peta Atlas dan Globe

4. Kemampuan untuk menjelaskan bagaimana dalam melihat posisi dalam Penggunaan Peta Atlas dan Globe

c. Rencana Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam 2 siklus dimana masing-masing siklus tingkat keberhasilannya disesuaikan dengan kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai siswa setelah proses pembelajaran.

Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini meliputi :

1. Penjajakan

Dilakukan melalui serangkaian tes yang dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa dan mengeksplorasi masalah-masalah yang dihadapi siswa yang dihubungkan dengan kompetensi yang ingin dicapai.

Skenario Tindakan

Dalam penelitian ini, skenario tindakan berlangsung dalam 2 siklus yaitu :

· Siklus Pertama

Tahap-tahap tindakan yang dilakukan pada siklus pertama ini adalah :

(1) Refleksi Awal

Peneliti bersama-sama dengan pengamat (guru mitra) menggali permasalahan dan kesulitan yang dihadapi guru dalam meningkatkan minat belajar siswa terhadap pembelajaran Geografi dalam melihat posisi dalam Penggunaan Peta Atlas dan Globe

. Dan selanjutnya dilakukan diskusi diantara para peneliti tentang hasil kerja siswa awal untuk menentukan rancangan tindakan-tindakan terhadap permasalahan tersebut.

(2) Penetapan dan Rancangan Tindakan

Rancangan tindakan yang akan dilaksanakan peneliti adalah sebagai berikut :

Mensetting Kelas,

Memandu PBM

Penyampaian Materi

Dengan Media Komputasi

Mendeskripsikan dan

Menjelaskan tampilan slide

Diskusi

(3) Pelaksanaan Tindakan

Siklus pertama dilaksanakan selama 3 jam pelajaran atau 3 x 45 menit, dengan rincian sebagai berikut :

a. Jam pertama (45 menit), guru mensetting kelas.

b. Jam kedua (45 menit), salah satu peneliti (guru mitra) menyampaikan materi sifat-sifat koligatif larutan dengan media komputasi.

c. Jam ketiga (45 menit), dengan bimbingan guru siswa diajak berdiskusi untuk mengeksplorasi pemikirannya tentang pengamatan terhadap materi yang ditampilkan pada LCD, sehingga terjadi transfer ilmu secara tidak langsung dari guru kepada siswa.

(4) Monitoring

Tindakan monitoring ini dilakukan selama proses pembelajaran di kelas berlangsung, dengan menggunakan teknik pengamatan dan pencatatan yang meliputi kejadian, perubahan tingkah laku laku, cara, dan teknik pendokumentasian terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di dalam kelas.

(5) Analisis Data dan refleksi

Data hasil monitoring yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kolaboratif antara peneliti dengan guru, yang bertujuan untuk mengetahui apakah skenario yang kita siapkan dan lakukan telah mencapai tujuan seperti pada kompetensi-kompetensi yang ada. Sehingga berdasarkan analisis tersebut, maka peneliti dapat melakukan refleksi dimana kelemahan ataupun kelebihan pada siklus pertama dapat diidentifikasi dan dapat diminimalisasi pada siklus selanjutnya.

(6) Data dan Cara Pengumpulan

Data

Cara Pengumpulan

Sumber

Hasil Pengamatan Partisipatif

Lembar Pengamatan /Observasi

Siswa

Observasi aktivitas di kelas

Lembar Observasi

Siswa

Pengukuran hasil belajar

Lembar Hasil tes

Siswa

· Siklus Kedua

Siklus kedua ini dilaksanakan dengan berpegang pada hasil analisis dari kegiatan di siklus pertama, yaitu dari bagaimana hasil dan kekurangan langkah dari siklus pertama di atas, akibat serta perubahan apa saja yang harus dilakukan pada siklus kedua ini. Dengan demikian, tahap-tahap tindakan pada siklus kedua juga sama dengan tahap pada siklus pertama, hanya saja materi yang disampaikan berbeda, yaitu tentang elektrokimia.

Pada siklus kedua ini, siswa akan diajak untuk menjelaskan dan mendeskripsikan tampilan slide yang disajikan berdasarkan pengamatan dan pemikirannya (eksplorasi pengetahuan siswa). Sedangkan pada akhir proses pembelajaran, siswa juga diharuskan untuk mengerjakan tes seperti pada siklus ketiga.

I. JADWAL PENELITIAN

Penelitian Tindakan Kelas ini akan dilakukan selama 5 bulan (Agustus s.d. Desember) yang meliputi kegiatan : Persiapan Penelitian, Pelaksanaan dan Penyusunan Laporan. Rincian jadwal kegiatan penelitian adalah sebagai berikut :

RINCIAN

BULAN KE-

KEGIATAN

1

2

3

4

5

1. Persiapan

2. Pelaksanaan Siklus I

a. Skenario Tindakan

b. Pelaksanaan Tindakan, Pengamatan dan

Interpretasi

c. Analisis Data dan Refleksi

3. Pelaksanaan Siklus II

a. Skenario Tindakan

b. Pelaksanaan Tindakan, Pengamatan dan

Interpretasi

c. Analisis Data dan Refleksi

4. Penyusunan Laporan

6. Penggandaan dan Pengiriman Hasil Penelitian

J. PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

1. Honorarium

a. Ketua Peneliti selama 5 bulan

(1 x 5 x Rp 100.000,-)

Rp 500.000,-

b. Anggota Peneliti

(2 x 5 x Rp 75.000,-)

Rp 750.000,-

2. Transport ( 3 x 5 x Rp 50.000,-)

Rp 750.000,-

3. Bahan dan alat Penelitian

a. Kertas 2 rim

Rp 100.000,-

b. Tinta Printer

Rp 100.000,-

c. Instrumen Observasi

Rp 400.000,-

d. Sewa LCD

Rp 750.000,-

e. Pembuatan Slide/Animasi

Rp 4.000.000,-

f. Dokumentasi

Rp 500.000,-

4. Pengumpulan Data

Rp 400.000,-

5. Analisis data

Rp 1.000.000,-

6. Penyusunan laporan

Rp 500.000,-

7. Seminar dan Penggandaan Laporan Penelitian

a. Seminar untuk 50 orang

Rp 500.000,-

b. Penggandaan dan Pengiriman Laporan

Rp 500.000,-

TOTAL

Rp 10.750.000,-

K. PERSONALIA PENELITIAN

Penutup

Pembelajaran kebencanaan dapat dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur formal dan non formal. Jalur formal dalam pembelajaran kebencanaan dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Adapun pembelajaran formal dapat dilaksanakan oleh sekolah dari level SD sampai SMA. Pembelajaran kebencanaan di sekolah dapat dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Melalui pembelajaran intrakurikuler, sekolah dapat “menitipkan” materi kebencanaan pada mata pelajaran yang relevan dengan masalah kebencanaan. Misalnya geografi, biologi, fisika, dan mata pelajaran lain yang dianggap cocok. Guru geografi perlu menyusun model pembelajaran yang kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga proses pembelajaran tidak menimbulkan kejenuhan bahkan ketakutan, tapi mampu memberi kesadaran kepada siswa tentang informasi kebencanaan dan upaya strategis yang dapat dilakukan. Pendekatan saintifik menjadi salah satu pendekatan yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuan, menumbuhkan kecerdasan sosial, dan mendorong siswa lebih peduli dan siap menghadapi kemungkinan peristiwa bencana.

Daftar Pustaka

Ani Rusilowati, dkk .2012. Mitigasi bencana alam berbasis pembelajaran bervisi Science Environment Technology And Society. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia.ISSN: 1693-1246 terbit Januari 2012

BNPB. 2014. Informasi Kebencanaan Bulanan Teraktual Edisi Agustus 2014.

Detik.com.2011. Indonesia Rangking Pertama Dunia dari Ancaman Tsunami & Longsor Rabu, 10 Agustus 2011

Detik.com.2012. 321 Kabupaten di Indonesia Berisiko Terkena Bencana. Kamis, 2 Februari 2012.

Endang Komara. 2013. Pendekatan saintifik dalam kurikulum. endangkomara.blogspot.com

Enok Maryani. Model Pembelajaran Mitigasi Bencana Dalam Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah Menengah Pertama

http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html. diunduh tanggal 24 September 2014

Media-Indonesia.com. 2012. Kebencanaan Layak Masuk Kurikulum Pendidikan. Selasa, 15 Mei 2012

Mohammad Nuh. 2013. Kurikulum 2013. Dimuat di Harian Kompas, Kamis, 7 Maret 2013

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

Saefudin Amsa. 2009. Tak Sekadar Berlindung ke Bawah Meja…(Pendidikan Bencana di Sekolah bagian 2). Kompasiana, 4 Juni 2009.

Siti Irene Astuti D, Sudaryono, SU. Peran Sekolah dalam Pembelajaran Mitigasi Bencana. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Volume 1 Nomor 1 Tahun 2010.

Suyoso, Juli Astono, Dadan Rosana (2009). Model kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) dalam bentuk pembelajaran sekolah darurat dengan pendekatan fun learning menggunakan media pembelajaran dari limbah rumah tangga untuk Penanganan pendidikan di daerah pasca bencana. Makalah dalam Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009

Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Catatan

Artikel artikel dalam PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN XVII & KONGRES IKATAN GEOGRAF INDONESIA Tema: “POTENSI GEOGRAFI INDONESIA MENUJU ABAD 21 ASIA”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post