Agus Suryadi, SDN Rengasdengklok Ut

Masih belajar menulis dan merangaki kata....

Selengkapnya
Navigasi Web
DUA HATI YANG TERBAGI

DUA HATI YANG TERBAGI

DUA HATI YANG TERBAGI

Kereta yang membawa berjuta harapan ini terus melaju. Menyibak kabut dan mengenyahkan sepi. Aku yang sedari tadi terus menatap ke luar jendela, memastikan jika tidak sejengkalpun ada jejak perjalanan yang tertinggal.

Jam serasa lambat berdetak. Beradu lambat dengan detak jantungku yang semakin lemah. Kantuk ini berusaha aku tahan. Takut jika bayangnya hilang begitu saja berganti mimpi. Tak ada yang bisa aku pikirkan lagi jika tiba-tiba saja kereta berhenti melaju atau ada sesuatu hal yang menghentikan semua ini!

“Oh Tuhan! Lancarkanlah, lancarkan.” Aku berdoa dalam hati.

kembali membuka layar telepon genggam. Membaca pesan singkat yang masuk.

Semuanya sama saja, pesan tentang kabar suamiku yang katanya terbaring lemah di sebuah Rumah Sakit. Aku tidak sanggup jika harus melihat foto yang dikirim lewat kotak masuk. Suami yang mendapat luka karena tugas yang ia emban. Begitu tulisan yang tertera dalam layar telepon genggam.

Air mataku kembali menetes.

Beberapa jatuh di pipi Astri, anak semata wayang kami yang tertidur dipangkuanku. Wajahnya sangat mirip dengan ayahnya. Apalagi jika sedang tertidur seperti ini.

Aku mengusap lembut pipinya.

Teringat kembali awal perjumpaan dengan Mas Pram, lelaki tampan yang sekarang telah menjadi suamiku. Waktu itu kami berdua tak sengaja saling berhimpitan di dalam bus umum yang sarat penumpang. Tangannya yang kekar tepat di atas kepalaku. Ketiaknya yang basah nyaris menyentuh hidung. Aku sedikit marah dan protes, tapi lelaki kekar itu malah tersenyum. Sepertinya dia senang ketika melihat aku marah.

Senyumnya yang tengil malah membuat aku tambah mual.

“Huh, nyebelin,” kataku sambil menutup hidung, dan segera melompat dari bus ketika sampai di halte tujuanku. Sialnya, lelaki kekar itu malah ikut turun.

Sepertinya dia mengikutiku.

“Dih, mau apa ngikutin aku, heh?” tanyaku ketus setelah berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.

Dia hanya tersenyum. Jujur saja, senyumnya sangat manis dan ... ah, menurutku secara fisik sempurna untuk disebut lelaki ideal.

“Ups!” aku jadi gagal fokus.

“Gak boleh ya kalau aku ngikutin kamu?” katanya masih dengan senyum manisnya.

Aku luluh, tapi “.. . eits, aku gak boleh kelihatan murahan. Harus jual mahal!” kataku dalam hati.

“Gak boleh!” kataku ketus. Mataku kupasang tajam.

“Beneran gak boleh?” katanya dengan wajah memelas.

“Gak,” kataku lagi. Tapi dalam hatiku berkata sebaliknya ... “Anterin aku sampe rumah, please...”

Setelah itu, kami jalan berdua, dia lima meter di belakangku. Katanya sih, dia ingin tahu rumahku, siapa tahu suatau saat bisa bersilaturahmi dengan keluargaku. Ah, laki-laki memang gombal.

Sejak hari itu, lelaki tampan itu sering datang ke rumah. Aku menegenalnya sebagai Pram, Pramudya Lukman.

Pada akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Tak lama setelah itu, kami menikah, walau hanya menikah secara agama. Karena suatu hal, kami tidak menikah secara Negara.

Suamiku yang seorang perantauan adalah seorang yang mempunyai pangkat dan bertugas di satu kesatuan. Sering tugas keluar kota.

Pernikahan kami sangat bahagia, mengisi hari dengan penuh bunga-bunga. Masa pacaran yang hanya beberapa bulan saja aku rasa cukup untuk mengenal kepribadiannya. Kesimpulannya, suamiku adalah orang yang sangat bertanggung jawab. itu menurutku yang memang sedang dimabuk cinta.

Hingga akhirnya aku hamil dan mempunyai anak yang sangat cantik! Lengkap sudah bahagia kami.

Beberapa kali ditinggal tugas oleh suami, beberapa kali pula aku menaruh rasa percaya. Selalu memberi kabar dan mengirimkan video ditempat tugasnya sudah cukup memberikan rasa tenang. apalagi kata-kata “Aku sayang Bunda, muacchh!” yang terlontar dari bibirnya.

Aku hanya bisa tersenyum, dan merasa bahwa akulah wanita yang paling bahagia di atas Bumi ini.

Tahun ketiga pernikahan kami. Tepatnya dua hari yang lalu. Dengan terpaksa aku melewatinya sendiri, tanpa ada Mas Pram disampingku. Tanpa ada bunga, tanpa ada peluk mesra dan kecup serta peluk sayang. Tapi tak apalah, ini adalah konsekuensi yang harus aku tanggung. Yang pasti, Mas Pram tetap menjadi yang terbaik untuk saat ini.

Hingga kabar yang aku dapat tadi pagi dari Om Hadi, teman Mas Pram, membuat aku kaget dan tidak percaya.

Mas Pram kecelakaan! Luka yang dideritanya cukup parah. Sekarang sedang di rawat di Rumah Sakit.

Serasa disambar petir di siang bolong. Aku syok dan sangat kaget. Tidak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang tidak terasa membasahi pipi.

Om Hadi mengirimkan alamat lengkap Rumah Sakit tersebut, dan berharap aku segera datang.

Aku benar-benar dibuat bingung, panik dan takut! Sangat takut. Bergegas aku menelepon orang tuaku. Kedua orang tuaku menyarankan agar aku secepatnya pergi untuk menemui suamiku dan melihat keadaaanya. Secara, kedua orang tuaku tidak setuju dengan pernikahan kami karena mereka belum sepenuhnya mengenal siapa suamiku, asal-usulnya ditambah lagi kami memang berbeda pulau. Tapi karena memang aku yang keras kepala dan terlalu memaksa, akhirnya pernikahan itu terjadi juga.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Kereta yang membawa aku dan buah hatiku terus melaju. Serasa semakin melambat dan sangat lama sampai di tempat tujuan. Wajah Mas Pram terus saja berkelebat di kelopak mata. Sekuat aku menahan rasa khawatir dan cemas.

Pada akhirnya kereta benar-benar melambat dan berhenti.

“Hufff .... “

Aku menarik nafas panjang. Bergegas aku menggendong Astri. Merogoh kolong tempat duduk dan mengambil tas yang berisi beberapa pakaian dan alat-alat kebutuhan selama aku berada di kota asing.

Ratusan kilo meter jarak yang harus tempuh.

Bergegas aku turun dari atas kereta.

Hari sudah gelap.

Ada takut yang hinggap di dalam hati. Kota asing dengan suasana asing pula bagiku.

Tiba-tiba telepon genggam bergetar. Pesan yang masuk benar-benar mengangetkanku.

Segera aku membuka layar telepon genggam.

“Secepatnya saya tunggu di rumah sakit. ibu naik taksi saja, bilang ke rumah sakit Bhakti Husada. Mas Pram ada di kamar nomor 253 lantai 3.”

Pesan singkat dari Om Hadi.

Aku mempercepat langkah. Keluar dari Stasiun dan mencoba menghentikan taksi. Tidak perlu waktu lama, aku sudah berada di dalam taksi. Setelah menyebutkan alamat, taksi melaju dengan kecepatan penuh. Aku melirik jam tangan. Hampit pukul sebelas malam. Pantas saja jalanan lenggang.

Butuh sekitar limabelas menit hingga akhirnya aku sampai di depan Rumah Sakit. setelah membayar taksi sesuai argo yang tertera, aku menuju tempat informasi untuk menanyakan letak kamar yang telah disebutkan Om Hadi. Dengan diantar seorang petugas keamanan, aku bisa dengan cepat menemukan ruang 253, ruang di mana Mas Pram di rawat.

Jantungku berdetak sangat kencang.

Astri masih terlelap dipelukanku, kucium dengan dengan lembut.

“Jangan sampai hal buruk seperti yang aku bayangkan menjadi kenyataan. Aku tidak mau masa depanmu muram dan tanpa tujuan,” bisikku ditelinga mungil Astri.

Perlahan aku membuka pintu kamar.

“kreekk ... !”

Dingin yang menyeruak menambah emosiku menjadi tidak stabil. Jantungku berdetak kencang.

“Siapa itu?” suara dari kamar membuat aku kaget.

Ternyata ada beberapa pasang mata yang masih terjaga.

“Oh .. eh, saya Liani. Istri Mas Pram.” Aku terbata menjawab pertanyaan yang berasal dari seorang perempuan separuh baya. Matanya tajam menatap ke arahku.

“Eh, kamu sudah datang, Liani, mari sini ...” Om Hadi bergegas menghampiriku dan mengajakku untuk duduk. Aku menghela nafas. Tatapanku menyapu ruangan tempat Mas Pram dirawat. Ruangan yang sangat luas dan lengkap. Mungkin VVVIP atau ruang eksflusif. Jujur saja aku malah jadi kikuk ketika masuk ke dalam ruang perawatan ini.

Beberapa pasang mata menatap ke arahku, ada dua wanita. Yang satu separuh baya dan satunya lagi hampir seusia denganku. Juga ada anak lelaki yang tertidur lelap.

“Bagaimana keadaan Mas Pram?” aku bertanya pada Om Hadi.

“Mas Pram masih koma. Itu, yang terbaring di atas bangsal.” Om Hadi meunjuk ke arah bangsal.

“Serr ... !!”

Darahku mengalir lebih cepat. Ingin rasanya berlari dan memeluk suaiku tercinta. Tapi, seperti ada sesuatu yang menahanku.

Tangan Om Hadi memegang tanganku lembut. Bibirnya tersenyum.

Terakhir aku bertemu dengan Om Hadi adalah ketika aku menikah dengan Mas Pram. Dialah yang menjadi saksi pernikahan kami berdua, karena keluarga Mas Pram yang tinggal di luar kota tidak bisa hadir di pernikahan kami, dengan alasan jarak yang sangat jauh.

“Liani, dengarkan apa yang Om katakan. Kamu harus kuat. Harus sabar. Anggap saja ini adalah ujian yang akan membuatmu menjadi orang yang kuat.” Om Hadi tersenyum kecil.

Aku hanya mengangguk. Di samping bangsal tempat suamiku terbaring, duduk seorang wanita muda. Lalu wanita muda yang tadi menatapku, terlihat bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku.

Tatapan matanya sangat tajam.

“Jadi ini wanita yang sudah merebut suamiku? Wanita yang tidak tahu malu!” tiba-tiba saja dia menyerangku. Tangannya berusaha menjambak rambut. Aku benar-benar kaget. Aku berusaha menghindar dan memperthankan Astri agar tidak terlepas dari pelukanku. Astri terbangun dan menangis.

Karena tidak siap dengan serangan, akupun tersungkur!

Jambakannya berhasil mencabut beberapa helai rambutku.

“Ahhh ... “ aku berteriak.

Om Hadi berusaha memisahkan kami.

Wanita muda itu semakin kalap. Tangannya terus saja berusaha memukulku.

Aku benar-benar tidak paham dengan kejadian ini.

“Tolongg ...!” secara reflek aku berteriak.

Wanita muda itu akhirnya bisa ditenangkan.

Aku yang tidak tahu apa-apa, di bawa keruangan suster. Sekedar untuk menghindari emosi wanita muda itu. Nafasku masih memburu. Kutatap wajah Lastri, tadi Lastri empat menagis, tapi sekarang dia sudah mulai tertidur kembali.

“Om, tolong ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi? Aku benar-benar tidak mengerti. Wanita itu, siapa wanita yang telah menyerangku dengan membabi buta seperti itu? Tolong jelaskan!” aku berusaha mencari tahu.

“Liani, maafkan Om. Om sudah tidak jujur sejak awal.”

“Maksud, Om?” aku mengernyitkan dahi. Tidak paham dengan apa yang dikatakan Om Hadi.

“Wanita yang tadi menyerangmu, dia ... .” ---“ Dia siapa? Katakan yang jelas, Om?”

“Dia adalah istrinya Pram.” Om Hadi tertunduk.

“Apa? .. is ... istrinys Mas Pram? ... tidak! ... tidak mungkin! Istrinya Mas Pram adalah aku! Tidak ada yang lain! Om Hadi jangan bohong!” kataku setengah berteriak.

“Om tidak bohong. Karena itulah Om memanggilmu untuk datang kemari. Suamimu yang meminta Om untuk memintamu datang hari ini juga.

“ ... dan anak itu?””ya .. itu anaknya Pram,”

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Jauh-jauh datang dengan harapan bertemu suami, yang ada hanyalah kenyerian dan rasa muak. Pantas saja wanita itu marah besar dan menjambak rambutku. Mana ada wanita yang mau di madu! Pikirku dalam hati.

“Liani, dengarkan Om. Sengaja Om mengundang mu untuk datang ke sini. Sesuai pesan yang disampaikan oleh Pram. Pram sangat mencintaimu. Dulu, ketika dia pertama kali bertemu denganmu, Pram sungguh-sungguh jatuh hati padamu. Saat itu dia sedang mempunyai masalah dengan istrinya. Dia terlalu dikekang dan diatur. Pram tidak bahagia saat itu. Berbeda ketika ia hidup bersama denganmu. Kamu adalah belahan jiwanya, cinta kasihnya. Sungguh, ini yang Pram katakan pada Om.”

“Sudah lama mereka pisah rumah,” Om Hadi melanjutkan kata-katanya.

“Lalu, mengapa Om juga menghadirkan dia di Rumah Sakit ini? bukankah ini sama saja akan membuat masalah? Dan itu terbukti! Saya merasa dihina dan dilecehkan, Om,” aku kembali terisak.

“Besok, akan ada pengacara yang akan membacakan wasiat dari Pram. Karena secara medis, Pram sudah sangat kritis. Kemungkinan besar untuk hidup sangat tidak mungkin. Benturan di kepalanya telah membuatnya koma.”

Aku terdiam.

“Kau tahu? Mengapa ia sangat membencimu saat ini?”

Aku menggelengkan kepala.

“Karena dia tahu bahwa kamu dan Astri adalah pewaris semua kekayaannya! Pram adalah anak saudagar kaya dari pulau Kalimantan. Dia merahasiakan itu darimu, Liani.”

Aku sangat kaget dengan apa yang dikatakan Om Hadi. Pantas saja jika Wanita itu sangat kalap.

“Tapi aku sangat ingin bertemu dan memeluk suamiku. Terlepas dari kebohongan yang telah ia lakukan kepadaku, Om.” Kataku lagi.

“Tunggu besok, sekarang lebih baik kamu ikut Om. Om sudah menceritakan semuanya kepada istri Om. Dia sangat paham dan bersedia menerimamu untuk tinggal dirumah kami selama masalah ini belum selesai.”

Aku mengangguk pelan. Lebih baik aku menghindar untuk sementara. Menunggu esok pagi. Walau hati kecilku terus meronta untuk bisa bertemu dengan Mas Pram.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Pagi-pagi sekali aku mendapat kabar yang sangat tidak aku harapkan. Mas Pram meninggal dunia tanpa aku berada disampingnya. Kejadian semalam telah melenyapkan keinginkanku untuk memeluk dan mencium lembut pipinya. Aku sangat terpukul. Tetapi, tentu saja bukan hanya aku yang terpukul. Ada wanita lain yang secara tidak langsung masih menjadi milik Mas Pram.

Dan satu kabar lagi yang aku terima pagi ini dari pengacara Mas Pram bahwa, aku diminta untuk datang ke kantornya dan menandatangani berkas pengalihan kekayaan yang telah diwasiatkan untukku.

Entahlah, untuk saat ini aku harus bahagia, atau berduka?

Tapi yang pasti. Perasaan cinta untuk Mas Pram tidak akan pernah pudar sampai kapanpun.

Rdk-131117

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ceritanya bagus, dan mengalir, namun sedikit saran ya, ada beberapa penulisana yang mungkin tidak disengaja, seperti meunjuk mungkin maksudnya menunjuk, VVVIP mungkin VIP dan beberapa kata lainnya, kemudian penggunaan kalimat langsung sebaiknya dimulai pada baris baru. apalagi percakapan dua orang tokoh. The best,

13 May
Balas

Kisah yang mengharu biru, menyayat hati, ikut larut dalam alurnya, semoga sehat selalu, Barakallah

23 Apr
Balas



search

New Post