Agus Suryadi, SDN Rengasdengklok Ut

Masih belajar menulis dan merangaki kata....

Selengkapnya
Navigasi Web
KEBAHAGIAAN TERKECIL

KEBAHAGIAAN TERKECIL

Keringat masih membasahi baju yang aku kenakan. Masih pegal rasanya kaki ini seharian kugantung di bawah mesin jahit. Pinggang masih terasa panas karena seharian kupaksa duduk dikursi plastik yang sama sekali tidak empuk. Ingin rasanya memburu kamar dan rebahan dengan kaki diselonjorkan, tapi hal yang tidak mungkin.

Hampir lima jam aku duduk manis dan mendengarkan suara deru mesin jahit ditempat aku bekerja. Tangan terampilku menarik dan mengulur potongan pola kaos untuk dijadikan kaos utuh. Kaki kekarku menjejak mesin jahit. Kadang kaki menjadi lebih gemuk ketika selesai bekerja, mungkin bengkak akibat terlalu lama menjejak mesin jahit dan dalam posisi menggantung.

Belum sempat aku duduk, ada suara yang memanggil.

“Pak Guru ... Ibu-Ibu udah pada kumpul di masjid ... sekolahnya ‘ga libur kan?” tanya Bu Puri.

“Sebentar ya ... saya salin baju dulu, baru pulang kerja euy ... tunggu aja di masjid ya ... Sebentar saya datang,” jawabku

“Iya, saya duluan ya Pak,” jawabnya singkat.

Bu Puri berlalu pergi.

Huff ... Ibu-Ibu yang penuh semangat. Dan ini yang selalu membuat aku benar-benar salut dengan mereka. Semangat baja dan pantang menyerah. Membuat aku benar-benar melupakan rasa lelah yang amat sangat.

Bergegas aku mengganti baju. Tak sempat mandi atau sekedar minum air dingin untuk menstabilkan suhu tubuh yang sudah panas setelah mengayuh sepeda dari tempat aku bekerja yang lumayan jauh.

Aku tidak punya sepeda motor. Jadi untuk berangkat dan pulang bekerja mau tidak mau harus menggunakan sepeda.

Aku berjalan menuju masjid yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Ibu-ibu sudah berkumpul dan duduk rapi lengkap dengan alat tulisnya. Yap, mereka adalah siswa yang sangat istimewa buatku. Siswa dengan semangat baja. Ada duapuluh siswa yang semuanya perempuan dengan usia hampir di atas tiga puluh tahun.Istimewa bagiku karena mereka adalah peserta program pemberantasan buta huruf.

Aku langsung duduk di hadapan mereka. Sengaja kami memanfaatkan serambi masjid untuk aktifitas belajar mengajar. Selain lebih luas, juga tempatnya strategis.

“Sudah kumpul semua belum bu?” tanyaku.

“Bu Inah tidak masuk Pak guru, katanya cucunya sakit. Tapi dia titip pesen, dia minta pekerjaan rumah katanya,” kata Bu ratih.

“Oh gitu ya, ya udah, sekarang kita mulai belajarnya. Silahkan ibu-ibu buka buku pelajaran yang sudah saya bagikan tempo hari. Hari ini kita akan membuat kalimat pendek. Buka halaman duablas ya bu ...” kataku memberi perintah.

Terlihat ibu-ibu sibuk membolak-balik buku. Mencari-cari halaman yang kuminta di buku paket. Beberapa ibu telah membuka halaman sesuai yang kuminta. Tapi ada juga yang terus sibuk mencari.

“Aduh angka dua belas yang kayak gimana sih? Kok buku yang punya saya mah ‘ga ada halaman dua belasnya sih?” kata bu Ijah.

“Masa ah? Coba sini aku yang cari ...” kata bu Puri.

Tangannya sibuk menyibak buku paket. Sementara aku hanya tersenyum memperhatikan mereka sibuk mencari halaman dua belas. Inilah yang membuat aku senang menjadi Guru untuk Ibu-Ibu yang buta huruf.

Kadang banyak kelucuan yang terjadi di dalam kelas. Kepolosan Ibu-ibu kadang mengundang kelucuan dan spontanitas yang membuat aku tertawa terbahak-bahak.

Kadang aku lupa dengan lelah yang melekat di tubuhku, tergantikan dengan rasa nyaman yang tercipta dengan gelak tawa.

“Nih! ini angka duabelas ... nyarinya aja yang ga bisa,” kata Bu puri dengan pedenya.

“Coba, mana angka duabelas Bu, saya ingin lihat,” pintaku.

Bu Puri mengangkat buku paket dan menujukan angka yang tertera dibawah buku paket. Spontan aku tertawa.

“Aduh Ibu ... itu mah bukan angka duabelas, tapi angka duapuluhsatu!” jawabku sambil tertawa.

“Ah masa pak Guru? ... kan ada angka dua dan angka satunya? Kok bisa salah sih,” tanya nya dengan mimik wajah yang lucu.

Setelah aku jelaskan perbedaan antara angka duabelas dengan duapuluh satu, Bu Puri manggut-manggut.

Aku menjadi bagian dari program pemerintah Kabupaten untuk menjadi Guru bagi para buta huruf. Baik Ibu-Ibu atau Bapak-Bapak. Aku berkeliling kampung mendata mereka dan mengumpulkannya menjadi satu kelas dengan jumlah duapuluh orang. Dan program ini berjalan selama duapuluh hari.

Bukan hal yang mudah bagiku untuk dapat mengumpkan mereka agar mau mengikuti program ini. Banyak alasan yang dilontarkan, mulai dari malu, tidak ada waktu, sudah terlalu tua dan macam-macam alasan lainnya yang terucap dari mulut mereka.

Duapuluh siswa yang ada di hadapanku adalah mereka yang memang mempunyai semangat untuk maju. Bahkan ada diantara siswa yang mengajak serta cucunya untuk belajar. Alasannya, sambil mengasuh katanya.

Sore ini tugas yang aku berikan adalah membuat kalimat pendek. Karena ini adalah hari ke limabelas dari program yang mereka ikuti. Aku berharap, mereka minimal dapat mengeja dan membuat kalimat pendek. Sesuai dengan terget yang aku buat. Seperti biasa, ada saja hal yang membuat aku tersenyum. Seorang ibu dengan tangan keriputnya memegang pensil. Terlihat tangannya bergetar.

“Pak guru, nenek mah tangannya ga bisa diem. Goyang-goyang melulu. Jadi tulisannya juga jelek,” katanya sambil meringis.

Buru-buru aku menghampiri Nek ijah. Kupandu tangannya untuk dapat menulis dengan tegak. Si nenek terpaku. Tangannya benar-benar kaku, sulit digerakan. Ini sungguh luar biasa bagiku ... semangat yang benar-benar patut dicontoh. Ada rasa bangga yang muncul dari dalam hatiku untuk Nek ijah.

Hampir maghrib. Kelas buta huruf aku bubarkan. Dua jam pelajaran telah mereka lalui. Aku pun bergegas pulang

Selesai mandi dan tak lupa mengisi energi dengan makan sore,atau tepatnya makan malam, aku bergegas pergi ke masjid. Murid-murid kecilku telah menunggu untuk belajar mengaji.

Ada dua temanku yang sudah menunggu di masjid. Ustad Herman dan ustad Maulana. Kegiatan rutinku selepas magrib adalah mengasuh santri-santri kecilku. Ada sekitar limapuluh santri yang belajar mengaji di masjid. Mulai dari iqra sampai Al’quran.

Bukan hal yang mudah juga mengasuh dan membimbing anak santri yang usianya saling berbeda. Kami bertiga saling berbagi tugas. Pelajaran berlangsung hampir sampai jam sembilan malam. Menguras energi yang tersisa ditubuhku. Tapi aku menikmatinya dengan sepenuh hati. Melihat mereka semangat, itu yang membuat aku lebih bersemangat.

Sepagi ini aku sudah bangun. Menyiapkan pakaian tugas dan menyemir sepatuku. Aku ingin datang lebih awal dari para senior di tempat tugasku. Sebagai guru honorer, suatu hal yang memalukan bagiku jika harus datang terlambat. Aku harus datang lebih awal dari para senior. Apalagi tugasku mengajar di kelas satu, biasanya siswa kelas satu datang lebih awal daripada siswa kelas lain.

Satu hal yang tidak disengaja yang membawa aku bisa mengajar di sekolah ini. Padahal ijazah ku hanyalah SMU. Aku telah lima tahun yang lalu lulus dari SMU, tapi pihak sekolah tidak memperdulikannya. Ketika aku tanya kenapa aku yang dipilih, kepala sekolahpun hanya memberikan alasan bahwa ada yang merekomendasikan aku untuk dapat menjadi tenaga honorer ditempat ini. Gaji yang aku terima tidaklah seberapa. Hanya seratus luma puluh ribu perbulan. Hampir lima tahun aku menjadi tenaga honorer di sekolah ini.

Sebelumnya aku mengajar bidang study, tetapi sekarang aku menjadi Guru kelas. Tantangan yang cukup lumayan berat. Tapi untunglah, disela aku mengajar, aku menyempatkan diri untuk kuliah disalah satu Perguruan Tinggi Negeri. Yang perkuliahannya hanya berlangsung pada hari minggu saja. Aku berpikir, dengan berkuliah dapat membantu menambah ilmu kependididkan yang tentunya harus sesuai dengan profesiku sekarang dan harapan menjadi seorang Pengawai Negeri Sipilpun dapat lebih terbuka.

Setelah selesai menunaikan tugas mengajar di Sekolah Dasar, bergegas aku menuju tempat kerjaku. Mengayuh sepeda mini yang selalu setia menemaniku kemana saja. Kadang pakaian dinas masih melekat ditubuhku. Aku tak perduli dengan rasa lelah, yang terpenting bagiku adalah, dapat sampai ditempat pekerjaan dengan tepat waktu.

Gaji yang aku dapat dari tempat bekerja, belumlah cukup untuk membayar biaya kuliah. Walaupun harus ditambah dengan gaji yang aku sebagai Guru honorer. Tetapi aku selalu bersyukur. Allah maha baik bagi umatnya yang mau berusaha dan bekerja keras. Aku yakin jika Dia akan selalu memberikan banyak jalan jika kita mau bersungguh-sungguh. Selalu saja ada rejeki yang aku dapat jika terbentur masalah biaya kuliah yang tidak murah.

Alhamdulillah sekarang aku dapat menikmati hasil jerih payahku. Tidaklama setelah aku lulus kuliah, aku ikut testing CPNS. Dan aku dinyatakan lolos. Allah memang maha baik, aku percaya itu.

Rdk-21-03-15

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semangat mas Agus, percayalah Allah selalu menyertai orang yang bersungguh-sungguh. Salut! Salam kenal.

23 Apr
Balas



search

New Post