Agus Pramono

adalah perangkai kata-kata, yang lebih suka disebut sebagai penulis pembelajar. seorang wernicke yang punya hobi travelling, numismatik kecil-kecilan dan m...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jejak Majapahit di Thailand

Jejak Majapahit di Thailand

Mojokerto, Rabu, 6 Mei 2020

Hasil perjalanan ke Bangkok, selama beberapa hari, kami belajar bagaimana menulis cerita dengan model travel writer, ini buahnya. Ini tulisan pertama saya, tentu jauh dari disebut sebagagi tulisan yang bagus. Saya juga keder, grogi dan mengkeret kalau tulisan saya dibanding dengan tulisan orang lain. Saya memang belajar dari guru yang sangat keren. Namun, saya bukanlah murid yang pinter. Kelemahan dan kekurangan tulisan saya bukan dari gurunya. Itu murni karena keterbatasan yang saya miliki.

Ini tulisan saya, lima tahun yang silam.

Menyusuri Ayutthaya, Melacak Jejak Muhibah Majapahit di Thailand

Oleh: Agus Pramono

Kebesaran negeri Majapahit yang termasyhur hingga negeri Thailand bukan sekadar cerita. Melalui perjalanan singkat wisata literasi #XploreBangkok awal April lalu, saya mencoba menemukan jejak ratusan tahun lalu yang ditinggalkan Majapahit di negeri gajah putih. Di Ayutthaya, sebuah kota kuno yang hingga kini masih menyisakan pemandangan arkeologis masa lalu yang luar biasa, cerita itu dimulai.

#XploreBangkok adalah program wisata literasi yang digagas oleh Gol A Gong, penulis, sastrawan asal Banten yang populer dengan novel Balada Si Roy. Kegiatan itu diikuti oleh 10 orang termasuk Toto St Radik, penulis dan sastrawan sahabatnya.

Berkunjung beberapa hari di Bangkok dan –tentu saja– menyempatkan mampir ke Ayutthaya seolah menjadi keharusan dan wajib bagi saya sebagai orang yang terlahir di Mojokerto. Dari pengalaman itulah terlihat betapa Thailand benar-benar sangat paham bagaimana cara merawat dan memperlakukan peninggalan purbakala di masa lalu, demi masa kini dan masa depan kelak. Hampir semua warisan umat terdahulu yang bernilai sejarah tinggi itu masih sangat terawat baik hingga saat ini. Ayutthata merupakan kota tua bekas ibukota Thailand sebelum dipindahkan ke Bangkok.

Rombongan kami yang berjumlah 10 orang, semula sempat bingung memilih alat transportasi dari penginapan kami di Chakrabongse Road menuju Ayutthaya. Ada usulan naik tuk-tuk, kendaraan beroda tiga khas Thailand sejenis bemo. Lalu ada yang ingin naik bis, MRT atau kereta api. Akhirnya, setelah ada tawaran yang lebih murah dari sebuah biro perjalanan lokal. Kami akhirnya terima opsi terakhir, bermobil bersama 4 wisatawan lain, 2 cowok dari Korea dan 2 cewek dari Bolivia. Selain mobilnya nyaman, juga disediakan pemandu wisata untuk mengantar keliling. Kota berjarak 76 kilometer dari Bangkok itu akhirnya bisa ditempuh dengan mobil selama kurang lebih satu jam.

Pertama kali mobil van yang membawa rombongan kami memasuki area kompleks bangunan kuno itu langsung melayangkan pikiran saya pada candi-candi yang ada di Trowulan, Mojokerto, kampung kelahiran saya - yang merupakan tanah warisan kerajaan Majapahit. Candi-candi berbahan bata merah yang terbangun megah nan eksotis itu masih terlihat kokoh berdiri. Beberapa memang terlihat rapuh dimakan umur dan zaman, berupa sisa candi yang tinggal sebagian, puing yang teronggok menjadi serpihan, rengkahan reruntuhan yang tak terawat tapi tetap mengandung unsur historis dan beberapa patung stupa yang hilang kepalanya. Tetapi masih banyak bangunan candi yang utuh berdiri kokoh seolah menunjukkan kuasa tanah negeri gajah putih itu dalam merawat peninggalan purbakala bersejarah. Jika dibanding yang ada di Trowulan, jumlah candi di Ayutthaya jelas lebih banyak dan lokasinya berbentuk seperti blok. Ada juga kolam besar seperti Segaran di salah satu area. Sayang sekali, pemandu wisatanya terlalu kental dialek dan logat Thailand-nya. Meskipun saya pengajar bahasa Inggris, saya nyaris tak mampu menyimak. Hanya memang sering disebutnya bahwa pada sebuah zaman, sudah ada hubungan antara kerajaan Ayutthaya dengan Indonesia. Sepulang dari sinilah, saya mulai penasaran dan mulai membuka-buka literatur serta browsing di internet untuk menemukan korelasi antara Majapahit dan Ayutthaya di masa lalu. Intinya, keduanya adalah negara yang sangat besar dan disegani di zamannya.

Ayutthaya masa kini adalah ibarat cermin raksasa yang masih memperlihatkan dengan jelas, betapa luar biasa Thailand di masa lampau, meski kerap dilanda konflik berkepanjangan, tetap mampu menjaga peninggalan arkeologis dan purbakala. Dari hasil pencarian yang saya temukan, Ayutthaya (yang nama lengkapnya Phra Nakhon Si Ayutthaya, atau konon dulu juga dikenal dengan nama Ayodhya) adalah kerajaan bangsa Thai yang berdiri pada kurun waktu 1351 sampai 1767 M. Setelah menaklukkan kerajaan Sukhothai yang didirikan pada tahun 1238, kerajaan ini kemudian diteruskan oleh Raja Ramathibodi I (Uthong) dan mendirikan Kerajaan Ayutthaya (Siam). Dalam catatan sejarah, Ayutthaya merupakan ibukota kedua setelah Sukhothai dan memiliki wilayah yang padat. Di masa yang relatif damai tersebut, kesenian, kesusastraan dan pembelajaran berkembang.

Dalam perkembangannya, Ayutthaya sangat aktif melakukan perdagangan dengan berbagai negara asing seperti Tiongkok, India, Jepang, Persia dan beberapa negara Eropa. Penguasa Ayutthaya bahkan mengizinkan pedagang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Perancis untuk mendirikan pemukiman di luar tembok kota Ayutthaya. Dikisahkan pula, Raja Narai (1656-1688) bahkan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Raja Louis XIV dari Perancis dan tercatat pernah mengirimkan dutanya ke Perancis. Informasi ini saya peroleh dari wikipedia.com.

Di laman tersebut memang tidak disebut bahwa Ayutthaya memiliki hubungan dengan Indonesia, seperti yang diceritakan pemandu wisata. Pun si bapak memang hanya mengatakan dari Indonesia tanpa menyebut secara detail kerajaan Majapahit yang berdiri sekitar abad ke-13 itu. Sementara menurut Kitab Kakawin Desa Warrnnana atau Nagara Krtagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, disebutkan dalam Pupuh atau Wirama 15; Sikharini, bahwa:

“nahan lwirniɳ deçantara kacaya de çri narapati, tuhn taɳ syangkayodhya pura kimutaɳ darmmanagari, marutma mwaɳ riɳ rajapura nguniweh singha nagari, ri campa kambhoja nyati yawana mitreka satata”

Inilah negara asing yang mempunyai hubungan dengan Baginda Raja,

Ternyata negeri Siya (Siam) Ayodyapura, begitu pun Darmanagari,

Marutma, Rajapura, terutama Singha Nagari,

Campa, Kamboja, dan Yawana adalah negara sahabat.

Dari catatan Mpu Prapanca itu, tak dapat dipungkiri bahwa pada masa keemasan Majapahit sebenarnya sudah terjalin hubungan dengan Thailand. Hanya saja, seperti apa dan bagaimana hubungan yang terjalin antara keduanya tidak ada bukti fisik yang bisa dijadikan referensi. Bisa saja hubungan yang terjadi sebatas urusan sederhana, seperti hubungan dagang, seni, sastra ataupun pembelajaran, bukan terkait hubungan diplomatis dan sejenisnya. Juga tak tertemukan bekas peninggalan muhibah seperti candi, artefak atau prasasti penanda terjalinnya kekerabatan keduanya.

Waktu kunjungan yang teramat singkat tidak cukup buat mengelilingi area komplek candi di Ayutthaya secara lengkap dan memuaskan. Cuaca panas terik menjadi cerita pelengkap perjalanan wisata ke Bangkok. Ditambah luas areal Ayutthaya yang meliputi 2.556 kilometer persegi, dan secara administratif dibagi menjadi 16 distrik (Amphoes) pasti menguras energi jika memaksakan seharian disini.

Beberapa kronologi bersejarah yang dialami Ayutthaya, Tahun 1376, Ayutthaya mengalahkan dinasti Kerajaan Sukhothai, yang terletak 640 km ke arah utara. Sukhothai yang saat itu memiliki memiliki aliansi dengan beberapa kerajaan kecil mulai ditinggalkan kekuatannya karena melepaskan diri.

Pada akhirnya Raja Thammaracha II dari Sukhothai tahun 1378 terpaksa menyerahkan kekuasaannya, dan Sukhothai menjadi negara bawahan Ayutthaya. Sekitar tahun 1430, Raja Thammaracha IV memindahkan ibukota Sukhothai ke Phitsanulok, dan setelah kematiannya tahun 1438, status Sukhothai berubah hanya menjadi sekedar provinsi dari Ayutthaya.

Tahun 1715, Ayutthaya berperang melawan dinasti Nguyen (penguasa Vietnam Selatan) untuk memperebutkan kekuasaan atas Kamboja. Tetapi ancaman terbesar justru datang dari Burma (Myanmar) yang dimimpin Raja Alaungpaya yang baru berkuasa setelah menaklukkan wilayah-wilayah Suku Shan.

Tahun 1765, Thai diserang oleh dua pasukan besar Burma, yang kemudian bersatu di Ayutthaya. Menghadapi kedua pasukan besar tersebut, Ayutthaya akhirnya menyerah dan dibumihanguskan pada tahun 1767 setelah pengepungan yang bertubi-tubi. Berbagai kekayaan seni, perpustakaan-perpustakaan berisi kesusastraan, dan tempat-tempat penyimpanan dokumen sejarah Ayutthaya nyaris musnah. Raja, kerabat dan keturunannya diburu, hingga kota tersebut akhirnya ditinggalkan dalam keadaan hancur luluh lantak.

Bangsa Thai dapat terselamatkan dari kehancuran lebih parah atas penaklukan Burma karena terjadinya serangan Tiongkok terhadap Burma serta adanya perlawanan dari militer bangsa Thai yang dipimpin Phraya Taksin.

Peninggalan yang tersisa dari kota tua Ayutthaya hanyalah puing-puing reruntuhan istana kerajaan setelah 417 tahun menjadi ibu kota negara Thailand. Raja Taksin lalu mendirikan ibukota baru di Thonburi, yang terletak di seberang sungai Chao Phraya berhadapan dengan Bangkok.

Demikianlah kisah perjalanan singkat menelusuri jejak muhibah Majapahit di Thailand. Tak cukup banyak bukti yang bisa digali lebih nyata. Menurut catatan budayawan dan pemerhati lingkungan Deddy Endarto –dalam perbincangan online (23/04)– Majapahit dalam hal tertentu, sering menjadi penengah di berbagai konflik antar kerajaan Ayutthaya, Burma, Khmer, dan Tiongkok.

“Catatannya ada 3. Pada era Tribhuwanatunggadewi yang berangkat armada Jawa. Era Wikramawardhana yang berangkat armada Bugis dan era Kertawijaya diwakilkan armada Sulu. Berarti itu ada 3 kali perang besar di wilayah Indochina yang diintervensi Majapahit.” pungkas penggagas Wilwatikta Online Museum itu.

Memang masih dibutuhkan kajian lebih dalam untuk mempertajam akurasi data yang ada, hingga muncul bukti yang lebih otentik dan sahih serta memiliki validitas yang diakui semua pihak. Meskipun tak akan melunturkan pengakuan atas keagungan Majapahit di mata dunia.

Mungkinkah nama Svarnabhumi, yang kini dijadikan nama bandara di Thailand, juga merupakan bukti adanya pengaruh dari bumi Wilwatikta? Waktu yang akan membuktikan dan membangunkan Majapahit kembali. Suatu saat nanti.

Agus Pramono,

Penikmat seni, sastra, budaya, sejarah, dan mengajar di sebuah SMA di Mojokerto.

Tinggal di @aguspramono

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantul Pak

06 May
Balas

terima kasih banget, bu @tusilia

06 May

Terimakasih ilmunya

06 May
Balas

terima kasih bu @Emly Yasril.salam saya

06 May



search

New Post